In Memoriam Romo Antonius Soetanto SJ: Suster Kesot dan Led Zeppelin di Antara Koleksi Album Musik Klasik (3)

0
394 views
RIP Romo Antonius Soetanto SJ (Ist)

SUATU hari, almarhum Romo Tanto SJ memanggil saya datang dan kemudian masuk ke kamarnya. Ketika itu, Romo Antonius Soetanto SJ masih berstatus Frater, belum ditahbiskan sebagai imam.

Ia masih disebut “Romo Mudo” di Seminari Menengah Mertoyudan. Ditugaskan menjadi Frater Surveillant (wakil pamong)untuk kami – murid-murid Seminari Mertoyudan yang waktu itu masih bèyès-bèyès seumuran duduk di bangku kelas SMP tahun kedua.

Beliau bahkan tetap sebagai Frater Pamong sampai kami usia SMA di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang – sebuah sekolah asrama milik Keuskupan Agung Semarang untuk para remaja lelaki Katolik yang berkeinginan menjadi pastor.

Peristiwa ini terjadi kurun waktu sekitar 1966-1970-an.

Drama “Suster Kesot”

Saya memang termasuk sering keluar masuk, dipanggil ke kamar beliau. Karena sering kedapatan nakal – bikin berisik dormitorium.

Inilah bangsal tidur massal yang berisi sekitar 30-an bed susun, tanpa kasur, hanya selembar tikar di atas papan kayu. Dipan berbahan baku besi seperti bed-bed rumah sakit; di atasnya hanya satu bantal, dan satu selimut lorek, tanpa guling.

Kenakalan kurang ajar saya, dan juga sobat saya Gemboes -semua siswa Seminari Mertoyudan selalu memiliki julukan miring, alias yang wagu-wagu atau jelek-jelek adalah kebiasaan menakut-nakuti teman-teman sekelas yang sudah tidur di kegelapan dormit.

Dengan menjadi “Suster Kesot”.

Di keremangan lampu dormit, setelah lampu terang dimatikan dan sudah mulai pada mendengkur, kami berdua sering memainkan peran ini.

Caranya?

Pakai sarung, diikatkan di kepala di atas mata, lalu dibalik sedemikian rupa sehingga yang terbuka hanya bagian mata. Persis kayak ninja.

Paginya? Jangan tanya gemparnya.

Banyak yang mulai bercerita: “Tadi malam aku diparanin (didatengin) Suster Kesot,” salah satu korban yang saya ingat adalah sobatku Kancil.

Teman satu bed-ku, Akiem Hartanto (almarhum) yang tidur di bawahku -sementara aku di atas bed susun- biasanya hanya senyum-senyum. Ia sangat tahu dan mahfum sekali dengan model kenakalanku.

Akiem – temanku sejak Sekolah Dasar di Bruderan Solo – biasanya kompak. Malah membumbui. Kisah tentang Suster Kesot pun lalu beredar dari mulut-ke-mulut. Waktu itu, tentu saja belum ada HP. Maka, viralnya berlangsung manual saja, dari mulut-ke-mulut. Gethok tular.

Ngithir

Tetapi, rupanya sekali waktu juga kena karmanya drama Suster Kesot.

Suatu ketika di kegelapan malam, penulis yang -karena karena juga dilanda rasa takut pergi ke WC sendirian- lalu hanya berani buang air di sembarang tempat dalam kegelapan malam. Nggak pada tempatnya. Hanya di tritisan pinggir dormitorium.

Eh, saat pipis itulah, dia kena sorot senter Romo Surveillant. Romo Tanto SJ datang curiga, karena mendengar bunyi gemericik “terjadi” tidak pada tempatnya.

Gara-gara ketangkap basah, “ngithir dalam kegelapan” pinggiran dormit, maka sontak teman-teman pun lalu suka memanggilku dengan julukan baru: Ngithir. Whaini. Karma Suster Kesot.

Lagu cadas Led Zeppelin

Kenakalan lain? Sering bergitar, memainkan lagu-lagu pop, yang tentu saja lumayan menyimpang di asrama, yang lebih banyak “Ora et Labora” (bekerja, belajar dan berdoa). Bekerja di kebun (kami sebutnya opera, alias pekerjaan), ngosek WC, atau bertukang.

Lagi-lagi, pernah dipanggil Romo Tanto yang sabar melihat kenakalan-kenakalan teman-teman kami yang masih usia SMP ini.

Majalah-majalah musik yang saya bawa masuk ke asrama, seperti Pop Melodies, Discorina dan majalah-majalah penyanyi pop, disita Romo Tanto.

Nanti kalau sudah mau liburan dan siap pulang kampung, majalah pun lalu dikembalikan.

Tetapi suatu ketika, saya dipanggil Romo Tanto; bukan karena kenakalan. Tetapi untuk mendengarkan musik, yang beliau bawa dari Belanda.

