In Memoriam Mgr. Julianus Sunarka SJ: Kabar Duka Pesantren Desa (4)

1
957 views
Mgr. Julianus Sunarka SJ (Mathias Hariyadi)

PADA tahun 2013 lalu, Pondok Pesantren Al Fallah di Desa Tinggarjaya, di wilayah Banyumas menyiarkan kabar duka. Sang ibu dari pengasuh Pondok tersebut wafat dalam usia senja. Seluruh keluarga besar sangat kehilangan dan berkabung duka.

Uskup Keuskupan Purwokerto waktu  itu  Mgr. Julianus Sunarka SJ, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Keuskupan Sufragan Purwokerto, yang kebetulan memiliki hubungan dekat dengan keluarga pondok tersebut turut hadir untuk melayat. Beliau memberi doa dan peneguhan kepada keluarga besar pondok.

Dengan jubah resmi, Mgr. Sunarka SJ   duduk tenang di antara ratusan pelayat yang lain, sambil sesekali ikut melafalkan doa-doa dalam bahasa Arab yang ia hafal, atau dengan khusuk hanya ikut menjawab “Amin”, ketika ia tak hafal doa-doa yang dilantunkan itu.

Kehadirannya dengan pakaian yang sangat khas tentu saja mengundang perhatian orang,  karena ia menjadi sangat “berbeda” di antara ratusan pelayat yang lain. Namun dengan tenang dan biasa, ia tetap duduk hening mengikuti lantunan doa yang didaraskan. Sesekali ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan orang-orang yang hadir dan mengajaknya bersalaman.

Sesudah layatan

Yang lebih mengherankan dan mengejutkan banyak orang adalah peristiwa sesudah itu. Ketika tiba saatnya untuk secara bergiliran melakukan shalat jenazah di hadapan almarhumah yang disemayamkan di dalam masjid, Uskup yang mengenakan pakaian resmi pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan khidmat memasuki masjid.

Dengan tenang ia berdiri di antara pelayat yang hendak melakukan shalat di hadapan almarhumah. Tak pernah terbayangkan oleh semua yang hadir saat itu bahwa seorang Uskup berkenan menyatukan diri di antara jamaah shalat jenazah, sementara sang pengasuh pondok berdiri di depan sebagai imam, pemimpin shalat. “Allahu Akhbar….Allahu Akhbar…..Allahu Akhbar…”, terdengar khidmat ketika Sang Uskup ikut melakukan shalat.

Setelah usai, ia berjabat tangan dengan keluarga pondok sambil mendoakan semoga almarhumah diterima di sisi Allah.

Tindakan empati

Apa yang dilakukan oleh sang Uskup di tengah suasana duka yang sedang dialami oleh keluarga pesantren desa itu adalah pilihan tindakan yang sangat empati dan rendah hati. Ia sangat memahami konteks dan situasi yang sedang ia hadapi.

Melalui tindakan ini, Uskup sedang mengejawantahkan sikap “saya menjadi bagian dari Anda, berada di dalam pihak Anda, secara tulus dan jujur berdoa kepada Tuhan bagi almarhumah sesuai dengan cara dan kebiasaan Anda”.

Semuanya itu tak lain dan tak bukan hanyalah untuk menghadirkan peneguhan dan kedamaian di tengah keluarga yang sedang dirundung duka.

Empati, sebagaimana diwujudkan dalam tindakan Uskup ini, adalah sikap yang sangat dibutuhkan dalam membangun perdamaian. Hanya melalui empati, seseorang dapat memasuki ruang terdalam sesamanya untuk menemukan sesuatu yang bernilai dan terhormat di dalam diri dan pengalaman sesamanya meskipun ia sangat berbeda.

Kesanggupan untuk menemukan sesuatu yang bernilai, yang terhormat, yang baik, yang suci dan yang membangkitkan syukur di dalam diri orang lain inilah yang akan mendorong orang untuk mampu berdamai dengan orang lain.

Di dalam konteks yang unik dan dengan caranya yang unik pula, sang Uskup sedang mengejawantahkan sikap empati sebagaimana diamanatkan oleh Konsili Vatikan II melalui pernyataan Nostra Aetate, yakni pernyataan tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen. 

“….Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang….” (Nostra Aetate, Artikel 2).

Dalam kajian teologi dan psikologi spiritual, empati adalah sebuah tindakan incarnatio (mengambil rupa daging – menjadi manusia – menjadi yang lain) dan kenosis (pengosongkan diri).

Empati berarti masuk ke dalam dan mendarah daging dalam diri dan pengalaman orang lain sekaligus mengosongkan dirinya agar menjadi serupa dengan diri dan pengalaman orang lain itu. Tindakan pengosongan diri itu memiliki dua aspek. 

Pertama, tindakan ini berarti menanggalkan seluruh “kemuliaan identitas dirinya” beserta seluruh kecenderungan kepentingan egoisnya. 

Kedua, mengosongkan diri berarti menyediakan ruang yang luas di dalam batinnya sehingga leluasa menerima kehadiran orang lain dengan penuh keramahtamahan.

Dalam tiadanya kecenderungan akan kepentingan identitas diri dan dalam ruang batin yang luas itulah seseorang dapat secara leluasa dan ramah menerima “yang lain” sehingga yang lain itu dapat menghadirkan diri dengan seluruh eksistensinya yang serba benar dan suci.

Melalui tindakan empatinya yang unik, Uskup ini sebenarnya sedang mewujudkan tindakan “memuliakan” orang lain atau “menempatkan orang lain dan seluruh pengalamannya di tempat yang terhormat”.

