Pastor dengan Wajah Bersungut-sungut (1)

0
811 views
Ilustrasi: Amplop stipendium untuk pastor usai memberi layanan sakramental atau lainnnya. (Ist)

INI kisah nyata dari seorang pastor bernama Liem Tjay. Mari kita mulai saja kisah serunya ini.

Semua orang pasti pernah mempunyai pengalaman norak ini: hati memendam emosi negatif sehingga roman muka menjadi tampak bersungut-sungut.

Di dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersungut berarti marah-marah sambil terus mengomel tanpa henti (menggerutu). Bersungut-sungut biasa terjadi, karena sikap tidak puas terhadap sesuatu.

Bersungut-sungut. Begitulah kata yang tepat dipakai untuk menggambarkan sifat manusia yang begitu mudah merasa kesal, ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Sedikit saja susah kita sudah mengeluh dan mengomel tanpa henti.

Hal ini merupakan kebiasaan dan sudah menjadi sifat manusia di kala mengalami ketidakpuasan.

Pengalaman umat Israel

Meski Tuhan sudah memenuhi segala kebutuhannya, umat Israel tetap saja tidak merasa puas, bahkan mereka terus membanding-bandingkan keadaan mereka pada saat berada di Mesir.

Ilustrasi: Ekspresi emosi negatif di hati yang memancar di roman muka dengan wajah bersungut-sungut. (Ist)

“Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apa pun, kecuali manna ini saja yang kita lihat.” (Bilangan 11: 5-6).

Namun, bagaimana jika seorang pastor lalu ikutan suka bersungut-sungut?

Inilah dua kisah tentang pastor yang suka bersungut sungut dan kejadian ini masuk dalam mikrocip memori Liem Tjay.

Stipendium kecil, pastor pun bersungut-sungut

Sekali waktu, Pastor Liem Tjay meluncur ke sebuah stasi dengan motor trail-nya. Perjalanannya menuju lokasi ditempuh sekitar empat jam. Maklum jalanan becek dan penuh lumpur, karena baru saja diguyur oleh hujan deras semalam.

Pastor Liem Tjay diundang untuk memberikan renungan Natal Oikumene. Dalam perayaan Natal bersama gereja-gereja denominasi Protestan itu, maka hadir pula para pendeta, penatua, dan aparat kecamatan.

Tugas Pastor Liem Tjay adalah menyampaikan pesan-pesan Natal. Cara Pastor Liem Tjay membawakan pesan Damai Natal dirasakan umat dan jemaat sungguh teduh, mengalir dengan tenang dan hikmat. Umat dan jemaat yang hadir sangat terpukau dan hanyut dalam pembawaan dan pesan yang disampaikan Pastor Liem Tjay.

Umat Gereja Katolik pun bangga dan merasa diteguhkan.

Setelah acara natalan bersama selesai, panitia memberikan amplop stipendium pengkotbah. Tanpa mengucapkan terimakasih, Pastor Liem Tjay langsung membuka isi amplop.

Apa reaksi Pastor Liem Tjay?

Dengan marah dan sambil menggerutu, Pastor Liem berkata:

“Mosok saya hanya dikasih segini, lha… tidak sesuai dengan persiapan, harga bensin, dan waktu yang diperlukan dalam perjalanan saya. Lain kali saya tidak mau lagi datang ke sini, saya kan pemuka agama Gereja Katolik, masak kotbah saya cuma dihargai Rp50 ribu saja. Saya merasa direndahkan.”

Bapak Matias Ruruk, sebagai perwakilan dari Gereja Katolik Stasi Santo Ignatius yang saat itu mendampingi Pastor Liem Tjay dengan sigap menetralkan suasana hati Pastor.

“Maaf Bapak Pastor, inilah keadaan umat Kristen dan Katolik di perumahan lingkungan perusahaan. Maaf sekali lagi. Pastor jangan melihat nilai nominalnya, tetapi terimalah keikhlasan umat dan jangan kapok mengunjungi kami ini.”

Tanpa permisi dan basa-basi, Pastor Liem Tjay langsung tancap gas motor trail-nya meninggalkan gedung pertemuan.

Pastor Liem Tjay dengan cepat menghilang dari pandangan banyak orang, sambil masih saja membawa emosi negatif berupa kejengkelan, kekesalan, kekecewaan.

Sepeda motor jenis trail yang dulu biasa dipakai Romo Liem Tjai saat melakukan turne dari “pusat kota” paroki Penajam, Keuskupan Agung Samarinda, Kaltim, menuju kawasan wilayah pedalaman paroki. (Dok. Liem Tjay)

Deru suara motor trail dengan gas yang tinggi merupakan ekspresi kekecewaan dan gerutuan Pastor Liem Tjay. Perasaan bersungut-sungut dan energi emosinya diluapkan dengan laju motor trail yang ditarik sekencang-kencangnya.

Ketua Panitia Natal Bersama Pendeta Ny. Esther MTh memandang dengan heran sikap Pastor Liem Tjay, tokoh agama dan pemimpin Gereja Katolik yang baru saja memberikan siraman rohani Damai Natal.

“Sayang sekali”, kata dia waktu itu, “Bapak Pastor sebagai gembala, kok hatinya tidak mampu memberi rasa, damai tetapi justru menggerutu di dalam hati.”

Bapak Matias Ruruk sangat malu melihat peristiwa langka dan tak terduga itu. Dengan rendah hati, Bapak Matias Ruruk mohon maaf kepada Ibu Pendeta Esther MTh.

Pastor pun juga masih manusia

Begitulah pastor pun bisa menggerutu, bersungut sungut. Lantaran jasanya sebagai pengkotbah tidak sesuai dengan honor yang diterima. Kenyataan beda dengan harapan dan pikiran Pastor. Ketidakpuasan berubah menjadi bersungut-sungut. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here