Minggu. Hari Minggu Paskah III (P)
- Kis. 2:14.22-33.
- Mzm. 16:1-2a.5.7-8.9-10.11
- 1Ptr. 1:17-21
- Luk. 24:13-35
Lectio (Luk. 24:13-35)
Meditatio-Exegese
Ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia
Di hari kebangkitan Tuhan, dua orang murid pergi meninggalkan Yerusalem dengan wajah muram. Kedua orang itu hendak pulang ke Emaus, yang terletak kira-kira 7 mil atau 60 stadia atau 11 kilometer dari Yerusalem.
Santo Markus juga mencatat kisah ini dan penampakan Yesus di Ruang Tengah di Yerusalem (Mrk. 16:12-17). Namun, hanya Santo Lukas mencatat rincian perjumpaan antara Kristus yang telah bangkit dan dua murid itu.
Santo Lukas melukiskan suasana murung saat kedua murid itu melangkahkan kaki keluar kota Yesusalem. Mereka kehilangan harapan akan Yesus. Kesedihan yang menyayat hati terus dibawa, sehingga melumpuhkan seluruh jiwa dan raga.
Kelumpuhan itu membuat mereka tidak mampu mencerna dengan jernih apa yang sedang dilakukan Tuhan terhadap perjalanan sejarah manusia. Santo Lukas melukiskan dengan tepat, “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia” (Luk. 24:16).
Kata yang digunakan εκρατουντο, ekratounto dari kata kerja krateo, menguasai, memegang, menghalangi, menangkap. Maka, mata batin mereka tidak mampu lagi mencerna seluruh peristiwa yang terjadi; dan iman mereka menjadi buta dan tidak mampu mengenali-Nya.
Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?
Sementara mereka berjalan ke arah Emaus, Yesus menjumpai di tengah jalan dan menyapa, “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” (Luk 24:17). Yesus membuka percakapan. Ia tahu apa yang berkecamuk di lubuk hati kedua murid itu.
Hidup menjadi tak bermakna seiring dengan padamnya harapan mereka. Yesus memahami hati mereka dan berjuang sangat keras untuk memulihkan iman dan harapan mereka berdua. Kata-Nya kepada mereka,”Apakah itu?”
Yesus ingin tahu apa yang berkecamuk dalam pergulatan batin mereka. Yesus mengalami kegagalan ketika Ia mewartakan Kabar Sukacita di awal karya-Nya di Nazareth, bahkan Ia hendak dijatuhkan ke dalam jurang (Luk 4:16-30), Ia kini mengalami ancaman kegagalan lain, justru dari sahabat-sahabat terdekat.
Bagi mereka berdua, Yesus Orang Nazareth, yang dianggap nabi Allah dan berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan bangsa Yahudi, ternyata, telah dihukum mati dengan cara disalib. Mereka mengharapkan-Nya menjadi pembebas dari segala macam belenggu, ternyata, berakhir sia-sia.
Bahkan, sekarang pun, mayat-Nya tidak ada di kubur. Mereka berdua tidak percaya akan warta kebangkitan-Nya yang disampaikan para perempuan dari komunitas iman mereka sendiri, bahkan dari Petrus (Yoh. 20:1-8). Mereka menyangka kematian Yesus adalah kematian orang yang dikutuk Allah (bdk. Ul. 21:23).
Para murid menyebut Yesus sebagai “nabi” (Luk. 24:19). Santo Lukas menggunakan kata nabi dalam Injilnya sebanyak lima kali (Luk. 4:24; 7:16, 39; 13:33; 24:19) dan tiga kali dalam Kisah Para Rasul (Kis. 3:22-23; 7:37; 8:34-35).
Gelar ini melukiskan peran Yesus sebagai Musa baru dalam Keluaran baru di Perjanjian Baru dan memenuhi nubuat Musa dalam dalam Ul. 18:17-19 (bdk. Luk 9:31 ketika Musa dan Elia berbicara dengan Yesus tentang tujuan kepergian-Nya, exodus ke Yerusalem). Kedua murid itu mengharapkan Yesus ‘membebaskan’ Israel seperti yang dilakukan Musa dahulu.
Santo Lukas di awal Injilnya menyingkapkan tema pembebasan dalam Luk. 1:68 dan 2:38. Namun, gagasan itu berlainan dengan apa yang dipikirkan oleh dua orang murid itu. ‘Pembebasan Israel’ harus dimaknai secara rohani sebagai pemulihan kaum yang tetap setia pada perjanjian dengan Allah (lihat Kis. 13:23).
Di samping itu, para murid Emaus membenarkan akan kunjungan kaum perempuan, Petrus dan murid yang dikasihi Yesus ke makam yang yang telah kosong (Yoh. 20:1-10).
Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?
Yesus menegur mereka. Bahkan, Ia mencela kebodohan mereka karena mereka tidak mengerti akan makna peristiwa di Yerusalem dalam tiga hari terakhir.
Maka, meneruskan kata Kleopas tentang hidup dan karya Yesus (Luk. 24:19), sengsara dan kematian-Nya (Luk. 24:20), rasa putus asa yang alami para murid (Luk. 24:21), dan peristiwa di Hari Minggu (Luk. 24:22), Yesus menegaskan (Luk. 24:26), “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”, Nonne haec oportuit pati Christum et intrare in gloriam suam?
Selanjutnya, Yesus tidak berkhotbah tentang Kitab Suci. Ia menemani para sahabat-Nya untuk memaknai keputus-asaan dan mencari jalan keluar. Ia menjelaskan seluruh Kitab Suci untuk memberi makna baru atas seluruh rangkaian peristiwa mulai dari Galilea hingga Yerusalem.
