Grup WA, Apa Faedahnya?

0
224 views
Ilustrasi.

NAMANYA Agustina. Perempuan berpenampilan anggun itu memiliki banyak predikat di mata saya.

Pertama, Agustina adalah keponakan saya. Meski usia tak jauh beda, ia memanggil saya “Om”. Tak apa dipanggil om, meski bisa membuat orang yang mendengar berpikir lain.

Kedua, Agustina teman sekantor, ketika kami masih sama-sama bekerja di sebuah perusahaan minyak swasta nasional. Beberapa cerita nostalgia punya latar belakang yang sama. Menyenangkan untuk diungkit agar dapat menjadi kenangan, kapan-kapan.

Ketiga, perempuan aktivis itu punya minat yang selaras dengan saya. Sama-sama tertarik dengan budaya nasional.

Agustina cinta berkain, dan aktif di dua yayasan sosial. Sementara, saya lebih tertarik perilaku manusianya.

Keempat, kami pemerhati masalah SDM di Indonesia.

Dulu, pernah menjadi praktisi di ranah yang sama. Kadang topik SDM membuat kami ngobrol kian kemari. Hal yang berkaitan dengan pengembangan SDM selalu menarik untuk dibicarakan.

Belum tentu bermanfaat, tapi bisa mencerahkan pemahaman dan pandangan tentang bagaimana seseorang diberdayakan.

Kelima, kami kawan diskusi. Hal-hal yang berhubungan dengan sosial, kemasyarakatan, dan sedikit soal politik, bisa menjadi topik gayeng. 

Kadang nadanya curhat, atau berdebat, bagaimana sesuatu bisa lebih bermaslahat bagi masyarakat banyak.

Ini contoh soal yang terjadi tadi pagi.

Agustina kirim pesan via Whatsapp. Isinya tentang Mas A yang keluar (left) dari grup Whatsapp yang menampung mantan karyawan yang dulu pernah bekerja di bilangan Pancoran Jakarta.

Agustina ingin tahu, mengapa komunitas yang berasal dari budaya yang relatif sama, bisa terpolarisasi sedemikian terbelah.

Entah, apa yang “menyatukan” mereka dalam satu grup itu.

Yang saya catat hanya yang memecahnya.

Saya sudah lama tak tercatat sebagai anggota, karena merasa tak pas. Beberapa kali ditarik masuk, selalu minta izin untuk undur diri.

Karena bernada galau, saya mencoba menghibur Agustina. Saya sampaikan bahwa grup seperti itu tak sendirian. Bertebaran di mana-mana.

Tak hanya mengangkat konflik, malah juga menyebarkan dan memperuncing. Jarang sesuatu yang diangkat dengan tujuan untuk lebih baik.

Kemudian opini terbelah.

Konflik menjadi “adu-kambing” (head to head). 

Yang dominan dan suaranya keras biasanya menang. Yang kalah, kecewa. Kemudian diam atau keluar, seperti cerita tentang Mas A tadi. 

Yang menang belum tentu lebih benar atau lebih baik. Apalagi lebih bermanfaat bagi orang banyak. 

Padahal, bukankah “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lain)”?

Polarisasi dalam grup WA di masa pandemi semakin menjadi-jadi. Pandemi dikait-kaitkan dengan perbedaan politik, atau agama atau sosial, atau daerah.

Di belakang “daerah” sering ada gubernur, bupati atau walikota. Kadang malah loncat ke kepala negara.

Kasus sepele dan remeh-temeh tiba-tiba berubah menjadi pemecah-belah. Sekali lagi, tak ada manfaatnya bagi anggota grup atau apalagi masyarakat luas.  

Sadar atau tidak, para “WAGer” kadang berlomba mengabarkan kabar yang bisa mengakibatkan efek buruk, atau minimal tak membuat lebih baik. 

Sebagian hoaks, sisanya bisa jadi faktual. Bila perlu malah dihiasi oleh statistik yang canggih dan seolah kredibel.

Tapi ya itu tadi, tak ada faedahnya bagi siapa saja. Bukankah manusia baik itu yang bermanfaat bagi orang lain?.

Kabar bersifat seperti itu, meski pakai data sekali pun bisa saja tak berguna bagi pembacanya. 

Apakah bisa menaikkan imunitas? Atau dapat lebih menyehatkan badan? Atau mampu menangkal virus?

Atau menyembuhkan yang kadung sakit?.

Jawabnya: “Tidak”.

Diskusi panas di grup WA memang menggoda. 

Saya juga kadang terpeleset ke dalamnya. Kalau sadar, segera stop.

Kadang melibatkan emosi dan sulit mengerem diri. Seolah terjebak ke dalam kandang singa di Taman Safari. Padahal, sekali lagi, itu sia-sia.

Tak ada faedah apa pun dan bagi siapa pun.

Lebih baik kalau di antara para anggota grup WA ngobrol gayeng tentang sesuatu yang bermaslahat bagi semua anggota.

Alih-alih ada gunanya buat masyarakat. Yang bisa mengangkat mental yang sedang dirundung petaka.

Atau gelak canda yang membikin lepas tawa. Atau pengetahuan baru yang mudah dicerna kalangan biasa.

Atau menggodog rencana untuk membagikan sesuatu bagi mereka yang sedang tertimpa malapetaka.

Jangan elitis, jangan eksklusif. Usahakan  egaliter, agar semakin banyak anggota yang nimbrung.

Grup WA adalah media yang (relatif) baru. Tak aneh kalau banyak orang masih gamang.  Sifat asli seseorang akan mencuat di wahana baru yang belum mapan.

Perlu penyesuaian di sana sini.

Silakan terus berlatih, saling asah, asuh dan asih. Tapi jangan lama-lama dan berkepanjangan.

“A new culture is a gate to a new life, a new style, a new rhythm, a new feeling, and a new spirit”. (Noha Alaa El-Din – penulis di goodreads.com).

@pmsusbandono 6 Juli 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here