Misionaris

0
285 views

Renungan Harian
Senin, 28 Juni 2021
PW. St. Ireneus, Uskup dan Martir
Bacaan I: Kej. 18: 16-33
Injil: Mat. 8: 18-22
 

SUATU sore, ketika selesai kerja bakti membersihkan makam para misionaris di Buti, Merauke, saya duduk menatap nama-nama yang tertera di dinding makam itu.

Banyak nama para misionaris yang tertera di dinding itu, yang menandakan banyaknya para misionaris yang telah dimakamkan di tempat ini. Saat aku membaca nama-nama itu muncul pertanyaan dalam diriku, : “Mengapa mereka mau jauh-jauh ke tempat ini, tempat pasti pada masa itu penuh kesulitan dan tantangan. Mengapa mereka mau meninggalkan tanahair, kampung halaman, keluarga untuk mengalami penderitaan dan meninggal  di tempat yang sulit ini. Apa yang mereka cari?”

Tentu jawaban yang paling mudah adalah beliau-beliau ini mau menyelamatkan jiwa-jiwa.
 
Suatu hari, saya berkesempatan ngobrol dengan seorang romo misionaris dari Belanda. Saya bertanya apa yang romo pikirkan ketika mendapat perutusan untuk ke tanah misi.

Beliau menjawab: “Pada saat itu, kami bersemangat untuk pergi ke tanah misi. Kami sudah mendengar cerita-cerita dari para pendahulu yang sudah pergi ke tanah misi. Jadi yang ada dipikiran saya waktu itu bersemangat ingin pergi. Kami dipersiapkan untuk siap menghadapi medan yang sulit, bahkan kami juga dilatih menjadi perawat agar kami dapat menolong masyarakat di tanah misi.”
 
“Romo, ketika Romo sampai di tempat ini, Romo berpikir untuk pulang atau pernah berpikir untuk menyerah?” tanya saya.

“Terkejut itu pasti, karena ketika sampai di tempat ini, semua jauh berbeda dengan apa  yang ada di kampung halaman saya. Sejak saya tiba di tempat ini di tanah misi dalam pikiran saya, saya akan mati di tanah misi. Tidak berpikir akan pulang, karena perjalanan amat jauh dan sulit.

Apakah ada pikiran untuk menyerah, rasanya tidak, tetapi bahwa kadang ada rasa lelah, jenuh itu ada; namun melihat masyarakat di sini membuat saya selalu tertantang dan bersemangat,” jawab romo misionaris itu.
 
“Romo, apa yang menjadi motivasi sehingga romo selalu semangat dan rela meninggalkan semua untuk tinggal di tanah misi?,” tanya saya.

“Sejak awal saya berjuang untuk mencintai tanah ini, mencintai masyarakat di sini, mencari karya perutusan di tempat ini. Saya kira kalau tidak ada cinta pasti saya tidak akan tahan,” jawab romo itu.
 
Cinta yang besar pada Allah yang diungkapkan dan diwujudkan dengan mencintai tanah dan masyarakat serta karya dimana beliau diutus menjadikan Romo itu rela meninggalkan segalanya dan rela mati di tempat di mana beliau diutus.

Totalitas dan penyerahan diri seutuhnya karena cinta. Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.”
 
Bagaimana dengan aku?

Bagaimana aku mengungkapkan dan mewujudkan cintaku pada Allah?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here