Pak Lek, Saudara dalam Tuhan

0
366 views
Semoga lekas sembuh ya Pak Lek. (Ist)

SEORANG bapak, berusia sekitar 50-an tahun, berjalan sempoyongan menuju pastoran. Hari masih pagi. Saya sedang menyapu teras, merapikan kursi dan meja yang berserakan setelah perayaan Minggu Palma malam sebelumnya.

Saya mengenalnya. Ia dalah Bapak Asep – atau biasa disapa Pak Lek.

Sudah tiga hari belakangan ini, ia tidak tampak di pastoran. Padahal, hampir setiap hari ia datang berkunjung. Di hari kedua, saya sempat menanyakan kabarnya lewat seorang temannya. Mungkin pesan itu sampai kepadanya. Dan pagi ini, tiba-tiba ia muncul. Ia memaksakan diri untuk bertemu saya.

“Pak Lek,” saya menyapanya dari kejauhan.

“Saya sakit, Romo,” jawabnya pelan, terbata-bata.

Sudah tiga hari, ia demam dan sulit berjalan. Belum ada pengobatan medis, hanya pijat tradisional. Baginya, ini hanya masuk angin atau sekadar kelelahan.

Saya mengenal Pak Asep cukup baik. Ia seorang tukang sol sepatu keliling, berpindah dari desa ke desa. Ia seorang Muslim, hidup sebatang kara. Tidur dari satu teras rumah ke teras rumah lain, makan dan minum sekadarnya. Tapi ia suka bersosialisasi.

Saat Perayaan Natal di paroki, ia bahkan ikut membantu mengatur parkir kendaraan. Jika ada kerja bakti di gereja atau desa, ia selalu hadir. Kadang ia menemani saya, hanya untuk bercerita tentang pekerjaan, keluarga, atau hobinya. Ia bisa bermain bulu tangkis, juga main kartu.

Melihatnya berjalan tertatih-tatih, saya segera menjemputnya. Saya tawarkan kopi seperti biasa, tetapi kali ini ia menolak.

“Cukup air putih saja, Romo. Soalnya, saya belum sarapan,” katanya.

“Tadi dari rumah, saya tujuh kali istirahat. Kaki saya sakit, sulit jalan,” kisahnya lirih.

Wajahnya pucat, tidak seperti biasanya. Senyumnya masih ada, walau tampak dipaksakan. Dari raut wajahnya, saya bisa merasakan ia tampak sedang menahan sakit.

Tak lama kemudian, saya membawanya ke Puskesmas. Ia bersedia. Setelah melalui proses administrasi dan pemeriksaan darah, Pak Asep harus segera masuk UGD. Trombositnya rendah.

“Ia harus menjalani rawat inap,” kata dokter.

Saya langsung mengangguk.

Ia datang tanpa KTP, BPJS, atau tanda pengenal apa pun. Saya jelaskan kepada pihak Puskesmas bahwa kami memang bertemu tanpa membawa dokumen. Mereka bisa memahami.

Saya sempat diminta menebus obat di apotik luar. Resep pertama kosong, saya kembali ke Puskesmas, diberi resep baru, dan akhirnya obatnya bisa didapat.

Seorang perawat bertanya kepada saya, “Apakah Anda keluarganya?”

Saya menjawab, “Dia saudara saya… dalam kemanusiaan.”

Seorang ibu yang sedang menjaga pasien di UGD -kebetulan umat saya- juga bertanya hal yang sama, “Ini keluarga Romo?”

Kali ini, seorang perawat yang sudah mengenal saya lebih dulu menjawab, “Dia saudara dalam Tuhan.”

Lekas sembuh, Pak Lek.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here