Menimba Berkat dalam Keheningan di Biara St. Clara OSCCap Sekincau, Lampung Barat

0
2,030 views
Menimba Berkat dalam Keheningan di Biara St. Clara OSCCap Sekincau, Lampung Barat.

JARUM penanda waktu di arloji yang menggenggam erat di pergelangan tangan sudah menunjukkan waktu pukul 11.30 WIB. Sejumlah kendaraan telah terparkir di pelataran Pastoran Sang Penebus Batuputih.

Satu persatu penumpang mulai menaikkan barang bawaannya, tak ketinggalan tampak sebuah plastik putih dengan sejumlah botol minuman dan makanan ringan di dalamnya pun turut serta. Setelah bagasi selesai diatur, satu persatu penumpang pun naik.

Perjalanan ziarah menuju Gua Maria Bunda Kerahiman di kompleks Biara St. Clara Sekincau, Lampung Barat pun dimulai. Peziarahan yang berlangsung selama dua hari pada Jumat-Sabtu (31/5-1/6) ini menjadi penutup rangkaian Bulan Maria.

Menuju Sekincau

Di tengah siang yang terik, perlahan mobil yang kami tumpangi meninggalkan pelataran pastoran menuju Kota Baturaja, menyusuri jalanan beraspal yang sebagian telah terkelupas menyisakan lubang-lubang menganga di sepanjang tepian Sungai Lengkayap.

Tampak sejumlah pekerja sedang meratakan tumpukan batu koral, mengisi lobang-lobang yang menganga, agar jalan tampak rata, menjadi bagian dari persiapan jalur mudik.

Sebagian rombongan telah menunggu di SPBU menjelang batas Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung, di ujung Kota Baru, Martapura, OKU Timur.

Setelah memastikan semua rombongan yang berjumlah 75 orang telah berkumpul, perjalanan pun dibuka dengan doa bersama. Peserta ziarah ini berasal dari sejumlah stasi yang ada di Paroki Sang Penebus Batuputih, seperti Batuputih, Gemiung dan Batumarta.

Tepat pukul 13.30 WIB iring-iringan kendaraan yang didominasi kendaraan minibus mulai mengaspal menyusuri Jalan Lintas Tengah Sumatera yang tampak mulai ramai dilalui pemudik yang hendak ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran bersama keluarga.

Tikungan manis dan jalanan berlobang khas Lintas Sumatera tampak setia memanjakan para penumpang. Sesekali kendaraan bergoncang dan melambat ketika melalui jalanan berlobang atau bergelombang.

Jika rombongan, waktu tempuh dari Martapura menuju Sekincau diperkirakan selama 3-4 jam perjalanan. Perjalanan yang awalnya terasa gerah karena cuaca terik, perlahan mulai terasa sejuk, mendung pekat mulai tampak menggantung.

Tepat pukul 15.30 WIB kami tiba dan sejenak beristirahat di simpang Bukit Kemuning, yang memisahkan jalur Jalan Lintas Tengah dan Jalan Lintas Barat Sumatera. Jarak dari Bukit Kemuning ke Sekincau sekitar 50 km. Saat sedang beristirahat tiba-tiba hujan pun mengguyur dengan derasnya.

Akhirnya, sisa perjalanan pun dilalui di bawah derasnya hujan. Jalanan yang relatif sempit, banyak trek menanjak dan turunan serta banyaknya tikungan membuat kami ekstra hati-hati saat mengemudikan kendaraan.

Doa Jalan Salib dan Rosario di kompleks Biara Santa Clara Sekincau.

Hawa dingin khas pegunungan

Tepat pukul 17.30 WIB kami tiba di gerbang Biara St. Clara Sekincau.

Udara dingin khas perbukitan segera menyambut kedatangan kami. Sr. Antoni OSCCap, pemimpin komunitas Biara St. Clara melalui sambungan telpon mengarahkan kami untuk langsung menuju ke penginapan, sebuah rumah milik keluarga Bapak Lunto, sekitar 500 meter dari kompleks Biara St. Clara.

Rumah berbentuk panggung dengan dinding dan lantai papan ini berada dekat dengan Biara Suster Hati Kudus (HK).

Udara yang segar dengan hamparan kebun kopi dan kebun sayuran yang hijau memanjakan mata.

Bapak Warono, pengelola villa menyambut kedatangan kami.

