JUDUL di atas saya tulis bukan karena tidak ada Nenek yang mencintai cucunya. Malah sebaliknya, banyak nenek yang amat sangat mencintai cucunya. Saking banyaknya cinta ke cucu, sering kali wujudnya justru keliru: memanjakan cucunya. Padahal setiap pemanjaan hanya akan membuahkan ketidak-becusan, kalau bukan permasalahan.
Mengapa cinta nenek memanjakan?
Kakek-nenek sudah kaya akan pegalaman manis pahitnya cinta dan kehidupan. Pengalaman tersebut mendorong kakek-nenek, opa-oma, untuk melakukan segala cara agar orang yang dicintainya tak perlu mengalami pahitnya cinta dan kehidupan ini.
Yang masih mungkin dan relatif mudah dilakukan adalah kepada cucunya.
- Cucu gak boleh nangis, karena tangis itu simbol dan ekspresi derita.
- Cucu gak boleh kotor, karena kotor itu berbahaya untuk kesehatan.
- Cucu gak boleh jatuh, sebab jatuh itu sakit.
Di sinilah kelirunya. Sebab, tangis, kotor, sakit, jatuh, itu proses kehidupan biasa. Semua itu diperlukan dalam proses menjadi manusia; menjadi dirinya sendiri.
Barangkali ada juga kakek-nenek, yang menyesali masa lalunya dan ingin memperbaikinya. Dulu, waktu anak-anaknya masih kecil, kakek-nenek gak punya uang cukup; bahkan gak punya waktu untuk mengasihi anak-anaknya. Bahkan bercengkerama bersama anak pun, tidak sempat.
Kini, sesudah pensiun, uang ada, waktu juga ada. Dan anaknya pun perlu bantuan. Maka sangat mungkin untuk membuat silih atas masa lalunya. Tidak bisa dilakukan untuk anak-anaknya, ya ke anak dari anaknya, alias cucunya.
Wujudnya, kakek-nenek akan memakai waktu dan uangnya untuk menuruti keinginan, kemauan cucunya. Bahkan cucu tidak ingin, tidak minta pun, nenek sudah membelikan serta menyediakannya.
- Sebelum cucu merasa haus dan minta minum, ia sudah diambilkan minum, bahkan dinyunyukkan ke mulutnya.
- Sebelum cucu tahu rasanya lapar, sudah disuapin makanan. Ini juga bentuk pemanjaan.
Ini perbuatan yang nantinya dapat melimbungkan cucunya.
Karena cinta itu buta, maka kakek-nenek pun tidak dapat melihat bahwa caranya mencintai cucu itu keliru. Keliru, karena cinta yang demikian itu merampas hak anak untuk belajar dan berproses dalam hidup ini.
Menangis, luka, sakit, jatuh kotor adalah hak cucunya. Hak untuk belajar berpikir, belajar menghadapi dan memecahkan masalah: sedih, cemas, kecewa, sakit, bingung, berusaha, jatuh bangun lagi, dll.
Lagi pula, kalau semua rintangan telah disingkirnya eyangnya, cucu kehilangan pengalaman menghadapi dan mengatasinya. Nanti di kemudian hari, ketika nenek sudah tidak ada di sisinya, cucu yang sudah besar justru akan menangis selama hidupnya, karena ia tidak tahu dan bingung dalam mengarungi kehidupan ini. Karena sudah tidak ada nenek lagi di sampingnya.
Pertanyaannya, apa nenek tidak boleh mencintai cucunya? Apa salah, jika seorang nenek mencintai cucunya?
Boleh, boleh bahkan baik sekali. Tetapi sebaiknya caranya juga harus benar. Yang tidak boleh adalah cinta dalam segala bentuk pemanjaan. Misalnya melakukan segala sesuatu agar cucunya tidak menangis, tidak kotor, tidak terluka dll.
Mencintai cucu berarti menunggu sampai cucu bilang “haus” baru memberinya minum. Itu pun jangan diminumkan. Biar dia belajar ambil minum sendiri.
Jangan beri cucumu jus buah sebelum cucumu tahu wujud buah yang dijus itu seperti apa. Membiarkan anak melakukan apa pun sendiri, (kecuali membahayakannya) tanpa larangan akan membuat anak tahu bedanya baik dan buruk. Percayalah bahwa cucumu bisa sendiri. Untuk ini memang butuh kebesaran hati nenek kakeknya.
- Kalau cucu tidak minta jangan diberi makan. Kalau sudah bisa makan sendiri jangan disuapi.
