Malaikat di Tebing Breksi

0
610 views
Malaikat di Tebing Breksi. (Dok Sr Fransiska FSGM)

ENTAH mengapa, saya  selalu ingin menulis pengalaman ini. Kejadiannya dua tahun lalu. Tepatnya tanggal 30 Desember 2018. Lokasinya di Tebing Breksi, Sleman, Yogyakarta.

Tebing Breksi adalah tempat wisata yang cukup ramai dikunjungi orang.

Ketika diajak ke Tebing Breksi, spontan saya muncul, “Mau.”

Ini pertama kali, saya  ke tempat itu. Jangankan tahu tempatnya, mendengar namanya pun saya belum pernah. Jadilah kami pergi bertiga.

Tertarik

Tiba di lokasi. Dari jauh saya langsung tertarik dengan penampilan Tebing Breksi ini. Seperti benteng tanah yang kokoh, tinggi. Banyak anak tangga yang harus dilewati untuk sampai ke atas. Pada dinding tebing itu ada semacam pahatan timbul menyerupai naga besar.   

Susterku yang satu tidak berani naik. Ia menunggu di pelataran bawah. Kami berdua mulai menaiki anak-anak tangga itu dengan cepat. Saya sendiri merasa mantap dan percaya diri untuk bisa sampai ke atas. Tak ada rasa takut. Sampailah di atas. Sekitar setengah jam, kami menikmati keindahan alam dari Tebing Breksi itu.       

Bendera putih

Waktunya untuk turun. Bola mataku tertuju ke bawah. Hatiku berdesir. Rasa takut menggelayut dalam diriku. Lutut mulai lemas. Keringat dingin keluar. Badan seperti melayang. Kuberanikan kaki menapak satu anak tangga untuk turun.  

Tidak jadi. Kutarik kembali kakiku ke atas dan menjauhi anak tangga itu.  

Aku terdiam. Ambil nafas. “Ya Tuhan, tolonglah aku.”

Harus berani. Kuinjak lagi anak tangga pertama. Sama saja. Malah tambah takut. Kutarik kembali kakiku. Kucoba lagi sampai tiga kali. Hasilnya, nihil.

Yang ada hanyalah takut.   

Sampai-sampai, aku terjongkok lemas. Mataku mulai basah. Aku menangis. Ibarat pertandingan, bendera putih berkibar dari tanganku. Menyerah. Kalah. Meski aku tahu di sebelah kiri sepanjang tebing itu ada besi untuk pegangan. Akan tetapi itu sama sekali tak membantu mengurangi rasa takutku.   

“Suster ini bagaimana. Tadi waktu naik semangat 45. Sekarang mau turun malah takut,” ujar susterku heran. “Saya tidak turun. Saya di sini saja, Suster,” ujarku seperti orang yang telah menyerah kalah.     

Malaikat datang

Seorang pemuda datang mendekatiku. “Ayo turun, tidak usah takut. Tenang saja,” katanya sambil mengulurkan tangan ke arahku.    

Satu demi satu saya menapaki anak tangga bersama pemuda itu. Perasaan takut masih merajai hatiku. Tetapi setidaknya ada rasa aman dan pasrah.  

Dari atas kulihat susterku yang di bawah sudah menanti. Dia tersenyum dan sempat mengambil foto saat kami turun dengan perlahan-lahan.   

Akhirnya sampai juga kami di bawah dengan selamat. Aku mengucapkan terimakasih atas pertolongannya.

Pengalaman ini begitu indah. Tuhan telah mengirim malaikat-Nya untuk menolongku. Pertolongan-Nya tidak pernah terlambat. Dia selalu aktif memperhatikan aku.

Seperti ada tangan    

Beberapa hari kemudian pengalaman itu saya ceritakan penuh semangat kepada salah seorang suster temanku. Ia memperhatikan seksama foto yang kuperlihatkan padanya.

“Hei lihat. Ini tangan siapa?,” tanyanya setelah ia memperbesar foto yang ada di androidku itu.

Seperti ada tangan menopang tangan kananku. Tangan itu memakai lengan panjang. Jarinya lancip-lancip. Padahal saat itu tangan kananku tidak memegang apa-apa.

Suatu hari aku juga bercerita kepada seorang suster senior tentang peristiwa dan foto itu. Ia mengatakan, bahwa tangan dalam foto itu adalah tangan malaikat pelindungku.

Orang lain boleh saja mengartikan macam-macam apa yang tampak di foto itu. Ada yang bilang, malaikat pelindungku.

Ada juga yang mengatakan, mahkluk yang tak kelihatan yang berbuat baik terhadapku.

Satu hal pasti, Tuhan selalu mengirim malaikat-Nya untuk menolongku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here