In Memoriam Andreas Try Haryono, Sakit Jadi Bagian Hidupnya Hingga Meninggal (2)

0
757 views
Almarhum Try Haryono (jongkok paling kiri) bersama sejumlah teman seminaris lintas angkatan. (Ist)

LAMA tak bersua sejak kami ber-30 an orang berhasil menyelesaikan pendidikan menengah dan lulus Seminari Mertoyudan di tahun 1982, tiba-tiba saja terdengar bahwa Andreas Try Haryono sudah jadi “orang penting” di PT Telkom.

Ia adalah teman angkatan kami yang sama-sama masuk Kelas Persiapan Pertama (KPP) di tahun 1978 dan bersama-sama pula kami mesti memperpanjang ½ tahun lagi di Medan Pratama (MP) lantaran Mendikbud waktu itu Prof. Daoed Joesoef mengubah tahun ajaran pendidikan formal dari Januari ke Juli.

Orang udik

Pada waktu tahun 1978 itu, semua seminaris selain yang datang dari perkotaan dan Jakarta, kami selalu merasa diri orang “udik” –anak-anak desa yang karena ingin maju dan bercita-cita jadi imam, maka kami meninggalkan kampung halaman kami dan masuk asrama untuk tujuan mulia.

RIP Andreas Try Haryono – Mertois 78 (1)

Andreas Try Haryono datang dari Paroki Somohitan di Turi.

Bagi kami, tak ada ide sedikit pun di benak kami masing-masing di manakah Somohitan di Turi tersebut? Sekarang kawasan ini menjadi terkenal sebagai desa wisata dengan produk unggulannya yakni Salak Pondok.

Dari Turi itu pula, sering kali saya bisa membawa 20-30 kg dari keluarga Try Haryono setiap kali saya berkesempatan mampir dolan ke sana –jauh-jauh hari setelah Try Haryono pensiun dini karena terkena stroke.

Berbeda dari kebanyakan orang “udik” yang banyak tingkah, Try Haryono adalah sosok seminaris super “pendiam”. Tak banyak omong dan kalau pun bicara, ia biasa omong lirih sekali dan itu pun hanya satu-dua ucapan keluar dari mulutnya.

Ia senang memakai baju putih. Kadang baju itu pun sudah “berhiasan” jamur yang menghiasi kerah leher baju kesayangannya itu.

Kunjungan rombongan di bulan Juni 2013. Paling kiri adalah almarhum Wawan Setiawan.
Teman-teman Mertois 78.
Salam dari “orang Manado” Donny.

Namun, kesederhanaan Try Haryono sebagai “orang kampung” dari Garongan, Turi, Sleman, DIY, sungguh tidak sebanding dengan kemonceran intelektualitasnya dalam mengolah rumus-rumus matematika dan ilmu eksata lainnya.

Karena itu, kami terkagum-kagum bahwa selepas dari Mertoyudan, Try Haryono langsung kuliah ilmu eksata di IKIP Sanata Dharma (sekarang Universitas) dan pada hampir bersamaan pula ia juga menjadi mahasiswa ilmu eksata di UGM.

Lulus pada waktu yang hampir bersamaan pula, Try Haryono mengantongi dua ijazah perguruan tinggi dari dua lembaga pendidikan tinggi formal yang bergengsi di Yogyakarta. Dengan bekal itu pula, kariernya di PT Telkom melesat bak anak panah sehingga setelah sekian lama dia sudah menjadi pemimpin cabang Kantor Telkom di beberapa kota di luar Jawa.

Kunjungan teman Thomas di bulan Desember 2017.

Kami “mengenal” kembali Try Haryono setelah dia lengser jadi bos dan teronggok sakit karena stroke berkepanjangan lebih dari 15 tahun lamanya.

Saya tak ingat persis kapan saya datang pertama kali mengunjungi dia di Garongan. Bisa jadi tahun  2010, karena yang saya ingat saya pulang membawa dus berisi salak pondoh oleh-oleh dari keluarga besarnya di Garongan.

Kunjungan kedua saya lakukan bersama teman lain. Lagi-lagi, salak pondok berkilo-kilo mengisi bagasi kendaraan kami.

Ramai-ramai mengunjungi tahun 2013

Di pertengahan bulan Juni 2013, saya mencatat sedikit kenangan berikut ini.

