Mencari Selamat atau Mengikuti Pemberi Selamat?

1
1,343 views

MINGGU BIASA 28, B; 14 Oktober 2012
Keb. 7:7-11; Ibr. 4:12-13; Mrk. 10:17-30

Mengikuti Yesus pada hari ini merupakan suatu tantangan berat dan serius bagi kita. Orang kaya itu adalah contoh. Ia adalah orang yang bersemangat dan serius ingin selamat. Ia datang berlari-lari dan menyembah Yesus sebagai guru yang dipandangnya mampu memberinya jalan untuk mewarisi hidup yang kekal. Ia telah mentaati Sepuluh Perintah sejak masa mudanya.

Berapa dari kita dapat mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan? Membunuh, mungkin tidak. Tetapi berjinah, mencuri, berbohong, tidak hormat pada orang tua? Dan bagi Yesus ini belum cukup. Yesus mengajak dia untuk melakukan lebih: “pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Maka orang itu akan ‘masuk dalam Kerajaan Allah.” Oorang yang taat hidup beragama itu tidak siap untuk mengikuti Yesus, sang Pokok Keselamatan.

Mengapa demikian? Orang itu ingin mendapat hidup kekal, tetapi Yesus mengajak dia masuk Kerajaan Allah. Apakah kedua hal ini berbeda? Hidup kekal baginya adalah sebuah prestasi, ganjaran atas cara hidupnya yang baik. Dia sudah hidup beragama secara baik. Hidup beragama, bukan hanya melaksanakan ritual dan upacara, tetapi juga melaksanakan perintah-perintah moral agama dalam perbuatan sehari-hari. Tetapi yang ditawarkan Yesus ialah “Kerajaan Surga”, hidup dalam kuasa Allah, yang dialami lewat kedekatan pribadi dengan Yesus.

Dalam pemahaman sehari-hari, hidup kekal, Kerajaan Allah, surga punya pengertian yang sama. Yang ditunjukkan Yesus bukan soal istilah, tetapi sikap terhadap apa yang akan terjadi pada hidup manusia sesudah melakukan hal-hal baik itu. Orang kaya itu mengharap dia masuk ‘surga’ sebagai haknya, upah layak atas semua kewajiban yang sudah dilaksanakannya. Yesus mengajak dia masuk surga, yaitu kedekatan dan kesediaan untuk mengikuti Yesus. Jadi, dibedakan antara hidup beragama, sebagai pelaksanaan sejumlah kewajiban tata lahir dan kerohanian sebagai bentuk relasi pribadi dengan Tuhan. Hidup beragama adalah ‘prestasi’ pribadi, kerohanian adalah ‘relasi’ pribadi dengan Tuhan. Dan dari peristiwa ini, dapat dikatakan bahwa hidup beragama mendapat kesempurnaannya dalam hidup rohani orang itu.

Dalam sebuah biara di India ada seorang petapa yang sangat memuja dewa Krishna. Sehari-harian ia berdoa dan menyembah Krishna; sehingga ia merasa, di seluruh dunia tidak ada orang yang mencintai Krishna seperti dia. Pada suatu malam Krishna berkata, “Pergilah ke rumah tukang kayu di sudut kota dan belajarnya daripadanya.” Besoknya ia pergi ke rumah tukang kayu itu. Ia melihat, tukang kayu itu pagi-pagi sudah bangun; ia menyebut nama Krishna satu kali, lalu pergi bekerja seharian. Malam harinya ia pulang dan sebelum tidur, ia menyebut nama Krishna sekali lagi dan langsung jatuh tertidur.

Keesokan harinya petapa itu menghadap Krishna. “Apa yang harus saya pelajari? Orang itu bekerja seharian dan tidak pernah memuji dan menyembah Dewa. Dia cuma menyebut nama Dewa dua kali saja.” Krishna lalu menyuruh dia mengisi mangkuk penuh dengan susu dan berjalan berkeliling biara itu, tanpa menumpahkan setetes susu pun. Petapa itu berjalan dengan hati-hati dan penuh konsentrasi dan ia berhasil mengelilingi biara tanpa menumpahkan susu itu. Krishna lalu bertanya: “berapa kali kamu menyebut namaku waktu kamu berkeliling tadi?” Petapa itu menjawab: “Mana sempat? Saya harus konsentrasi penih dalam membawa susu tadi berkeliling.” Krishna berkata: “Tukang kayu itu bekerja sehari penuh untuk mencukupi hidupnya dan ia sempat 2 kali menyebut namaku, pagi dan malam. Engkau berjalan berkeliling sebentar saja, sudah tidak mengingat aku lagi.”

Tekun dalam ibadat, aktip dalam hidup menggereja, hidup baik; itu tentu tidak salah. Tetapi orang muda dalam Injil itu menjadi puas diri. Petapa itu menjadi tinggi hati. Mereka ingin Tuhan ada dalam hidup mereka, tetapi mereka tidak siap menerima Tuhan menguasai hidup mereka. Mereka menginginkan jaminan dan kepastian dari hasil usaha mereka. Kesalehan merupakan buah prestasi usaha mereka yang layak mendapat ganjaran. Mereka sibuk mencari berkat, hasil usaha mereka merupakan tanda berkat. Tetapi mereka tidak berani kehilangan tanda berkat itu untuk menyerahkan hidup mereka kepada Sang Pemberi Berkat.

Hati kita dipenuhi bebani harta, kuasa, irihati, nafsu, serakah, kecemasan dll.dsb. semua ini membebani kita lebih banyak daripada yang dapat dibawa seekor unta. Beban-beban ini yang membuat kita lebih sulit masuk Kerajaan Allah. Hanya dengan bantuan Allah, kita dapat belajar melepaskan beban kekayaan atau ikatan hidup ini. Sehingga kita dapat menerima ganti semua beban itu, berkat melimpah; mengalami Allah hadir dan meraja dalam hidup kita, sehingga bersama Tuhan Yesus kita dapat berjalan maju, meningkat dari hidup beragama menjadi orang yang hidup dalam iman. Sehingga kita lebih mudah dan lebih sedia mengalami surga dalam perjalanan hidup kita. Amin.

1 COMMENT

  1. Sangat jelas , melegakan sekaligus menohok ; mendengarkan romo Hans & juga Romo Gianto soal kehidupan beragama /menggereja dan Kerohanian . Hanya saja untuk menanggalkan si Mamon yang ada di kepala saya ( sepertinya juga pada mayoritas umat )terlebih pada zaman sekarang ini terasa amat sangat mustahil ( sesuai kata para rasul ) . Mungkin para romo bisa memberikan bantuan / nasehat untuk ini .
    Saya pribadi merasa bahwa pada komunitas lain , masalah kerohanian ini lebih disadari dan solusinya lebih dipahami . Apakah benar ? dan apa sebabnya ? .

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here