Cermin yang Menipu

0
10 views
Ilustrasi - Cermin. (Ist)

Senin, 23 Juni 2025

Kej. 12:1-9.
Mzm. 33:12-13,18-19,20,22.
Mat. 7:1-5.

SEORANG kritikus, seperti biasanya, berjalan menyusuri galeri seni. Ia terbiasa memberi penilaian pada karya orang lain, mencari kekurangan, dan melontarkan kritik dengan lantang.

Namun hari itu berbeda, ia lupa membawa kacamatanya. Pandangannya buram, tapi semangatnya tetap menyala. Ia menunjuk satu demi satu lukisan dan memberi komentar pedas, bahkan untuk lukisan yang sebenarnya indah.

Hingga akhirnya, ia berdiri di depan sebuah cermin besar. Dengan penuh semangat dan nada sinis, ia berkata, “Aduh, lukisan ini jelek sekali! Mana ada lukisan orang seburuk ini di dunia?”

Orang-orang di sekitarnya tertawa. Ia tak menyadari bahwa yang dikritiknya bukan lukisan, tapi bayangannya sendiri.

Betapa mudahnya kita mengomentari dan menghakimi kesalahan orang lain, padahal sering kali yang kita soroti justru mencerminkan kekurangan dalam diri sendiri.

Kita lupa bahwa kritik tanpa kejujuran terhadap diri sendiri bisa menjadi cermin yang menipu. Kita melihat keburukan, tapi tak sadar bahwa itu adalah bayangan dari hati kita sendiri.

Kritik yang membangun dimulai dengan kejujuran dan kerendahan hati untuk terlebih dahulu melihat ke dalam diri sendiri.

Jangan sampai kita menjadi seperti sang kritikus yang lupa “kacamatanya”, lupa memakai kasih, lupa menggunakan belas kasih, lupa melihat sesama dengan kebenaran dan kerendahan hati.

Mungkin yang perlu kita bersihkan bukan lukisan-lukisan di galeri kehidupan, tetapi cermin hati kita sendiri.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.

Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

Yesus tidak melarang kita untuk peduli terhadap kesalahan atau kelemahan saudara kita. Tetapi Ia mengajarkan bahwa sebelum kita menolong orang lain, kita harus lebih dahulu membenahi diri. Karena sering kali, tanpa sadar, kita menjadi hakim bagi sesama, padahal kita sendiri belum bebas dari kesalahan yang lebih besar.

Bayangkan seseorang mencoba mengeluarkan debu kecil dari mata temannya, sementara di matanya sendiri tertancap sebatang balok besar. Mustahil ia bisa membantu, bahkan bisa melukai lebih parah.

Begitu pula dalam kehidupan rohani: jika hati kita dipenuhi kesombongan, iri hati, atau dendam, bagaimana mungkin kita bisa menasihati orang lain dengan kasih?

Yesus menyebut sikap itu sebagai kemunafikan, berpura-pura menjadi pembimbing rohani, padahal tidak mau dibimbing oleh kebenaran terlebih dahulu. Ia mengundang kita untuk bercermin dan jujur: sudahkah aku bersih sebelum menunjuk kotoran orang lain?

Bagaimana dengan dirimu?

Apakah aku lebih suka mencari kesalahan orang lain daripada memeriksa batin sendiri?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here