Bangsa Pluralis, Itu Khas dan Kekayaan Indonesia

0
467 views
Ilustrasi: Tarian adat Dayak yang dikemas dalam balutan seni modern di Pontianak dalam kesempatan pembukaan SEKAMI. (Mathias Hariyadi)

NEGARA Republik Indonesia adalah sebuah rumah pluralisme yang sangat indah. Di dalamnya hidup beraneka ragam suku bangsa, ras, agama, kebudayaan dan bahasa yang sangat unik.

Ketika Anda berada di luar Indonesia dan berkesempatan berbagi pengalaman tentang Indonesia yang memiliki ribuan pulau, ras, suku bangsa, budaya, bahasa dan agama kepada sahabatmu dari negara lain, kesan pertama mereka ialah akan merasa kagum, dan tidak terlalu yakin dengan kondisi bangsa Indonesia yang sangat pluralis.

Begitulah pengalaman kecil yang pernah saya alami ketika mengikuti kelas bahasa Spanyol dengan teman-teman dari negara-negara lain.

Jadi, bangsa Indonesia yang sangat pluralis merupakan kekayaan paling berharga Republik Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain.

Problem rasisme

Tapi, sering kali keindahan rumah pluralis Indonesia itu ternoda lantaran semburan hujatan rasisme.

Apa itu rasisme?

Secara sederhana, rasisme itu bisa dimengerti sebagai sikap memandang rendah (menolak, tidak menghormati atau menganggap yang lain sepadan dengan saya) orang lain karena perbedaan ras, suku, agama, golongan, bahasa dan warna kulit.

Sikap semacam ini timbul karena dilatarbelakangi oleh perasaan lebih superior, sukuisme, arogansi dan egoisme.

Tindakan rasisme itu biasanya diekspresikan dalam bentuk penghinaan dengan kata-kata najis (hitam jelek dll), menyamakan yang lain dengan binatang tertentu (monyet, gorila, anjing dll) dan bisa juga berujung pada perbuatan menghabisi yang lain secara masif (genosida).

Risiko terberat hidup bersama dalam suatu komunitas (negara) di mana masyarakatnya cukup plural ialah problem rasisme. Itu adalah fakta yang tak bisa dielakkan.

Beberapa tahun terakhir ini problem rasisme cenderung meningkat di Indonesia.

Misalnya, kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya 16/08/2019 yang menyulut amarah rakyat Papua. Luka dan trauma rakyat Papua akibat hantaman mata pedang rasisme itu belum terobati secara baik.

Lalu terulang lagi di awal tahun 2021. Media kembali ramai membicarakan kasus dugaan rasisme baru yang dilakukan oleh A. Nababan terhadap bekas anggota komisioner Komnas HAM N. Pigai.

Diskriminasi rasial tidak hanya terjadi di Indonesia. Patologi sosial itu sudah lama hidup dalam sejarah umat manusia sampai saat ini, dan barangkali akan terus hidup.

Ada rasisme warga Amerika Serikat keturunan Eropa terhadap kaum Indian dan rakyat Amerika lainnya yang bukan keturunan Eropa.

Ada pula rasisme dalam bentuk genosida seperti yang dilakukan oleh rezim Nazi terhadap kaum Yahudi di Eropa selama perang Dunia II dan pembantaian ratusan ribu warga suku Tutsi dan Hutu di Rwanda (1994) oleh kelompok ekstremis Hutu.

Di Afrika Selatan, perlawanan African National Congress (ANC) yang dipimpinan oleh mendiang Presiden Nelson Mandela menentang politik Apartheid yang diterapkan secara masif selama puluhan tahun di Afrika Selatan oleh kaum kulit putih.

Di Amerika Selatan, misalnya di Chile, problem rasisme pun telah berakar kuat selama bertahun-tahun antara sesama warga kulit putih, yakni kaum keturunan Eropa terhadap kaum Indian (Mapuche: pribumi).

Dalam artikelnya berjudul Racismo estructural en Chile: expresiones institucionales de la discriminación contra los pueblos indígenas seorang dosen dan peneliti dari Universitas Chile Verónica Figueroa Huencho menguraikan tentang kasus rasisme yang dialami oleh kaum Indian selama ratusan tahun secara terstruktur dan institusional.

“Kami telah mengalami rasisme struktural dan institusional,” jelasnya seperti yang dilansir oleh ciperchile.cl edisi terbit 20/06/2020.

Akademisi berdarah Indian tersebut kemudian membandingkan kasus rasisme di Chile yang dilakukan secara terstruktur sama persis yang dilakukan oleh polisi Amerika Serikat terhadap warga Afrika-Amerika terutama dalam kasus kematian George Floyd.

Jadi, rasisme itu bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia.

Manusia: Imago Dei

Persoalan rasisme bisa diibaratkan dengan ungkapan jeruk makan jeruk. Artinya manusia menghina manusia, yakni yang menghina bertindak sebagai subjek (paling sempurna dan superior) sementara yang dihina adalah objek (buruk, rendah, najis).

Pertanyaannya ialah apakah yang menghina secara in se jauh lebih baik daripada yang dihina? Jawabannya ialah tentulah tidak.

