PADA pertemuan di tempat Mas Wiryawan Selasa malam itu, Trias menyebut beberapa nama yang selama ini menjadi sahabat-sahabatnya. Yang disebut pertama adalah Paulus Sulasdi.
Oleh Trias, Lasdi malah bukan hanya disebut sebagai sahabat sejatinya, tetapi guru spiritualnya.
Sebutan yang memang cocok untuk Lasdi. Saking spiritual sekali penghayatan hidupnya, Lasdi sampai usia 65 tahun sekarang ini tidak menikah. Kalau di Kompas Trias kadang dipanggil Romo, dan di Deplu dia mendapat julukan Romo Dubes, maka Lasdi harus disebut sebagai Monsignor.
Sebagai Guru Spiritual Romo Dubes, pastilah Lasdi kedudukannya setingkat “Uskup”, sehingga pantas dipanggil Monsignor. Persahabatan dan persaudaraan yang terjalin antara Trias dan Lasdi sungguh saya lihat sebagai paseduluran, persaudaraan beneran.
Dari semua yang hadir, yang paling pantas disebut sedulur oleh Trias ya Lasdi ini. Lasdi pula yang bisa “nguntabké” menghantar Trias dengan sepenuh hati.
Teman-teman lain, rasa-rasanya tidak ada yang bisa menandingi solidnya persaudaraan mereka.
Di Mertoyudan Trias dan Lasdi angkatan 1974. Saya angkatan 1973. Sebagai kakak kelas setahun, yang tinggal bersama di asrama setiap hari, tentu kami jadi akrab.
Trias teman main bola. Lasdi teman main musik. Beberapa kali kami semeja makan dengan mereka. Termasuk kalau lagi totohan (taruhan) potus sehabis main bola.
Lasdi beberapa kali nginap di rumah saya di Muntilan, kalau kami lagi mengadakan aksi panggilan. Bersama Hari Susanto, Wahyu Endrawan yang main gitar dan Hardiyanto sebagai dirigen, Lasdi membentuk vocal group legendaris. Kepaduan suara dan kekompakan petikan gitar mereka, tidak kalah dengan grup ngetop Trio Bimbo dari Bandung itu.
Kalau mereka lagi latihan nyanyi di rumah saya, cewek-cewek tetangga depan rumah pasti terpesona. Dari balik jendela, mereka buka korden diam-diam mengamati. OMK paroki Muntilan menjadi fans berat vocal group Hari Susanto, Wahyu, dan Lasdi ini.
Di Seminari dulu memang saya lebih sering bermain dengan Lasdi guru spiritualnya Trias. Namun semenjak saya “check-out” pada tahun 2002, entah kenapa Trias jadi yang sering ketemu dan menemani saya.
Bersama Didiek, habis jebling itu, Trias nraktir saya di resto Sunda di komplek Taman Ria Senayan. Aneh juga, jebling kok malah dipestakan.
Saya lalu merasa, teman-teman Merto ini ternyata sungguh baik. Mereka tetap menjadi sahabat, juga ketika saya tak lagi “ngetop” dan menjadi kebanggaan mereka.
Ketika saya tak lagi jadi “pejabat”, teman-teman itu tetap menerima saya apa adanya. Lasdi yang datang pada tahbisan saya di Balai Sidang pada tahun 1984, ketika saya jebling 18 tahun kemudian, tetap menerima saya sebagai saudara.
Lasdi dan Trias tidak berubah dalam memandang dan menerima saya. Mereka sama sekali tidak pernah mau tahu atau képo mengenai “dosa-dosa” saya sehingga saya check-out.
Di resto Taman Ria Senayan itu, Didiek malah langsung menawari pekerjaan. “Ini ada lowonganHRD di Tancho. Kalau mau ke sana saya kontakkan,” kata Didiek.
Teman lain Joko Trimartanto menawari saya tinggal di rumahnya kalau saya belum punya tempat tinggal.
Itulah teman-teman yang pantas disebut sedulur tenan, saudara sesungguhnya.
Sesudah check out itu, saya merasa lebih dekat dengan Trias, mungkin karena kami bernasib sama. Kami ini termasuk anggota “golkar”, golongan kasep rabi, golongan terlambat nikah.
Trias menikah akhir Desember 2004. Saya menikah awal Januari 2005. Cuma selisih dua pekan. Trias tidak sempat berbulan madu.
Sehari habis nikah, Aceh dihantam tsunami dahsyat. Trias disuruh Kompas meliput dan datang membawa bantuan. Karena tanggal perkawinan kami hampir bersamaan, maka anak-anak kamipun sepantaran. Anak semata wayang Trias, dan anak sulung saya sama-sama lahir tahun 2007.
Lasdi, bisa disebut sedulur sinorowèdi, saudara yang sesungguhnya dari Trias. Lebih dari dua pertiga hidupnya, dua bersaudara ini saling hadir, saling memberi waktu, glenak-glenik bersama, menjalani suka dan duka pergumulan hidup ini bersama.
Saya rasa itulah inti persaudaraan. Saya beruntung karena saya merasa pernah diberi cukup waktu, perhatian dalam memapaki perjalanan hidup ini bersama Trias. Dia sungguh saya anggap sahabat dan saudara saya yang sejati.
Oleh Trias saya diperlakukan dan sungguh diterima sebagai saudara. Sesibuk apa pun, lagi ketemu pejabat penting siapa pun, lagi di luar negeri sekalipun, kalau saya WA Trias pasti langsung menjawab tanpa ditunda.
Ini mungkin hal kecil. Namun bagi saya itu tanda besar bahwa Trias memang orang yang berhati mulia, pribadi yang baik dan pandai memperlakukan teman sungguh-sungguh sebagai saudara.
Ke-Indonesia-an, kemanusiaan dan kepedulian
Terakhir, saya mencatat yang dipidatokan Trias pada pertemuan di tempat Mas Wiryawan it adalah ke-Indonesia-an, kemanusiaan dan kepedulian.
Senin malam, sehari sebelum pertemuan dengan teman-teman Merto di Pejompongan, Trias diundang jadi salah satu narasumber pada zoom webinar dengan alumni Kolese de Britto.
Pada kesempatan itu, Trias mengingatkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang kita terima di sekolah Katolik adalah ke-Indonesia-an, kemanusiaan dan kepedulian.
Di Seminari Mertoyudan Trias mengaku ketiga nilai itu disemaikan dan dipupuk dengan baik. Di Kompas, tiga nilai itu sungguh dihidupi.
Sebagai pribadi yang sungguh bermutu hidup dan kerjanya, sebagai pewarta yang andal, profesional dan mumpuni, sebagai pejabat yang dipilih presiden karena tulisannya yang berbobot dalam mendukung nilai-nilai kemanusiaan, keindonesiaan dan kepedulian, saya yakin Trias akan menjadi dubes yang baik.
Sebagai teman, saya bisa ikut “nguntabké” dengan lega, haru namun juga bangga.
Selamat bertugas Dik Bro. Terimakasih sungguh sudah menjadi saudara yang sungguh baik. Negara dan Gereja membutuhkan kualitas pewartaan dan kehadiran pribadi seperti dikau.
Salam buat Paus Fransiskus bro. Kalau ada kesempatan bisa ikut misa di kapel Santa Marta, ngabari ya. Saya dan dik bojo pasti akan langsung terbang ke sana.
Selamat menjadi bagian dari i Romani yang akan penuh gaya. SPQR (Senatus Populus Que Romanus). Auguri.
Kelapa Gading Jakarta
Pada Peringatan Peristiwa Kudatuli 27 Juli 2023
A. Kunarwoko