“Aku punya musik untukmu,” kata Romo Tanto.

Almarhum lalu menunjukkan sebuah piringan hitam single, dari penyanyi super cadas: Led Zeppelin. Penyanyi grup cadas muncul dengan rekaman perdananya untuk album itu: Immigrant Song. Dan di baliknya ada Tangerine.

Wuaduh. Kaget setengah mati saya.

Meski setiap saat, di Mertoyudan kami diajar musik klasik, baik teori membaca not balok, sejarah musik sampai bermain untuk orkes dan saya beruntung kebagian main instrumen biola.

Saya dan beberapa teman membandel, sesekali dan berkali-kali mendengarkan musik-musik rock, dan pop, dari lagu Barat sampai lagu pop lokal, di zaman penyanyi top saat itu: Titiek Sandhora, Anna Mathovani, Tetty Kadi, Koes Bersaudara, Panbers.

Pokoknya yang jadhoel-jadhoel. Musik Barat? Saat itu zamannya The Beatles, The Animals, The Marmalade, The Tremeloes.

Banyak sekali tampilan grup musik Baratnya.

Nah, ketika kepada saya lalu disodori oleh Romo Tanto yang lulusan Konservatorium -sekolah musik- di Negeri Belanda koleksi musik hard-rock kategori “underground” milik Led Zeppelin punya, maka reaksi batin saya ya tentu saja kaget setengah mati.

Karena, lagu-lagu kesenangan saya dulu itu hanya sempat saya dengarkan di stasiun-stasiun radio. Utamanya, dari radio-radio amatir di Solo, saat pulang ke rumah manakala waktu libur sekolah, seperti Radio PTPN, Radio Atmajaya, Radio SAS.

Atau, kalau lewat tengah malam, melalui radio tabung di rumah saya di Solo, bisa mendengarkan sayup-sayup Blues Program dari Radio Retjo Buntung, Geronimo, yang dipancarkan dari kota tetangga: Yogyakarta.

Jago main biola

Romo Tanto jago main biola dan piano, organ. Beliau pula yang menganjurkan saya untuk memilih agar saya main instrumen biola atau flute. Dan saya memilih biola.

Guru pertama saya, seorang “virtuoso” kelas Mertoyudan, Mas Kemis (nama aselinya rahasia). Guru kedua, ehm, kini sudah menjabat Uskup Keuskupan Agung Jakarta: Ignatius Kardinal Suharyo.

Saya juga pernah diajar oleh Mas Jepun – bukan orang Jepang. Tetapi karena konon, wajah beliau mirip seseorang lain asal Klaten yang julukannya Jepun.

Dirigen, Not Balok Gregorian

Romo Tanto tidak hanya jago biola, dan vibrasi kirinya ketat, tidak mengalun seperti Mas Kemis.

Pernah sesekali, Romo Tanto solis biola, padahal beliau memegang tongkat dirigen, konduktor orkes Merto.

Saya sungguh merasa beruntung, karena sempat ikut duduk sebagai violis Orkes Merto, di bangku biola pertama.

Adalah Romo Tanto pula yang bertahun-tahun -saat kami di bangku Seminari Mertoyudan- mengajar kami Cantus – sebutan untuk pelajaran musik. Tak hanya menulis Not-not Balok, serta sejarah musik klasik – akan tetapi juga menulis Not Gregorian.

Harap tahu, kalau Not Balok, garis nadanya lima garis, maka Not Gregorian hanya empat garis.

Dalam pelajaran Cantus, tak hanya diajar teori. Akan tetapi juga apresiasi. Sesekali diperdengarkan musik klasik. Dengan alat pemutar piringan hitam yang kami sebut Phono.

Bagaimana membedakan musik Barok-Rokoko di era Johan Sebastian Bach, dengan musik era Klasik Mozart, Vivaldi, serta musik-musik era Romantik seperti Beethoven.

Jangan tanya, ekspresionis, sulit dicerna jika mendengar musik-musik Arnold Schoenberg, Anton Webern, atau Alban Berg.

Dissonansi juga merupakan keindahan dalam bermusik.

Ah, tetapi Romo Tanto yang dulu mengajari kami pertama bermusik itu sudah pergi.

Persis tanggal 1 Maret 2022 malam, beliau telah sowan Gusti di keabadian setelah sekian lama sakit di Kolese St. Stanislaus Girisonta, Jawa Tengah – setelah sebelumnya mengemban tugas terakhir di Paroki Tanjung Priok, Jakarta Utara dan Gereja St. Servatius di Paroki Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat.

Beliau adalah komponis musik liturgi Gereja sampai masa tuanya.

Sekali lagi, mohon maaf kenakalan saya dulu ya Romo. Semoga Romo beristirahat dalam damai di keabadian.

Jimmy S. Harianto alias Ngithir van Mertoyudan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here