- Kalau sudah bisa berjalan, biarkan dia berjalan. Kalau pun jatuh, biar dia belajar dari jatuhnya.
- Kalau cucu menangis ya diberi waktu, jangan dilarang.
- Kalau ia sakit mosok gak boleh menangis.
Lantas bagaimana sebaiknya cara nenek mencintai cucunya?
Masih ada banyak cara mencintai cucu yang juga perlu dan penting. Itu justru dengan mudah dapat dan tepat dilakukan oleh nenek. Dan itu sangat bernilai demi hidup serta kehidupan cucunya di kemudian hari.
Beberapa di antaranya saya ingat berikut ini:
- Mendongeng atau bercerita. Tradisi ini sebenarnya bagus sekali, tapi kini hilang, musna dimakan pulsa. Tak ada anak kecil yang tidak suka didongengi. Dengan mendongeng kita, nenek dapat menaburkan dan menghidupkan nilai-nilai kehidupan dan nilai kemanusiaan dalam diri cucunya.
- Membacakan buku. Bila nenek melakukan ini di depan cucu, pasti cucu senang dan amat bernilai. Anak jadi mengenal dan mencintai buku, hingga menumbuhkan budaya membaca.
- Menyanyi, atau mengajari cucu menyanyi. Lagu anak paling biasa pun baik dan perlu diajarkan. Seperti Balonku, Pelangi, Bintang Kecil dll. Menyanyi dapat membuat anak PD (percaya diri). Untuk yang masih kecil, menyanyi dapat membantu anak latihan bicara, menambah kosa kata dan mengenal nada, dll. Lebih bagus lagi kalau menyanyi disertai dengan gerak. Sembarang gerak pun berarti buat anak. Semua anak suka berteriak, bergerak atau loncat-loncat.
- Mengenalkan, membiasakan anak berbahasa kedua, ketiga, selain bahasa ibunya. Menurut hasil penelitian seoramg anak kecil bisa belajar 12 macam bahasa sekaligus. Waktu anak saya masih kecil, saya berbahasa Jerman dengan anak pertama; berbahasa Perancis dengan anak kedua saya. Mamanya berbahasa Inggris dengan kedua anak kami. Suatu ketika ketika saya tidak di rumah, adiknya ngomong dalam bahasa Perancis dengan mamanya. Ketika mamanya nggak ngerti maksudnya, tenyata kakaknya bisa menerjemahkannya. Padahal saya tak mengajari kakaknya Perancis. Hanya karena dia biasa mendengar adiknya bicara dengan papanya.
- Kecuali itu, nenek-kakek juga bisa mengajari cucunya sopan santun, tata krama, atau bahkan dengan ajaran moral. Setidaknya moral paling sederhana: baik dan buruk. Apa bedanya dan bagaimana mengaplikasikannya.
- Nenek pun dapat mengajari cucunya kearifan atau kebijaksanaan. Kalau pakai ajaran Paus Fransiskus Laodato Si’, maka nenek dapat membiasakan anak-cucu mencintai sesama, dan segala ciptaan lain di muka bumi ini.
Dan seterusnya.
Semua itu dapat dijadikan wujud cinta nenek pada cucunya. Sama-sama menyenangkan dan menguntungkan kedua belah pihak. Pengajaran yang disampaikan dengan cinta, tentu lebih hebat efeknya bagi penerima ajarannya.
Jangan tunda sampai cucumu besar,
Di jiwanya mungkin sudah tumbuh belukar
Jangan kira di sekolah diajarkan,
Di sana sering dicekam persaingan
Jangan harap ditemukan di pergaulan
Bisa-bisa ia jadi sasaran perbulian
Keluarga adalah sekolah cinta
Kurikulumnya kepekaan rasa , ketajaman pikir dan keutamaan watak.
Kepada keluarga Tuhan menitipkan
anak-anak tuk jadi utusan zaman
demi kebaikan sesama dan dunia
Refleksi
Nenek kakek sudah punya segunung pengalaman. Berilah pada ksisar yg menjadi hak kaisar… (Mrk 12:17) Berikanlah pada cucumu apa yang jadi hak cucumu.
Berilah isi, konten pendidikan pada cucumu. Tentang metode dan cara mendidiknya, biarlah orangtuanya yang menentukan sesuai dengan kebutuhan jamannya.
Jika Anda berkenan dan ingin membagikan tulisan ini, monggo silakan. Terimakasih.
Jika Anda tergerak hati dan berkenan untuk menanggapi letupan jiwa ini atau syering pengalaman, terimakasih sebelumnya.
YR Widadaprayitna
H 240610 AA