“Asu Gedhe Menang Kerahe”

0
397 views
David dan Goliath (Osmar Schindler)

“ANJING besar biasanya menang dalam perkelahian.”

Itu terjemahan bebas dari pepatah Jawa yang menjadi judul artikel ini.

Maknanya adalah orang yang punya pangkat atau kekayaan biasanya mempunyai kekuasaan. Kekuasaan besar mempunyai pengaruh yang disegani dan ditakuti, hingga bisa memenangkan perseteruan.

Itu sekedar pengandaian.

Maaf, kalau perumpamaannya binatang. Bukan bermaksud merendahkan derajat manusia.

Namanya juga pepatah. Ada yang pas, ada yang tidak. Tak bisa di- gebyah uyah.

Simak saja kisah-kisah berikut.

Cerita paling anyar adalah kasus pembunuhan di lingkungan Polri. Bahkan merebak menjadi skala nasional. Seorang atasan, dengan level hampir puncak, membunuh anak buah yang berposisi paling bawah.

Konon, ada konflik di antara keduanya. Bawahan menjadi korban. Tak hanya sampai situ. Ia berimbas terhadap puluhan anak buah yang lain. Ada yang dipecat, dan atau (terancam) hukuman.

Untung, di atas gunung masih ada langit. Atasan tertinggi dari atasan meminta kasus ini diusut tuntas. Empat kali beliau memerintahkan demikian. Apa boleh buat.

Contoh lain, kasus Rusia menyerbu Ukraina.

Negara imut-imut harus banting-tulang menahan serangan “asu gedhe” yang suka kerah. Negaranya porak-poranda, rakyatnya lintang-pukang, ekonominya morat-marit.

“Beruang gedhe menang kerahe”.

Biasanya yang besar menang melawan yang kecil. Yang pintar ngakali yang bodoh. Yang kaya unggul melawan yang miskin. Yang kuat ulung dibanding yang lemah. Itu hukum biasa-biasa saja, normal.

Bos selalu benar, itu prinsip utama. Kalau bos salah, lihat prinsip utama.

Tetapi, beberapa justru sebaliknya.

Amerika ditendang Vietnam dan terbirit-birit pulang kandang mengibarkan bendera putih. Rusia diusir tentara Afganistan. Tentara Inggris dipermalukan pejuang Surabaya.

Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby, komandan Brigade 49 Divisi India, Inggris, tewas di ujung peluru pejuang Tentara Keamanan Rakyat Surabaya yang senjatanya pas-pasan, di November 1945.

Asu gedhe durung tentu menang kerahe.

Cerita lain yang melegenda adalah tentang pertikaian David (atau Daud), anak gembala. Dia melawan Goliath, panglima tentara Filistin.

Si raksasa perkasa, berbaju perang, bersenjata pedang dan lembing maju ke medan laga.

Tapi Goliath bertekuk-lutut kepada David, padahal badannya kecil. Dia duta bangsa Israel, hanya bersenjata ketapel.

David mengambil batu, membidik dahi Goliath, satu-satunya bagian tubuh sang raksasa yang terbuka, dan peluru tepat mengena sasaran.

Goliath rebah bercucuran darah. David, si lemah tanpa seragam, buru-buru mengambil lembing musuhnya, menusuk tepat di dada, kemudian, dalam sekejab, Goliath mati.

Perkelahian David lawan Goliath adalah salah satu cara Kitab Suci mengajarkan bagaimana si lemah tak selalu kalah. Lemah belum tentu rendah.

Kitab Suci mengajarkan bagaimana seseorang atau sesuatu tidak dipandang mata kepala saja. Suatu kekuatan tersembunyi sering kali menipu otak manusia, mengelabui panca indera.

“Raksasa” bukan hanya besar badan dan kuat fisik. Ia bisa berwujud ketampanan, kecantikan, kepandaian, kekayaan dan bahkan juga “kebaikan”.

Sangat pas saat Malcolm Gladwell, penulis buku David dan Goliath: Ketika si Lemah Menang Melawan Raksasa (2013), mengutip 1 Samuel 16:7, dan dipampang pada bagian depan bukunya:

“Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: ‘Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.”

David dicap underdog, si pecundang, the looser, yang diprediksi kalah. Tapi yang terjadi sebaliknya.

Apa yang tak kelihatan acap kali menjadi penentu.

Ramang dan kawan-kawan adalah contoh lain. Meski jauh berbeda kelas, mereka mampu menahan kesebelasan Uni Sovyet dengan skor 0-0, di Olimpiade Melbourne, 1956.

Itulah pelajaran yang dipetik ketika gajah kalah sama semut. Puteri desa yang bodoh dan norak, malah mendapatkan cinta sang pangeran, mengalahkan kakak-kakak tirinya yang cantik, dalam cerita Cinderella.

Strategi full-court press menjadi resep ampuh bagi mereka yang dianggap lemah, untuk mengalahkan si kuat.

Jangan beri kesempatan lawan membuat inisiatif. Langsung tekan dan kuasai lapangan. Lancarkan serangan pada kesempatan pertama dan susun pertahanan yang kokoh pada sisa permainan. Strategi yang manjur juga dipakai di lapangan politik, bisnis atau ladang kompetisi lainnya.

Harap diingat, si lemah justru menjadi sarana, agar yang kuat mendapat berkah. Si lemah menjadi alat, agar yang kuat mendapat rezeki. Si lemah menjadi sebab, bagaimana yang kuat mendapat pertolongan.

Oleh karenanya, hormati kaum lemah, ingatlah senantiasa keberadaannya, berbagilah kepada mereka.

“Tidaklah kalian diberi pertolongan dan rezeki kecuali karena keberadaan orang-orang yang lemah di antara kalian.” (HR Bukhari)

@pmsusbandono
10 November 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here