Bukan Menghakimi di Zaman Edan (5)

0
177 views
Ilustrasi: Ist

MISI utama utusan Allah bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyelamatkan. Dua kata, ‘menghakimi’ dan ‘menyelamatkan’ itu kelihatannya tak berhubungan satu sama lain. Tetapi sebetulnya merupakan dua dimensi dari satu realita di dunia pengadilan.

Contoh paling jelas tentang hal ini adalah kisah penghakiman Susana. Ia divonis untuk dihukum mati berdasarkan kesaksian palsu. Daniel, utusan Tuhan, datang menyelamatkan Susana. Daniel juga tetap membuat proses pengadilan, dan membongkar kesaksian palsu hakim terdahulu.

Demikian sehingga akhirnya Susana, diselamatkan oleh penghakiman benar Daniel.

Karena itu, semua omongan atau ajaran normatif “jangan menghakimi” harus senantiasa kita kritisi. Karena dosa akar manusia: iri dan sombong, kita akan selalu terseret ke arah ‘menghakimi orang lain’.

Bermimpi untuk membuang segala keinginan kita menghakimi orang bisa-bisa hanya akan membuat kita frustrasi. Di satu sisi kita merasa bersalah, karena gagal menghilangkannya. Di lain sisi, bila berhasil merasa sukses, walau sesungguhnya tak berbuat apa-apa untuk mensikapi dan menindaklanjuti relitas hidup ini. Alias tidak mungkin ‘menyelamatkan’nya.

Sebab sesungguhnya tidak mungkin menyelamatkan tanpa proses menghakimi. Jadi, yang harus diubah adalah proses pengadilan, sebelum kita menghakimi. Yakni agar kita menghakimi secara adil, seperti Daniel melakukan terhadap Susana. Daniel pun tak perlu menvonis, apalagi demi dirinya sendiri, sebab vonis itu jatuh secara otomatis. 

Di keluarga

Sering terjadi orangtua menghakimi anaknya berdasarkan pengaduan seseorang. Atau orangtua menghakimi pembantu berdasarkan pengaduan anaknya.

Mengapa? Karena orangtua keburu emosi, tanpa mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan, langsung menvonis begitu saja. Anehnya, penghakiman tak adil selalu terjadi atas orang tak berdaya dari orang yang berkuasa.

Di sekolah

Tak sekali kita mendengar kisah pendidik atau kepala sekolah menvonis muridnya. Kenapa? Tanpa mendengarkan pembelaan langsung memvonis berdasarkan peraturan sekolah.

Anehnya, peraturan yang jadi dasarnya, biasanya justru perturan yang menyangkut tata tertib organisatoris, bukan peraturan disiplin pendidikan.

Bandingkan dengan perkara ‘menyontek’ yang jelas melanggar value  pendidikan, justru tidak terjadi proses pengadilan atau penghakiman. Sementara kalau salah pakai seragam, justru murid kena vonis.

Di kantor

Terlalu mudah menemukan contoh perkara ketika yang berkuasa sungguh menghakimi yang tidak berdaya, tidak dengan proses pengadilan yang menyelamatkan.

Misalnya, ketika terjadi ketidakcocokan dengan rekan kerja, mudah sekali yang paling tak berdaya, yang tak punya relasi atau akses ke pimpinan, kejatuhan vonis tak adil.

Atau ketika ada bagi-bagi bonus, yang lemah dan  kecil, yang kerjanya lembur-lembur mungkin tak mendapat bonus yang wajar, karena vonis pemimpin yang tidak adil. Dan masih banyak lagi vonis-vonis mematikan bagi yang lemah dan tak berdaya.

Di masyarakat

Ini luas lebih lagi. Lihat saja vonis terlibat G30S/PKI. Di kantor polisi hanya ada satu vonis abadi: ‘PKI’. Meskipun orangnya, termasuk polisinya, lahir setelah 30 september 1965, namun hanya ada satu vonis itu.

Atau vonis yang dijatuhkan terhadap mantan  napi, betapa kejamnya. Buat mereka seakan sudah tak ada tempat lagi. Jangan heran kalau mereka itu akhirnya kembali ke dunia kriminal, sebab di sanalah satu-satunya tempat terbuka buat mereka.

Di lingkungan agama

Ini sering lebih kejam lagi. Vonis-vonis berdalih biblis dan dogmatis bertebaran di mana-mana. Umpamanya: orang yang menikah beda agama, keluarga retak, aneka usaha inovatif, pribadi yang kreatif, mantan biarawan-biarawati, mantan pastor, single parent dll.

Mereka itu sering jadi kurban penghakiman dan kejatuhan vonis mati tanpa proses pengadilan. Maka, pertanyaannya ialah bagaimana kita bisa menyelamatkan atau menghakimi secara adil? Boleh menghukum kalau terbuki salah. Sebaliknya, membebaskannya jika tak terbukti. Bagaimana caranya?

Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan mengajukan pertanyaan. Misalnya, kamu lihat sendiri? Sudah pernah tanya ke orangnya? Kata siapa? Dll.

Dan kalau kita yakin tidak benar kita pun dapan menawarkan keadilan, misalnya: Saya tahu,  yang benar demikian, lalu ceritakan sebenarnya apa yang terjadi.

Jangan malah kita nambahi dengan ilmu ‘katanya’, ‘kayaknya’, ‘rupanya’, dst.

Ingat yang kuasa selalu menang. Yang lemah cenderung jadi kurban.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here