“Bapak dan ibu, sugeng rawuh di Sekincau. Ada teh, kopi panas, ubi rebus dan ubi goreng sudah kami siapkan, monggo silahkan dinikmati”, demikian ia menyapa. Tak butuh waktu lama, kudapan ringan yang telah disiapkan pun dinikmati.

Bersama menimba berkat

“Bapak dan ibu mohon perhatian, agenda kita sore ini adalah mandi, lalu nanti kita akan makan malam. Setelah itu kita akan melanjutkan dengan Rosario, misa dan rekoleksi di kompleks Gua Maria,” jelas Thomas Joko, mewakili panitia ziarah.

Setelah beristirahat sejenak, agenda kebersamaan pun dilanjutkan dengan kegiatan pribadi, ibu-ibu dan anak-anak menuju ke ruang tamu Biara St. Clara, sedangkan bapak-bapak tetap tinggal dan bersiap di rumah penginapan.

Karena cuaca yang kurang mendukung akhirnya Doa Rosario, Perayaan Ekaristi dan rekoleksi yang awalnya akan dilaksanakan di kompleks Gua Maria pun akhirnya diputuskan untuk dilaksanakan di rumah penginapan.

Setelah Perayaan Ekaristi usai, kegiatan dilanjutkan dengan rekoleksi bersama Diakon Anton Manik dengan tema: “Bercermin dari Bunda Maria dalam Pelayanan”.

Melalui materi ini, ia mengajak peserta ziarah untuk belajar dari perjalanan hidup Bunda Maria yang setia dan penuh cinta melaksanakan kehendak Bapa.

“Mari kita sejenak melihat bagaimana kita melaksanakan tugas panggilan kita masing-masing, baik sebagai orang tua, sebagai suami atau isteri di tengah keluarga, dan bagaimana keterlibatan kita  sebagai jemaat dalam kehidupan menggereja, apakah kita sudah sungguh-sungguh menghayati dan melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab kita itu dengan baik dilandasi semangat kasih dan pelayanan yang tulus,” tegas Diakon Manik yang akan ditahbiskan menjadi imam 11 Juli mendatang. Kegiatan hari ini ditutup dengan doa malam bersama.

Menikmati keheningan pagi

Selanjutnya, hari kedua dari rangkaian ziarah ini diawali dengan Doa Pagi di pelataran Ruang Tamu kompleks Biara St. Clara. Udara dingin amat terasa. Setelah doa bersama kegiatan pun berlanjut dengan Ibadat Jalan Salib.

Suasana alam yang masih gelap dan udara pagi yang segar terasa memberi nuansa berbeda bagi para peziarah. Dalam keheningan pagi dengan lilin bernyala di tangan satu persatu peziarah mulai menapaki satu demi satu perhentian Jalan Salib yang berada di alam terbuka, di antara rimbunnya tanaman kopi yang mengisi salah satu sudut kompleks biara dengan luas total sekitar 3 hektar ini.

Ibadat Jalan Salib ditutup dengan Perayaan Ekaristi bersama di Gua Maria Bunda Kerahiman.

“Awalnya kami maju mundur,  ketika ingin memutuskan ikut dalam ziarah ini. Namun akhirnya saya sungguh merasakan bahwa keputusan kami untuk ikut ziarah kali ini sungguh bermakna. Ada nilai positif yang bisa kami timba dari kegiatan ini. Kami menyadari bahwa sangat penting bagi kita untuk senantiasa menghadirkan dan mengandalkan Tuhan dalam situasi apa pun dalam peziarahan hidup kita. Ketika kita terus berusaha dan pasrah pada kehendak Tuhan maka Tuhan akan memberikan yang terbaik pada kita,” kata Kristinawati, peziarah dari Batumarta dalam sharing pengalaman ziarahnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Darwiyatno, salah satu peziarah dari Gemiung, OKU Selatan.

“Kegiatan ziarah ini merupakan pengalaman pertama bagi kami. Rencana untuk ziarah ini sudah menjadi agenda kami setahun yang lalu. Kami bersyukur akhirnya kerinduan untuk berziarah ini terwujud dan menjadi pengalaman istimewa bagi kami bisa berada di tempat ini menikmati suasana alam yang segar dalam keheningan, sejenak meninggalkan rutinitas harian kami masuk dalam suasana rohani,” jelasnya.

Usai Misa dan sarapan kegiatan dilanjutkan dengan sharing bersama di pelataran gua Maria. Diakon Manik mengajak para peziarah untuk berbagi pengalaman tentang keterlibatan dalam hidup menggereja. Para peziarah tampak antusias berbagi pengalaman tentang keterlibatan dalam hidup menggereja.