Kesaksian dalam bahasa Banyumasan sang pengasuh pondok sebagai bagian dari keluarga yang berduka menguatkan hal ini.

Coba bayangna, nganti rama pastur bae kersa nyolati biyunge. Kaya ngapa rasa mongkoge inyong. Kiye tandha nek biyunge kuwe dihormati dening wong liya. Ya muga-muga shalate rama pastur mau ditampa dening Allah.”

(Coba bayangkan, sampai seorang Pastor pun sudi melakukan shalat bagi ibu. Saya sungguh merasa tersanjung. Ini menjadi tanda bahwa ibu dihormati oleh orang lain. Semoga shalat yang dilakukan oleh Pastor itu diterima oleh Allah)

Tantangan empati global

Sayangnya, dunia kita sekarang ini sedang menghadapi kemerosotan empati yang luar biasa. Perang dan konflik disertai kekerasan menelan banyak korban dan menciptakan tragedi kemanusiaan. Situasi ini tampak nyata dari meningkatnya jumlah orang yang terpaksa mengungsi meninggalkan kampung halaman demi mencari keselamatan dan hidup yang lebih damai.

Komisi Tinggi PBB urusan Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) melaporkan bahwa sampai dengan akhir tahun 2013 jumlah total pengungsi dan pencari suaka di seluruh dunia mencapai angka 51,2 juta orang (UNHCR Global Trend Report 2014). Mereka terpaksa mengungsi karena menghindari penganiayaan, konflik, kekerasan masal, maupun pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia.

Jumlah itu cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada bulan Juni 2015 yang akan datang, secara resmi akan dirilis jumlah pengungsi sampai akhir tahun 2014. Tak dapat dibayangkan bahwa sementara ini, dalam setiap menit, 8 sampai 10 orang di seluruh dunia ini terpaksa mengungsi sebagai akibat dari konflik, penganiayaan dan kekerasan.

Dalam derajat yang berbeda, kemerosotan empati terjadi dalam penyempitan cara pandang terhadap orang atau kelompok lain, menguatnya prasangka, meningkatnya penolakan dan kecurigaan terhadap orang asing/imigran, semakin mudahnya orang menilai orang lain yang berbeda sebagai musuh yang mengancam atau sebagai kelompok yang sesat, semakin mudahnya orang untuk memberikan cap atau stigma negatif kepada orang lain, serta semakin abainya para pemimpin publik dan pengambil kebijakan terhadap hak-hak warga masyarakat.

Media, sebagai penyedia jasa informasi publik sering kali juga turut serta menjadi salah satu aktor yang justru menyuburkan kemerosotan itu.

Contoh paling nyata dalam konteks Indonesia adalah begitu mudahnya media televisi maupun cetak menyebut para pengungsi dan pencari suaka yang ada di Indonesia sebagai “imigran gelap”.

Sebutan “imigran gelap” adalah sebutan yang bermakna negatip, yakni orang-orang yang memasuki wilayah negara lain secara illegal. Secara serampangan dan semena-mena, media di Indonesia menempatkan mereka sebagai “orang yang melanggar hukum”.

Padahal, senyatanya, mereka adalah orang-orang yang “secara terpaksa” pergi mencari keselamatan jiwa dan kedamaian. Mereka terpaksa menempuh bahaya mengarungi lautan yang ganas dengan menumpang perahu sederhana yang tak layak tanpa sempat membawa serta dokumen keimigrasian yang dibutuhkan. Pada gilirannya, informasi yang tidak empati ini diterima oleh masyarakat seolah-olah sebagai kebenaran sehingga menimbulkan sikap negatif terhadap para pencari damai yang terpaksa meninggalkan negeri mereka sendiri.

Dalam konteks relasi agama-agama, kecenderungan agama-agama besar untuk memandang dan menempatkan agama-agama serta keyakinan lokal dalam posisi yang lebih rendah, yang kurang sempurna, dan yang mengandung benih penyakit, juga merupakan contoh lain dari kemerosotan empati.

Akibatnya agama-agama besar itu menganggap diri mereka memiliki otoritas lebih untuk mengangkat, menyempurnakan dan menyembuhkan agama atau keyakinan lokal itu seturut cara berpikirnya sendiri.

Mewujudkan keadilan

Di tengah merosotnya empati dan solidaritas, kehadiran Uskup dengan pilihan tindakannya yang empati dan rendah hati di antara keluarga pesantren desa yang sedang berduka, menjadi kritik, inspirasi sekaligus harapan. Berbagai upaya, kreativitas dan terobosan untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan membiasakan empati dalam kehidupan bersama sangatlah dibutuhkan. Meskipun mengembangkan empati itu merupakan syarat sangat penting dalam menghadirkan perdamaian, mewujudkan keadilan merupakan pekerjaan yang jauh lebih penting lagi.

Kesanggupan berempati akan mengakibatkan seseorang mampu melihat kebaikan, keluhuran dan martabat orang lain. Dari situlah seseorang melangkah kepada upaya menghadirkan keadilan dalam kehidupan bersama sehingga setiap orang sungguh-sungguh menemukan kedamaian.

Semoga tindakan unik dan sederhana di tengah suasana duka sebuah pesantren desa ini, membangkitkan inspirasi bagi semakin banyak hati untuk seturut kesanggupannya dan melalui berbagai macam cara, menghadirkan empati dan keadilan dalam kehidupan bersama.

PS: Artikel sama dengan penulis yang sama ini pernah muncul di media lain pada tahun 2013.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here