Sebelumnya, Ia mengajak kaum Yahudi untuk kembali berpaling ke Kitab Suci, karena Kitab Suci bersaksi tentang Dia, “Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku” (Yoh. 5:39).
Lalu, Ia menjelaskan tiap kitab, mulai dari kitab Musa hingga para nabi. Kitab Suci memuat nubuat bahwa Allah melaksanakan rencana penyelamatan-Nya melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Mesias.
Salib bukan kegagalan. Salib adalah jalan yang dipilih Allah untuk mengalahkan dosa dan maut secara definitif (bdk. 1Kor. 1:23-24). Banyak orang sejaman Tuhan salah menafsirkan teks Kitab Suci. Tak ada seorang pun mampu mengetahui dan menjelaskan makna Kitab Suci, kecuali Tuhan.
Dalam Tradisi Gereja Katolik, mempelajari Perjanjian Lama harus diterangi oleh Kristus dalam Perjanjian Baru. Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, menulis, “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru”, Novum in Vetere latet et in Novo Vetus patet.” (Quaestiones in Heptateuchum 2,73; lihat Katekismus Gereja Katolik, 128-129)
Hati kita berkobar-kobar
Hari menjelang malam dan matahari hampir terbenam, saat mereka sampai di Emaus. Yesus tidak memaksa untuk bersama mereka berdua, tetapi Ia menanti diundang.
Mereka mengundang-Nya untuk singgah (Luk. 24:29), “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam”, Mane nobiscum, quoniam advesperascit, et inclinata est iam dies.
Di rumah, saat perjamuan, Ia duduk di antara mereka. Dalam tradisi bangsa Yunani, mayoritas jemaat yang dibina Santo Lukas, sikap duduk dalam jamuan makan adalah sikap duduk orang merdeka. Sedangkan para budak harus berdiri dan bersiap melayani kebutuhan para tuan dan nyonya yang sedang bersantap.
Mereka juga duduk ketika ikut ambil bagian dalam Perjamuan Malam Terakhir (Luk. 22:14-23). Saat duduk bersama di meja perjamuan, mereka berdua masih belum mengenal teman mereka dalam perjalanan dan mereka undang makan.
Mereka baru mengenal siapa teman dalam perjalanan saat Yesus “mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka” (Luk. 24:30; lihat Luk. 22:14-19). Saat itulah terbukalah mata mereka. Tetapi Ia telah lenyap dari tengah-tengah mereka.
Yesus telah ‘membuka’ mata kedua murid-Nya dan dengan cara yang sama Ia juga ‘membuka’ mata mereka akan makna ‘mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya’.
Dan sekarang, seluruh orang Katolik dari generasi satu ke generasi lain harus ‘membuka’ mata pada Yesus Kristus, yang ‘mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dalam Ekaristi.
Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit membuat hati kedua murid itu berkobar-kobar. Kata mereka (Luk. 24:32), “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?”, Nonne cor nostrum ardens erat in nobis, dum loqueretur nobis in via et aperiret nobis Scripturas?
Dengan hati yang berkobar-kobar, mereka kembali ke Yerusalem untuk mewartakan dan bersaksi bahwa Kristus telah bangkit dan menampakkan diri kepada Simon, yang disebut Petrus.
Santo Paulus juga menulis bahwa Yesus yang mulia telah menampakkan Diri-Nya kepada Petrus, dalam bahasa Yunani Petros (1Kor.15:5). Sebelas murid yang lain pastilah para rasul setelah pengkhianatan dan kematian Yudas Iskariot.
Katekese
Tinggallah bersama kami . Santo Gregorius dari Nazianzus, 329-390 :
“Perjalanan berakhir ketika mereka sampai di desa. Karena tidak menyadari apa yang sedang berlangsung, kedua murid itu yang sangat terpengaruh oleh kata-kata dan kasih yang Allah yang menjelma menjadi manusia, menyesal karena Ia segera berlalu. Karena Yesus “seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya” (Luk. 24:28).
Tuhan kita tidak pernah memaksakan diri-Nya pada kita. Ia menghendaki kita untuk berpaling pada-Nya dengan penuh kebebasan, karena kita mulai memahami kemurnian Kasih-Nya yang Ia tempatkan dalam jiwa kita.
Kita harus kembali melihat-Nya, karena sesuatu yang menghalangi mata mereka, dan memohon pada-Nya, “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.” (Luk. 24:29).
“Sama seperti kita – selalu tidak punya keberanian, barangkali karena tidak jujur, atau karena kita merasa tidak punya malu.
Jauh di dalam lubuk hati, apa yang kita renungkan adalah, “Tinggallah bersama kami, karena jiwa kami diselubungi kegelapan dan Engkaulah satu-satunya Cahaya. Hanya Engkau dapat memuaskan kerinduan yang mengoyak jiwa kami.”
Karena kami sadar bahwa di antara segala sesuatu yang indah dan berharga, yang terbaik adalah bahwa kami dimiliki Allah selama-lamanya.” (Epistulae, 212).
Oratio-Missio
Tuhan, tinggallah di tengah-tengah kami. Jangan pisahkan kami dari-Mu. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk selalu mengenali kehadiran-Nya, terutama saat dalam kesulitan dan keterpurukan?
Mane nobiscum, quoniam advesperascit, et inclinata est iam dies – Lucam 24:29