Sebab secara antropologis-biblis manusia adalah gambar Allah (imago Dei). Allah tidak pernah menyebut ciptaan lainnya sebagai gambar dan rupa-Nya. Hanya manusia disebut-Nya sebagai gambar dan rupa-Nya. “Baiklah Kita jadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita … Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej. 1:26-27).

Teks ini mau menegaskan bahwa manusia itu sesungguhnya adalah gambar dan rupa Allah. Ia identik dengan Allah. Tampilan wajah dan fisiknya adalah tampilan wajah dan fisik Allah yang tak kelihatan, sebab ia tercipta dari gambar dan rupa Allah.

Merujuk pada nas ini, jelas bahwa manusia sama sekali tidak identik dengan makhluk ciptaan lainnya (gorila, monyet, anjing, babi, ular dll).

Sekalipun secara fisik bentuk tubuh seseorang hitam, putih, merah, coklat, rambut keriting, ombak dan lurus, tetapi predikat kita itu sama, yaitu manusia, gambar dan rupa Allah.

Jadi, yang menghina dan dihina secara in se adalah sama-sama manusia, gambar dan rupa-Nya. Yang menghina dan terhina adalah buah hasil karya Allah yang sama.

Karena itu, kita yang berbeda secara fisik ini sebenarnya adalah saudara.

Yesus pun menyebut kita yang berbeda ini sebagai saudara-Nya: “Kamu adalah sahabat-Ku … Kasihilah seorang akan yang lain!” (Yoh. 15:14.16).

Pada 4 Oktober 2020 yang lalu, Paus Fransiskus mengeluarkan Ensiklik terbarunya Fratelli Tutti (Semua Bersaudara).

Paus menulis, “Santo Fransiskus dari Asisi menulis (Fratelli Tutti) supaya ditujukan kepada semua saudara dan saudari, dan menawarkan kepada mereka suatu cara hidup dengan cita rasa Injil.

Dengan kiat-kiat ini, saya ingin menunjukkan salah satunya, dimana mengajak kepada sebuah kasih yang melampaui batas geografi ruang dan waktu.” (Fratelli Tutti del Santo Padre Francisco, 2020: 3).

Pada hemat saya, Fratelli Tutti lahir dari inspirasi sabda Yesus di atas.

Melalui dokumen ini, Sri Paus ingin mengajak kita untuk saling mencintai sebagai saudara melampaui sekat-sekat geografi, ruang dan waktu. Sebagai satu bangsa dalam rumah pluralisme Indonesia, kita semestinya memiliki tanggung jawab etis terhadap yang lain, yakni menghormati tampilan diri, wajah dan identitas mereka yang berbeda sebagai saudara, gambar dan rupa Allah.

Karena itu, diskriminasi rasial terhadap yang lain mesti dilihat sebagai sebuah hujatan rasis terhadap Dia yang telah membuat kita semua ada.

Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika

Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang plural: Kemajemukan bangsa Indonesia ini hanya mungkin karena Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, lahirnya tindakan rasisme di Indonesia sebenarnya merupakan tindakan antitesis dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Aksi rasisme mau menunjukkan ketidakpahaman secara utuh terhadap nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, setiap tindakan rasisme terhadap sesama anak bangsa adalah bentuk penghinaan terhadap Pancasila dan Bhinneka Tuggal Ika.

Rasisme itu berbahaya. Lantaran mata pedang rasisme itu mencabik eksistensi, identitas diri dan martabat yang lain. Dampak destruktif problem rasisme ialah hal itu bisa saja menciptakan kaos politik dan disintegrasi bangsa. Karena itu, penyakit rasisme ini butuh penanganan serius dan intens dari negara dan seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai satu bangsa yang plural kita butuh membangun kesadaran dan pemahaman kolektif untuk tidak bermain-main dengan mata pedang rasisme di ruang publik sebab hal itu bisa saja melukai yang lain.

Untuk menghindari bahaya rasisme itu cara terbaik ialah menghayati dan menghidupi secara konkret nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, saling menghormati dan mengakui kekhasan kita masing-masing sebagai suatu kekayaan yang paling istimewa dalam hidup bersama sebagai saudara sebangsa dan setanah air di dalam rumah pluralisme Indonesia.

Sebuah taman bunga jika hanya ada satu jenis bunga, maka taman tersebut kelihatan tidak terlalu indah dan menarik perhatian. Tetapi, kalau di dalamnya ada berbagai jenis bunga, maka ia akan kelihatan sangat indah, cantik dan menarik perhatian banyak orang.

Rumah pluralisme Republik Indonesia hanya akan indah dan menarik kalau di dalamnya semua rakyatnya yang sangat majemuk itu hidup saling menghormati, mengakui dan menerima setiap perbedaan yang ada sebagai bagian dari dirinya.

Setiap kita memiliki tanggung jawab moral untuk memelihara dan merawat rumah pluralisme Indonesia dari serangan virus rasisme agar pluralisme itu tetap tumbuh subur, utuh dan terus menghasilkan keindahan untuk Indonesia tercinta.            

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here