Konflik Pasutri, tak Ada Pengalaman Bahagia di Rumah

0
289 views
Ilustrasi: Konflik antara suami-isteri dalam keluarga muda. (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Senin, 14 Februari 2022.

Tema: Bukti cinta.

Bacaan

  • Yak. 1: 1-11.
  • Mrk. 8: 11-13.

“COBA katakan apa buktinya kamu mencintaiku?” kata seorang isteri yang lagi sewot.

“Aku sudah menerima apa adanya kamu. Aku sudah menahan diri jauh lebih dari kapasitasku. Aku banyak menahan diri, hanya demi kamu dan keluarga.

Tetapi apa yang kamu lakukan untuk aku? Kamu sibuk bersosialita. Anak-anak kadang tidak diurus. Semua bibi yang mengurus. Sementara, kamu enak-enak, jalan-jalan makan bareng, foto bareng lalu diunggah di medsos,” ungkapnya dengan emosi super gundah.

“Kan sebulan sekali. Keseharian aku di rumah. Bahkan rasanya seperti pembantu,” jawab suaminya.

“Pembantu apaan? Nyapu-ngepel, cuci-seterika, belanja-masak, semua bibi yang kerjakan,” tandas isteri. “Aku ini isterimu. Bukan pembantu. Cari aja pembantu, sana,” katanya dengan emosi super marah.

Begitulah kira-kira keluhan sebuah keluarga yang perkawinannya berusia 13 tahun. Kebetulan dua-duanya saya kenal baik dan pernah syering soal konflik dan kisruh keluarga.

Saya sedikit akan bingung bagaimana mendampingi mereka.

Karier suami sedang bagus. Banyak waktu dan perhatian tertuju pada pekerjaan. Bos mempercayakan banyak hal kepadanya. Perhatian pada keluarga jadi berkurang. Waktu lembur pun semakin bertambah.

Kebersamaan semakin mahal. Sejenak bersenda gurau dengan keluarga kemudian berubah hanya jadi impian. Pulang sudah capek, ingin tidur.

Sementara, mungkin pasangannya ingin lebih berbicara lama dengan suami. Sambil menonton TV atau anak-anak juga ingin bercengkerama. Hal beginian sudah pasti bisa dihitung jari.

“Sekarang papi akan lebih memilih karier,” kata sang isteri kepada keluarga.

Demi karier dan income keluarga.

Sang suami sebenarnya juga telah mencoba berterus terang kepada keluarga tentang situasi kondisi kariernya sekarang.

Pasangannya juga mulai jenuh di rumah. Sudah selama 13 tahun menjadi ibu rumahtangga, tapi tanpa banyak merasakan pengalaman bahagia.

Sejak melahirkan anak-anak, suasanya ya begitu-begitu saja. Hanya buah hati mereka yang mendatangkan kelegaan. Hanya hadirnya anak-anak meyakinkan dirinya bahwa telah menjadi berkat keluarga.

Tidak pernah liburan keluar negeri, walaupun mampu. Paling-paling hanya  pulang kampung. Dan itu dirasa sangat membosankan.

Sementara hubungan isteri dengan mertua juga tidak begitu baik. Mertua lebih banyak menuntut. Isteri merasa dibanding-bandingkan dengan menantu yang lain.

Ia merasa tertekan. Sementara, suami harus dilayani.

Pertemanan suami dengan kelompok bayanya memunculkan keirian. Karena, para suami mereka tidak sampai menuntut isterinya harus mengurus rumahtangga.

Yang penting, kata para suami itu, anak-anak diperhatikan. Bebas bergaul dan pergi ke mana pun dengan teman-teman sekedar berbagi pengalaman

Dan apalagi, pengeluaran pun juga tak dibatasi.

Anak-anak sudah mulai dewasa. Lebih ingin mandiri daripada diperlakukan sebagai anak kecil yang harus diurus. Banyak waktu untuk diri sendiri dan teman teman sekolahnya. Maminya pun tidak paham betul soal pelajaran SMP-SMA anaknya.

Serba menuntut dan sibuk dengan diri masing-masing itu dapat menjadi celah kebosanan dan bibit-bibit kemarahan.

Saya pernah bertanya pada seseorang. Lalu dia berkata demikian:

“Selama mereka belum merumuskan bersama, bersepakat bersama, apa yang terpenting bagi keluarga mereka; apa yang membuat mereka bahagia bersama, mereka akan selalu bertengkar. Bahkan saling menuntut. Merasa sudah berkurban, tapi tak saling memahami.

Dan yang paling berbahaya adalah ketika hubungan mereka sebagai orangtua bagi anak-anak juga sudah mulai dingin. Sebagai pasangan tidak lagi saling tertarik. Sekedar kewajiban.

Inilah tanda “lampu kuning” sudah menyala.

Dan betul saja, suatu ketika sang isteri datang dan bertanya proses perceraian.

Saya kaget tak menyangka. Tapi karena saya kenal mereka, hanya bisa berkata:

“Ngawur kamu. Apa lagi yang mau dicari? Sama-sama terlibat dalam pelayanan. Anak-anak aktif dan jarang bertengkar. Rumah ada. Materi tidak kekurangan?”

Bukankah itu berkat? Bukti kasih Tuhan. Sudah ada pengalaman akan kebahagiaan. Lalu apalagi yang mau dicari?

“Mengapa angkatan ini meminta tanda?” ay 12a.

Yakobus menasihati demikian:

“Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.” ay 2-3.

Tuhan, ajari kami saling mengasihi dan memahami. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here