Pijar Vatikan II, Dari Kardinal Sampai Susi Susanti: Compassion is the Name of the Game (33A)

0
462 views
Ignatius Kardinal Suharyo by Ist

Refleksi 40 hari Pelantikan Kardinal Suharyo: Compassion Iptu Akbar

40 hari sesudah pelatikan Kardinal Suharyo, Harian Kompas menayangkan berita dramatis. Video tentang drama itu juga viral di sejumlah media sosial. 

Seorang polisi, Iptu Akbar, Kapolsek Cempa di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, diberitakan bersimpuh di hadapan massa yang membawa golok. Seraya bersimpuh, Iptu Akbar nampak memohon-mohon supaya korban yang dipeluk dan dilindunginya tidak dianiaya.

Akbar merapatkan kedua telapak tangannya hingga sejajar dengan wajahnya. Ia memohon agar massa tidak melukai orang yang sudah jatuh terkapar di kakinya. Padahal saat itu, massa yang membawa parang sudah beringas dan siap menebas orang itu.

Emosi warga akhirnya mereda melihat seorang Kapolsek bersimpuh memohon agar tidak melakukan aksi anarkis.

Akbar merupakan sosok yang cukup disegani oleh warga Pinrang. Ia lebih dikenal sebagai polisi yang ramah. “Iptu Akbar di kalangan polisi dan warga dikenal sebagai polisi yang berkepribadian baik dan suka menolong,” kata Wakapolres Pinrang Kompol Nugraha Pamungkas.

Menurut penjelasan warga Salipolo-Bababinanga, yang tergabung dalam Aliansi Peduli Rakyat Salipolo-Bababinanga dan Saddang Pinrang, orang yang “diselamatkan” oleh Iptu Akbar diduga preman suruhan pemilik tambang.

Di daerah itu memang ada aktivitas penambangan. Sebelumnya, beberapa kali warga Desa Salipolo mendatangi lokasi tambang untuk menghentikan aktivitas penambangan. Sebab, hingga saat ini wilayah pertambangan masih menjadi polemik dan masih dalam proses peninjauan kembali.

Warga sebenarnya hanya meminta aktivitas penambangan sementara dihentikan, sampai ada putusan pengadilan.  Menurut Aliansi, warga menolak pertambangan, karena pertambangan PT Alam Sumber Rezeki (ASR) dianggap ilegal.

Lagipula, pertambangan di daerah aliran sungai (DAS) Saddang dapat merusak lingkungan. Ruang hidup masyarakat jadi terancam. Warga desa Salipolo, Kecamatan Cempa dan warga desa Baba-binanga, Kecamatan Duampanua, juga masih mengalami trauma karena banjir besar yang pernah terjadi.

Aksi tolak tambang hari itu sebenarnya juga merupakan pembelaan diri terhadap serangan senjata tajam oleh oknum yang diduga sebagai preman suruhan pemilik tambang. Sebelum demo tersebut, salah seorang warga bernama Hasbullah (55 tahun) mengalami luka tebasan di tangan dan di bagian paha.

Tebasan senjata tajam yang diduga dilakukan preman suruhan itu menyulut kemarahan warga, sehingga membalas memukul preman tersebut dengan kayu yang mereka bawa. Preman tersebut mencoba melarikan diri sehingga terjatuh dan dikerumuni oleh warga.

Untung ada Iptu Akbar, pak Polisi yang baik itu. Menurut keterangan Aliansi, bukan hanya Iptu Akbar yang memohon tidak melukai orang itu. Warga yang berada di lokasi pun juga melerai warga yang lainnya agar tidak melukai oknum preman tersebut.

Dikutip oleh Detiknews.com, kenekatan Iptu Akbar yang bersimpuh dan memohon pada massa, mengingatkan dirinya pada sosok almarhum kakaknya.

“Terus terang, dulu saya punya kakak meninggal, sama dalam kejadian kayak gini. Waktu saya kecil, ‘saya punya kakak meninggal, karena dianiaya orang beramai-ramai. Nah, saya terinspirasi. Seandainya ada orang yang selamatkan ‘saya punya kakak’ seperti yang saya lakukan, mungkin ‘saya punya kakak’ masih hidup,” ungkapnya.

