Kejadiannya dua hari yang lalu. Anakku diundang temannya yang merayakan ulang tahun di sebuah restoran cepat saji. Hampir seluruh teman sekelasnya datang. Mereka juga ditemani oleh ibu dan adiknya. Ada yang ditemani Bapak dan babby siter-nya. Sambil menunggu acara puncak, yaitu tiup lilin dan makan ayam goreng ala restoran cepat saji tersebut, Badut mengisi acara dengan sulapan-sulapan dan pembagian hadiah dari teman anakku yang ulang tahun. Meriah.
Setiap hadiah akan diberikan, Badut meminta setiap anak untuk duduk rapi, tenang, dan tertib. Yang paling rapi, tenang dan tertib akan dipanggil ke depan untuk mendapat pertanyaan yang lucu-lucu bagi anak-anak dan mendapat hadiah. Anak pertama yang dipanggil adalah anak yang suka teriak-teriak dengan keras. Hadiah berikutnya jatuh ke tangan anak yang dalam acara tersebut lari ke sana kemari. Dengan tangan dilipat di dadanya, anakku menoleh kepadaku. Aku tersenyum. Hadiah ketiga jatuh kepada teman anakku yang suka bikin onar dalam acara tersebut dan kebetulan dia adalah suadaranya yang lagi ulang tahun. Anakku mulai gelisah duduknya.
Dalam keadaan duduk rapi dan tertib, anakku selalu angkat tangan bila ada pertanyaan dari Mr. Badut. Dia ingin menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh Mr,. Badut. Tapi selalu yang diberi kesempatan adalah mereka yang teriak-teriak, lari-lari, yang menarik-narik baju badut, dan yang banyak bikin “heboh”, padahal sejak awal Mr. Badut minta setiap anak untuk duduk rapi, tenang, dan tertib.
Hingga akhir acara pembagian hadiah itu, anakku tidak pernah maju untuk menjawab pertanyaan dari Mr. Badut yang lucu. Dengan wajah “mrengut” (suntuk), anakku mendekat kepadaku, yang duduk di belakangnya, dan bertanya,”Pak, kenapa yang dapat hadiah teman-temanku yang sukanya ramai dan berlari-lari. Katanya yang dapat hadiah yang bisa duduk rapi, tertib dan tenang. Aku kok tidak dipanggil dan dapat hadiah?” Aku tercekat dengan pertanyaan polosnya. Spontan aku menjawab,”Yah… kamu duduknya dibelakang sih jadi tidak kelihatan.” (Padahal ada juga anak yang duduk di belakang yg dipanggil oleh si Badut). Jawaban-jawaban penghiburan aku berikan kepada anakku yang masih protes dalam setiap jawabku. Dari bisik-bisik yang saya dengar, memang ada pesan sponsor agar anak-anak: Si A, Si B, Si C, dsb dipanggil ke depan dan diberi hadiah, biar anaknya senang.
Dalam hati aku berpikir: dalam banyak kejadian, yang merusak kemurnian hati anak-anak adalah kita orang dewasa, yang nota bene sudah pinter rasionalisasi, politik, berpamrih negatif, merekayasa, dsb. Namun demikian, aku bangga pada anakku yang dalam kepolosan dan keterbatasannya, menemukan dan merasakan ketidakadilan. Semoga perasaan ini tumbuh dengan subur, dan terlebih agar aku bisa mendampinginya, minimal anakku bisa berbuat lebih adil. Semoga.
Photo credit: kidstopia.wordpress.com