Anak Sampah

0
188 views
Ilustrasi - Anak-anak harus bekerja mengais-ais sampah untuk hidup dan sekolah. (Ist)

Renungan Harian
Sabtu, 21 Agustus 2021
PW. St. Pius X, Paus
Bacaan I: Rut. 2: 1-3. 8-11; 4: 13-17
Injil: Mat. 23: 1-12
 
ANAK muda itu menarik perhatian saya dan anggota Dewan Pastoral Paroki (DPP). Anak muda itu sudah bekerja dan mapan, sudah punya kendaraan hasil keringat sendiri. Bahkan sudah punya rumah sendiri, meski sekarang masih tinggal bersama orangtuanya.

Ia aktif dalam kegiatan orang muda dan kegiatan paroki.

Hal yang menarik adalah anak ini punya disiplin yang luar biasa. Setiap ada acara malam hari, mulai pukul 21.00 9 dia selalu pamit mau pulang. Dengan alasan kasihan orang di rumah menunggu.

Kalaupun terpaksa dan ini amat jarang, dia pasti akan telepon dan memberi tahu bahwa dia pulang telat.

Ia selalu diejek-ejek sebagai anak mami. Tetapi dia hanya tertawa.
 
Hal yang lebih menarik dari anak ini, kalau ada acara lewat makan siang atau makan malam, ia selalu membawa bekal makan.

Meskipun di acara pertemuan itu ada acara makan malam, dia tetap membawa bekal.

Beberapa kali saya mengatakan supaya makan makanan yang ada tidak usah bekal atau bekal jangan dimakan, dia akan menjawab itu durhaka.

Hal yang lebih aneh lagi beberapa kali dia mentraktir teman-temannya makan, tetapi dia sendiri makan bekal yang dibawanya.

Kami sering heran dan bahkan agak aneh dengan orang muda ini.

Sampai suatu ketika ketika dalam pertemuan dia mensharingkan pengalaman hidupnya berkaitan dengan Allah yang menebus manusia karena cinta.
 
Dia bercerita begini:

“Romo dan teman-teman, bagi saya Allah yang menebus saya dari dosa saya pahami sebagai Allah yang mengangkat derajat hidup saya menjadi manusia yang sesungguhnya atau manusia yang selayaknya.
 
Romo dan teman-teman, orangtua saya yang anda kenal sesungguhnya bukanlah orangtua saya.

Mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan yang menebus saya; yang mengangkat derajat saya menjadi manusia yang layak.

Saya sampai sekarang tidak pernah tahu siapa orang tua saya sesungguhnya, meski saya sudah berusaha mencarinya.
 
Saya adalah bayi yang dibuang di tempat pembuangan sampah, yang ditemukan seorang pemulung dan dibawa ke kantor polisi tempat ayah saya bertugas.

Kemudian saya dirawat, diadopsi dan menjadi anaknya.

Saat saya diberi tahu siapa saya sesungguhnya, saya sempat down, untuk mama dan papa menjelaskan dengan amat baik sehingga saya bisa bangkit.

Maka saya amat bersyukur bahwa saya bisa seperti ini.

Kalau Romo dan teman-teman sering kali aneh melihat saya seperti anak mami, karena itu adalah ungkapan syukur dan terimakasih saya kepada mereka.

Mereka telah mengangkat saya dari sampah, dan menjadi manusia yang selayaknya hingga seperti sekarang ini.

Tidak ada kata yang pantas bisa saya ucapkan untuk mereka, juga tidak akan kemampuan saya untuk membalas cinta mereka.

Apa yang saya lakukan hanyalah sebutir debu untuk cinta mereka pada saya yang luar biasa.
 
Romo dan teman-teman, bagi saya orangtua saya saat ini adalah Allah yang nampak, yang nyata yang telah menebus saya.”
 
Kami semua terkesima dengan syeringnya, bahkan beberapa di antara kami meneteskan air mata.

Pengalaman syukur yang luar biasa yang bersumber dari pengalaman hidup yang luar biasa.

Seperti pengalaman syukur Rut dan Naomi atas rahmat Tuhan melalui Boas sebagaimana diwartakan dalam Kitab Rut.

“Terpujilah Tuhan yang telah rela menolong engkau pada hari ini dengan seorang penebus.”
 
Bagaimana dengan aku?

Bagaimana aku mengungkapkan dan mewujudkan pengalaman syukurku?
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here