Compassion

Pada 40 hari, sesudah Kardinal Suharyo dilantik, kita menyaksikan contoh compassion, teladan bela rasa yang luar biasa dari Iptu Akbar.

Compassion yang menjadi pesan utama homili Paus Fransiskus pada pelantikan Kardinal Suharyo, tiba-tiba menjadi relevan, nyambung.

Tentu Iptu Akbar sama sekali bukan seorang Kardinal, atau bahkan seorang Katolik yang merasa harus “tersapa” dengan kotbah Paus Fransikus di Basilika Santo Petrus tanggal 5 Oktober 2015 lalu.

Namun, dalam drama di Salipolo itu, Pak Polisi yang baik, Iptu Akbar telah melaksanakan amanah belarasa, pesan “compassion” yang diserukan Paus pada pelantikan Kardinal Suharyo.

Iptu Akbar bersimpuh memohon agar preman itu tidak dibunuh oleh warga yang beringas marah. (Kompas).

Sumpah para Kardinal di depan Paus: “…per quod significatur, usque ad sanguinis effusionem“, …. (kalau perlu) sampai titik darah mengalir, menjadi nyata dalam sikap dan perilaku pribadi semacam Iptu Akbar.

Paus Fransiskus, bisa dijuluki “Paus Compassion”. Di mana saja, di pelbagai kesempatan, ia tak pernah lelah menyerukan kata “compassion” (bela rasa), “compassionevole, compassionate” (sikap berbelarasa).

Pada pelantikan Kardinal Suharyo 5 Oktober lalu, Paus Fransiskus menyebut kata compassione atau compassion sebanyak 19 kali.

Pada homilinya dalam bahasa Itali itu, Paus Fransiskus juga menyebut kata compassionevole atau compassionate sebanyak 5 kali.

Spirit pastoral

Compassion oleh Kardinal Suharyo, diartikan sebagai belarasa.

Sejak menjadi imam dan Uskup di KAS sampai menjadi Uskup di KAJ, Mgr.Suharyo selalu meletakkan Arah Dasar (Ardas) penggembalaannya pada sikap belarasa.

Tanda nyata beriman itu berbela rasa, demikian Pesan Natal Mgr. Suharyo pada tahun 2012 yang diberi judul: Semakin beriman, semakin berbela rasa”.

Tema Aksi Puasa Pembangunan, 6 tahun lalu juga ditetapkan oleh Mgr.Suharyo sebagai “Makin beriman, makin bersaudara dan makin berbela rasa”.

Logo APP KAJ 2014 – Makin beriman, makin bersaudara, makin berbelaras. (KAJ)

Sesudah 40 hari pelantikan Kardinal Suharyo ini, seruan belarasa itu rasanya semakin bergema. Bahkan kalau perlu dilaksanakan sampai “berdarah-darah”, seperti yang dilakukan Pak Polisi Iptu Akbar.

Pak Polisi yang baik ini, ketika bersimpuh memohon-mohon seraya memeluk dan mengayomi orang yang mau ditebas golok massa yang beringas itu, tentu tidak berfikir sedikit pun pada nasihat pemuka agamanya atau ceramah yang pernah didengarnya. Ia hanya ingin mengayomi orang yang tak berdaya.

Itu tugas dan panggilannya sebagai Polisi. Bisa saja sebenarnya ia membiarkan saja preman itu dihabisi saja oleh orang banyak yang marah. Toh ia “hanya” seorang preman yang jelas salah sudah membacok seorang penduduk.

Namun Iptu Akbar tidak melakukan itu. Yang terlintas di benaknya hanya rasa kemanusiaan, “welas asih”. Juga kenangan pada almarhum kakaknya yang pernah tewas, karena dikeroyok ramai-ramai.

Pengalaman masa lalu, apalagi pengalaman pahit dalam hidup kita, semestinya menjadikan kita pribadi yang berbela rasa, seperti diamanatkan kepada para Kardinal Suharyo cs dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Iptu Akbar. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here