Sehari semalam, kami Mertois 78 juga ngumpul ngudarasa di Padepokan Konservasi Alam di Pengasih Wates di mana ada Heru Catur alias Nanang (waktu itu) menjadi  pengelolanya.

Datang di acara glenikan campur cripingan –dua kosa kata khas alumni Mertoyudan—adalah Primaryutomo alias “Paimo” dari Warak, Donny Kamagi dari Cibubur, Murbo Prabowo dari Bandung, Mujita dari Purwokerto, Wiwik Wiharjanto dari Yogya, Wahyu Dwiyoga dari Wates, Bambang Dananta dari Jl Godean, almarhum Wawan Setiawan dari Solo, Markus Prihminto Widodo alias McWid dari Bali, Widya Susetyo dari Magelang, Satria Sambodo dari Kedu, Hendarto dari Bandung, tuan rumah Heru Nanang dan penulis.

Usai semalaman kami ngobrol ngalor ngidul tidak karuan, kami meninggalkan Pengasih menuju Turi dengan intensi mengunjungi Try Haryono yang waktu  itu sudah 13 tahun lamanya menderita stroke.

Tak semua peserta reuni glenikan Mertois 78 bisa ikut datang menengok Try Haryono di Turi.Namun, Bambang Dananto yang malah harinya sempat ‘kabur’ dari panggung reunian, tiba-tiba saja malah muncul kembali siang harinya dan langsung ikut menemani kami. Juga Murbo Prabowo dari  Bandung.

Tertawa atau menangis?

Sebagai tukang foto, penulis mengabadikan momen-momen persahabatan itu.

Ada dua atmosfer kental yang ada di rumah Garongan itu. Suasana gayeng khas reunian ala alumni Mertoyudan dan perasaan kami yang begitu trenyuh melihat kondisi Try Haryono yang sakit.

Ingatan saya melambung ke perjalanan kami di Mertoyudan tahun 78-81/82. Selain terkesan sangat pendiam, Try Haryono termasuk sosok yang sangat ugahari dalam soal makan dan minum. Jarang saya melihatnya diam-diam pergi belanja makan-minum di luaran atau di kantin seminari.

Dalam pertemuan reunian itu, Try sering hanyut dalam rentetan tertawa dan menangis haru. Namun, pertemuan tahun 2013 itu terkesan berbeda dengan pertemuan saya dan dia tahun-tahun sebelumnya.

Antara tertawa dan menangis yang dulu juga sudah tidak jelas, kini pada tahun 2013 itu semakin tambah tidak jelas. Saya  tidak bisa memastikan apakah dia tengah tertawa atau menangis.

Untunglah di situ waktu Juni 2013 itu  ada almarhum Wawan Setiawan  “Si Topi Miring”. Wong Solo ini memang suka omong ndagel sehingga kami dibuat yakin bahwa di situlah Try Haryono bisa ngekek terkekeh-kekeh. Juga tokoh ‘ateis’ McWid yang kebetulan tengah tidak “thung” hingga bisa membuat banyolan.

Pada waktu itu pun, kami berharap kunjungan singkat ini bisa membawa berkah untuk semuanya.

Bagi kami waktu itu, tentu saja pertemuan sederhana itu juga telah membuka wawasan hidup spiritual yakni bahwa berbuat baik itu nantinya akan berbuah berkah di surga.

Alhasil, secara spontan kami lalu melalukan bantingan untuk sekedar memberi tanda kasih buat Try dan keluaranya.

Beberapa kali juga ada kelompok Mertois 78 membuat kejutan menggembirakan dengan perayaan ekaristi bersama keluarga oleh sejumlah imam teman angkatan kami.

Waktu itu, kami dibuat yakini sehingga berani berujar “Cepat sembuh ya Try, temen-temen Mertois 78 sayang kamu full. Kami yakin, kamu bisa sembuh.”

Tuhan sudah menemani Try dalam kondisi sakit lebih dari 15 tahun. Pada hari Minggu tanggal 11 November 2018, Tuhan berkenan mencabut penderitaan Try dan mengajaknya “pulang” ke Rumah Bapa-Nya.

Try masuk dalam barisan Mertois 78 yang sudah meninggalkan alam fana ini: Budi Astono (Ganjuran), Hajar Isworo (Klaten), FB Gunadi (Bantul), Budi “Wawan” Setiawan (Solo), dan Danu Susilo (Nanggulan).

Requiescat in pace et vivat ad aeternam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here