Fransiska Letty, salah satu peziarah dari Batuputih pun berbagi kisah, bahwa peziarahan ini menjadi pengalaman yang istimewa baginya.

“Pengalaman ziarah yang diisi dengan rekoleksi ini menjadi pengalaman berharga. Kesempatan ini menyemangati saya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab saya sebagai seorang prodiakon untuk semakin setia memberikan diri dalam karya pelayanan, seperti yang telah diteladankan oleh ayah saya,” tuturnya.

Kegiatan sharing dalam rangkaian rekoleksi pun ditutup dengan doa bersama.

Selanjutnya, sebelum beranjak meninggalkan kompleks Biara St. Clara para peziarah berkesempatan untuk berbelanja aneka suvenir benda-benda rohani dan hasil bumi dari kebun biara, seperti tomat, cabai keriting, kentang, wortel dan bubuk kopi.

Hasil industri rumahan para suster rubiah OSCCap di Biara Santa Clara Sekincau.

Tampak Sr. Antoni OSCCap dan Sr. Martha Gulö OSCCap dengan cekatan melayani para peziarah.

Sr. Martha OSCCap yang bertugas menemani para peziarah menjelaskan bahwa Biara St. Clara hadir di Sekincau sejak tahun 2002. Selain mengolah tanah dengan beragam tanaman pertanian, para suster juga memproduksi hosti dan pakaian liturgi, seperti kasula dan alba untuk imam.

Biarawati yang berasal dari Pulau Nias ini pun menuturkan bahwa peziarah yang datang ke tempat ini berasal dari berbagai tempat, seperti Belitang, Baturaja, Kotabumi, Metro, Bandar Lampung dan Jakarta.

Melanjutkan perjalanan

Dari Biara St. Clara, tujuan kami selanjutnya adalah Paroki St. Theodorus Liwa, Lampung Barat. Sembari menikmati udara yang segar, pemandangan alam perbukitan yang  hijau dan jalanan yang berkelok, membuat perjalanan yang menempuh jarak sekitar 50 km selama hampir satu jam terasa menyenangkan.

Danau Ranau.

Sesekali HP berdering. Ramli, seorang umat dari Batuputih yang kini berdomisili di Liwa, menghubungi dan mengatakan bahwa ia telah menunggu di depan SPBU menjelang Kota Liwa. Tak lama berselang, kami pun tiba di SPBU dan berjumpa dengan Ramli yang terlihat setia menunggu sembari duduk di atas motor kesayangannya.

 Setelah masing-masing kendaraan mengisi bahan bakar, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju pastoran Paroki St. Theodorus Liwa, dengan mengendarai motor bebeknya, Ramli yang berjaket hitam tampak memimpin rombongan. Tak berapa lama kami pun tiba di pastoran Liwa.

Suasana kompleks pastoran Liwa siang itu sangat padat. Puluhan mobil tampak menyesaki areal kompleks pastoran.

“Romo dan rombongan dari Batuputih selamat datang di Paroki St. Theodorus Liwa. Maaf suasana kita seperti ini karena kebetulan sedang ada pesta pernikahan adat Toba di sini, demikian tutur Sarwidi, salah seorang umat yang menyambut kedatangan kami.

Aneka jajanan pasar, seperti nagasari dan dadar gulung serta kopi panas sudah tersedia menemani saat-saat santai bersama umat di Liwa.

Pertumbuhan Gereja Katolik di Liwa tidak bisa dilepaskan dari karya pastoral Paroki Keluarga Kudus Baradatu, Way Kanan, Lampung.

Sebelum menjadi  Unit Pastoral dan akhirnya menjadi Paroki, Liwa adalah sebuah stasi yang menjadi bagian dari wilayah pelayanan  Paroki Keluarga Kudus Baradatu.

Menurut sejarah, sebelum menjadi paroki mandiri Baradatu merupakan salah satu stasi yang berada dalam wilayah pelayanan Paroki Kabar Gembira Kota Bumi.

Keramahan suster rubiah di Biara Santa Clara OSCCap di Sekincau, Lampung Barat.

Pada tahun 1994 Unit Pastoral Liwa secara mandiri berdiri menjadi sebuah paroki dan Romo Vincent Le Baron MEP menjadi imam pertama yang bertugas di paroki ini.

