BAPERAN. BAcaan PERmenungan hariAN.
Jumat, 24 September 2021.
Tema: Turut Serta
Bacaan
Hag. 2: 1b-10.
Luk. 9: 19-22.
ANTARA cela dan suara hati, kupilih untuk semakin sadar bahwa aku manusia yang tercipta untuk bersyukur.
Aku tahu pernah salah.Bahkan terlanjur salah. Apa pun pembenaran diri, tetaplah hitam dan salah.
Hati kecil tetap bertanya di manakah hati sanubari, sang surya mentari pagi.
Apakah ada ruang untuk kembali? Di manakah relung hati Sang Pengampun salah.
“Pastor, itulah sekilas hidup saya.”
“Saya dalam masa pemulihan. Saya dalam proses rekonsiliasi dengan diri saya sendiri. Saya belajar menerima diri apa adanya, berdamai dengan masa laluku yang kelam.
“Oh, baiklah. Apa yang dapat dibantu?” kataku spontan.
“Saya pernah agak ragu tentang hidup saya. Saya pernah ingin mengakhiri hidup. Batin saya tersiksa. Merasa berdosa dengan keluarga. Melukai hati perasaan pasangan dan anak-anak saya. Padahal hidup kami berkecukupan. Tidak ada masalah yang berarti.
“Kalau boleh tahu apa yang terjadi?”
Saya sudah berkeluarga, Romo. Anak tiga. Tetapi saya berhubungan dengan yang lain, selain dengan pasangan.
Pasangan saya belum tahu, tetapi dari gerak-gerik dan pandangannya ia curiga. Saya membohongi mereka. Berlaku seolah-olah tidak ada apa-apa.
Saya mencintai keluarga saya. Dan saya memang akan mengakhiri semua ketidak-benaran hidup saya. Saya ingin kembali kepada keluarga.
Tapi tidak segampang itu, Mo. Ada saat saya bisa tegas, bertekad bulat, yakin untuk mengakhiri semuanya. Kadang pula ragu-ragu dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Membangun keinginan saja terkadang pupus. Di hadapan dan bersama “yang lain” sejenak riang, ringan dan menikmati hidup. Dia tahu saya sudah berkeluarga. Dia pun tak pernah menyinggung perasaan pasangan saya. Ia ingin bareng saja.
Antara keinginan dan kesalahan yang sama yang berulang membuat saya tidak mampu berpikir dengan jernih. Kadang menjalani saja dan menikmati selagi bisa.
Saya tahu itu dosa tetapi saya tidak mampu mengambil keputusan tegas.
Banyak energi terbuang tetapi nyatanya tidak menghasilkan, apa-apa kecuali kelelahan.
Banyak waktu juga terbuang sia-sia tidak menghasilkan tindakan yang mulia.
Banyak biaya yang terbuang, pemborosan yang tidak terhitung hanya mengalami kenikmatan semu dan singkat.
Banyak tekanan jiwa dan hati semakin terluka karena pelarian pelarian yang semua, kegelisahan dan kegundahan yang menyayat.
Banyak pula tekanan dan ketegangan psikologis yang membuat kejernihan berpikir hilang. Pembenaran pembenaran diri membuat hidup semakin jauh dari kebenaran dan moralitas yang ada
Maka saya lebih banyak berdoa. Saya memohon agar kesalahan, kekeliruan saya tidak begitu menyakiti orang-orang yang dekat kepada saya. Hati kecil saya kuat berbisik untuk kembali kepada keluarga; meninggalkan secara pelan-pelan kisah kasih yang menyimpang.
Saya ingin membangun kembali keluarga saya dari kerapuhan dan keruntuhan batin.
Apakah itu mungkin Romo?
Saya masih terikat batin, terpikat jasmaniah dengan yang lain.
Saya tahu itu tidak benar, dosa. Tetapi untuk kembali, saya butuh kekuatan doa. Semakin lama saya melakukan dan menikmati kesenangan semu, semakin tidak mampu tegas.
Ada beberapa momen kegembiraan bersama dia. Saya tahu itu salah, Mo. Hati ini lemah.
Pada saat-saat tertentu, saya sungguh mencintai dia. Bukan sekedar kebutuhan fisik, tetapi entahlah mungkin rasa iba awalnya.
Juga unsur kelelakian diri yang menuntut lebih.
Dia tahu saya sudah berkeluarga, tetapi ia tetap menerima saya. Bahkan dia bersedia dijadikan yang kedua.
“Tidak mungkinlah hidup seperti itu. Engkau harus memilih. Keberanian memilih, memutus tali rantai keberdosaan merupakan tindakan iman. Itulah gerbang hidup dalam kebenaran-Nya,” selaku.
Mungkinkah Tuhan mengampuni keruntuhan, kegagalan hidupku?
Kadang pembenaran Tuhan datang melalui kelemahan, kerapuhan kita. Kita lebih sering terjerat dalam pikiran, Allah hanya mengharapkan kebaikan dan keberhasilan kita. Lih 2 Kor. 12: 7-9.
Petrus menjawab, “Engkaulah Mesias dari Allah.” ay 20.
Tuhan, lebarkanlah jalanku. Amin