Menyelamatkan “Jiwa” Orang di Pom Bensin

0
840 views

 

MARILAH kita tidak usah muluk-muluk dalam upaya menyelamatkan “jiwa-jiwa”, satu kata kunci teramat penting dalam spiritualitas Santo Ignatius Loyola. Saya memahami nasehat rohani ini sebagai hal yang tidak perlu “mewah” karena upaya membantu dan menyelamatkan “jiwa” itu sering terjadi dalam peristiwa keseharian kita. Sungguh teramat biasa dan tidak ada istimewanya.

Isi bensin

Selasa (20/7) pagi-pagi di bulan Juli 2011. Seperti kebanyakan para commuters lainnya yang memadati ruas-ruas jalan di setiap sudut Jabodatabek, saya pun ikut dalam sebuah antrian panjang kerumunan sepeda motor yang ingin mengisi bensin.  Saya ingin tertib dan saya antri menunggu giliran.

Di depan saya ada seorang bapak yang motornya tengah diisi bensin sesuai permintaannya. Begitu selesai, segera ia mengulurkan uang pas kepada petugas SPBU. Lalu dia tutup tengki bensin namun sengaja atau tidak, bapak ini tidak menutup tengki bensin itu 100 persen rapat. Memang bensinnya tidak tumpah, karena itu dia lalu menyorongkan motornya maju ke depan.

Karena bapak tadi sengaja memberikan uang pas, maka ia memutus “jalur panjang” antrian kendaraan bermotor. Dengan mendorong motornya ke depan, berarti dia membuka “jalan longgar” bagi para pengendara lain untuk segera maju dan menyorongkan tengki bensinnya kepada petugas SPBU. Pun demikian pula, saya dibuat bisa maju mendekati posisi pengisian bensin.

Peduli orang lain

Apa yang bisa saya petik dari sebuah peristiwa sangat sepele di atas? Tiada lain adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana kita bisa peduli akan kepentingan orang lain. Dalam perspektif spiritualitas Ignatian, apa yang telah diperbuat bapak anonim itu tak lain adalah perbuatan untuk “menyelamatkan jiwa”.

Peristiwa sederhana ini mengusik saya seharian. Setidaknya, saya dikejar oleh pertanyaan: bisakah aku juga melakukan hal sama kepada orang lain? Sanggupkah aku mempraktikkan keutamaan rohani yang sedemikian sepele namun bisa menolong orang lain?

Jakarta yang hiruk-pikuk ini sungguh tak perlu membutuhkan ide-ide besar untuk menata perkotaannya. Yang perlu dan harus segera ada adalah kepedulian besar terhadap kepentingan sesama. Dan kalau setiap warga Jakarta saling peduli akan kepentingan orang lain, maka di Jakarta yang super sibuk ini tak perlu ada lagi saling sikut, saling tubruk, dan saling caci-maki berebut lahan jalan di kala kemacetan menghimpit semua sudut jalan.

Mispan Indarjo, karyawan sebuah badan internasional di Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here