Berpastoral di Kokonao, Pedalaman Papua (1)

1
2,740 views
Romo Dodot digotong umatnya
Romo Dodot digotong umatnya

Berpastoral di tengah-tengah umat yang sederhana dan jauh dari kemajuan zaman ternyata sangat mengasikkan. Banyak hal yang dapat kita peroleh. Bukan saja mentalitas umat yang unik, atau kesederhanaan pola pikir dan hidup mereka. Tetapi juga keindahan alam yang sangat memukau.

Terdorong oleh kecintaan pada umat dan juga keinginan untuk  berbagi pengalaman pastoral dengan kalangan imam dan juga membuka wawasan  umat pada umumnya akan situasi di papua dan  secara khusus di sepanjang pesisir pantai Mimika Timur sampai Mimika Barat Jauh wilayah pelayanan  Keuskupan Timika. Maka saya sampaikan segala pengalaman saya selama melayani umat di Keuskupan Timika.

Mungkin pengalaman saya ini membawa inspirasi tersendiri bagi siapa saja yang membacanya. Oleh karena itu, sebenarnya kisah ini bukan hanya ditujukan untuk para imam, tetapi terlebih juga bagi umat yang ingin mengetahui  sisi lain di pedalaman papua.

Saya berharap bahwa kisah ini memberi sebuah insight, inspirasi  atau setidaknya membawa suatu penyegaran atau bahkan mungkin ada yang tertarik untuk datang dan melihat langsung  perjuangan umat dan pelayanan di Kokonao.

Awal perjalanan
Untuk pertama kalinya saya pergi ke Kokonao. Pada 5 November 2008. Pada pukul 21.00 dengan ditemani Pater Bernad, SCJ dan Suster Petro,Fch. Kami meluncur dari Biara Dehonian,SCJ di Timika menuju ke Rumah Sakit Mitra Masyarakat untuk mengambil bahan makanan selama perjalanan kami. Malam itu juga kami menuju ke Mapurujaya, sebuah daerah yang letaknya kira-kira satu jam perjalanan dari kota Timika.

Perahu kami ditambatkan di sana. Kira-kira pukul 23.00 kami sudah tiba di Mapurujaya. Setiba di sana kami membongkar barang-barang yang ada di dalam mobil untuk kami pindahkan ke perahu. Barang-barang yang kami beli adalah untuk keperluan anak-anak asrama, juga keperluan kios paroki. Beras,  minyak makan, air mineral, gula, mie instant, rokok bahan bakar adalah contoh beberapa barang yang kami bawa ke Kokonao.

Pada pukul 03.30 kami telah selesai memindahkan semua barang bawaan kami. Setelah beristirahat sejenak, kami mulai menyisir sungai menuju ke Kokonao. Dengan penerangan seadanya yaitu menggunakan senter   perahu kami mulai merayap. Mesin  40 PK mendorng perahu yang terbuat dari sebatang pohon berdiameter satu meter dengan panjang kurang lebih 13 m.

Sepanjang perjalanan itu, aku tidak henti-hentinya mengagumi suasana malam yang indah. Hutan bakau yang sangat lebat semacam pagar yang tinggi dan berjajar hitam seakan menjadi pelindung kami di malam hari di sepanjang sungai yang kami lalui. Keindahan alam semakin tampak terlebih ketika matahari menjelang, indahnya sinar matahari terbit diiringi dengan kicauan burung yang bernyani menyambut sang surya yang mulai memancarkan sinarnya.

Pagi menjelang ternyata amat indah  kalau dinikmati di sepanjang sungai. Perubahan suara dari binatang malam menjadi bina

tang pagi memberi warna dan suasana tersendiri. Burung melintas dari pinggir sungai yang satu ke pinggir yang lain. Seakan  mereka menyabut dan menyediakan jalan bagi perahu kami. Suara burung malam yang membuat bulu roma merinding diganti dengan nyanyian burung-burung yang mulai terbangun menyambut sang surya.

Tibalah kami di sebuah daerah yang mereka sebut sebagai bantaran sungai. Di tempat inilah kapal sering karam dan tidak dapat berjalan karena air sungai mengering. Kalau sampai karam maka kami mesti turun dari kapal dan mendorongnya. Atau menunggu beberapa jam sampai air pasang. Atau bisa juga kalau sedang sial mesti menunggu esok hari. Tetapi puji Tuhan, perjalanan pertamaku dapat berjalan dengan lancar.

Perjalanan yang cukup panjang ini menjadi pengalaman yang indah karena melalui sungai-sungai kecil dan besar, terkadang juga masuk ke daerah payau, dan terkadang juga menyusur di sepanjang pantai.

Singkat cerita setelah melalui perjalanan yang cukup panjang akhirnya kami sampai di kokonao. Longboat kami dapat menyusur sungai kecil sampai tepat di belakang pastoran, yang kemudian hari saya ketahui tempat itu bernama pelabuhan misi. Pukul 10.00 kami sudah sampai di pastoran.

Refleksi:
Menikmati alam menjadi sarana yang ampuh untuk merasakan keagungan Tuhan. Menikmati indahnya ciptaaNya,  yang tampak di sepanjang sungai, sembari menatap langit penuh bintang yang menjadi payung kami. Me

natap indahnya bintang-bintang yang bergelantungan di langit menyadarkan kita pada pemazmur yang menyadari kerendahannya di hadapan semesta alam ciptaan Tuhan. Kita seakan menjadi kecil jika kita dihadapkan pada karya Tuhan yang maha agung. Cinta padaNya tumbuh dari rasa kagum akan segala keindahan ciptaanNya.

Menyadari kerendahan dan ketidakberdayaan kita di dalam alam semesta ini, semestinya kita semakin mampu merasakan kehadiaran Tuhan. Bahwa Ia di atas  segala sesuatu. Yaitu bahwa di balik keagungan alam semesta ini ada Dia yang lebih dari segala keindahan yang ada. Dialah yang mengatur dan menyelenggarakan hidup kita.

Dengan demikian diharapkan kita mampu melihat diri kita secara lebih mendalam bahwa kita bukanlah apa-apa di hadapanNya. Kita terbatas dan sungguh tergantung padanya. Namun demikian kita sungguh berharga di matanya. Apalah aku ini sehingga dimahkotai kemuliaan olehNya. Demikianlah pemazmur merefleskikan hidupnya di hadapan Tuhan.

1 COMMENT

  1. Pengalaman yang menarik Romo….menantang! banyak pelajaran yang saya timba dari kegigihan romo dalam pelayanan. semua itu karna cinta yang dalam kepada-Nya. sipsippp….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here