Dalam perjalanan selanjutnya, sejak tahun 2015 para imam Fransiskan dari Ordo Fratrum Minorum (OFM) hadir melayani umat di Liwa.

Romo Bonaventura Y. Lelo OFM, Pastor Paroki Liwa, menjelaskan bahwa saat ini umat paroki ini berjumlah 181 KK yang terdiri atas 756 jiwa yang tersebar di 7 stasi, yaitu Stasi St. Fransiskus Asisi Sekincau, Stasi St. Antonius Padua Sido Makmur, Stasi St. Paulus Pasar Minggu, Stasi St. Petrus Sumber Jaya, Stasi St. Kristoforus Bandar Negeri Suoh dan Stasi St. Yoseph Copertino Mayus Basungan.

Bapak Sarwidi yang setia menemani kami bercerita tentang asal nama St. Theodorus yang menjadi pelindung paroki. Menurutnya, nama ini berasal dari nama Romo Theodorus Borst SCJ, seorang imam misionaris yang pernah bertugas di Kota Bumi dan juga melayani di tempat ini.

Kisah ini menjadi menarik dan begitu istimewa, karena ternyata Rm. Theodorus Borst SCJ jugalah yang dulu pertama kali datang mengunjungi masyarakat Suku Ogan di Batuputih, memberikan pengajaran hingga akhirnya pada 31 Oktober 1948 terjadi peristiwa Baptisan Perdana di Batuputih.

Dari Liwa menuju Ranau

Setelah menikmati kudapan ringan dan makan siang bersama serta mendengarkan cerita tentang perkembangan umat di Paroki Liwa kami pun melanjutkan perjalanan menuju perhentian terakhir yaitu Danau Ranau, sebuah tempat wisata alam yang menjadi ‘milik’ Sumatera Selatan dan Lampung, khususnya Lampung Barat.

Tak lama setelah keluar dari Kota Liwa, mata pun segera dimanjakan oleh suguhan pemandangan kebun-kebun kopi, hamparan sawah dan bangunan rumah panggung milik masyarakat dengan latar belakang Gunung Pesagi yang berdiri kokoh di kejauhan. Jalanan relatif sempit, banyak tanjakan dan tikungan.

Danau Ranau.

Jarak Kota Liwa ke Danau Ranau relatif dekat, sebuah penanda jarak dipinggir jalan menunjuk angka 30 Km.

Danau Ranau, permata Biru di ujung Sumatera Selatan

Saat meninggalkan Kabupaten Lampung Barat dan memasuki wilayah Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan di Sumatera Selatan pemandangan berganti dengan perbukitan dan Gunung Seminung yang berdiri menjadi latar belakang Danau Ranau.

Tepat Pkl. 15.30 WIB kami tiba di kompleks Wisma Pusri Varita, sebuah lokasi wisata yang berada tepat di tepian Danau Ranau.

Ahmad Redho Nugraha dalam tulisannya yang berjudul Pesona Danau Ranau, Permata Biru di Ujung Selatan Sumsel menjelaskan bahwa Danau Ranau adalah danau terbesar kedua di Pulau Sumatera setelah Danau Toba. Luasnya mencapai 125,9 Km² dengan kedalaman mencapai 174 meter.

Konon, Danau Ranau terbentuk karena terjadinya sebuah gempa dahsyat dan letusan vulkanik pada masa lampau. Teori tersebut berkaitan dengan keberadaan Gunung Seminung, gunung berapi tidak aktif yang berada di tepian Danau Ranau.

Danau Ranau tidak hanya menawarkan wisata alam yang indah dipandang mata, tetapi juga wisata kuliner yang memanjakan lidah.

Menikmati menu kuliner lokal.

 Ahmad Redho menulis bahwa Danau Ranau dihuni oleh berbagai jenis ikan air tawar, mulai dari ikan kepor, keriat, harongan, hingga yang paling populer, ikan mujair.

Mujair Ranau terkenal karena rasa legitnya yang khas. Sayang, sore itu kami tak sempat mencobanya karena saat kami tiba nelayan belum pulang dari mencari ikan.

Setelah sejenak menikmati pemandangan dan segarnya air Danau Ranau kami pun segera beranjak untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Batuputih.

Setelah tiba di Kota Muara Dua kami pun berpisah dan melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing.

Ada rasa lelah dalam perjalanan tapi terbayar oleh  sukacita yang meluap atas pengalaman indah peziarahan dan rekreasi dalam bingkai kebersamaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here