Senin, 28 November 2022
- Yes. 2:1-5 atau Yes. 4:2-6.
- Mzm. 122:1-2,3-4a,(4b-5,6-7), 8-9.
- Mat. 8:5-11.
SETIAP hari kita melakukan kegiatan yang berhubungan dengan manusia, lingkungan hidup baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
Kita juga melakukan hubungan dengan Sang Pencipta alam yaitu Tuhan.
Allah tidak melihat rupa dan harta, melainkan melihat hati dan amal.
Penilaian Allah tertuju pada hal-hal yang lebih dalam dari sekadar yang tampak dari tubuh dan yang terkesan mewah di mata kebanyakan manusia.
Bukan kesempurnaan fisik maupun kekayaan harta benda, tetapi pada kualitas hati dan mutu perbuatan hamba kita.
Hati seharusnya menjadi perhatian utama daripada lahiriah. Baiknya hati, berakibat kepada baik pula amalan lainnya.
Hati yang bersih, berakibat kepada amalan yang lain bisa diterima.
Beda halnya jika memiliki hati yang rusak, terutama hati yang tercampur noda kebencian.
“Saya tidak bisa membayangkan jika tidak ada bibi dalam keluarga saya,” kata seorang ibu.
“Dia sungguh bisa diandalkan untuk membantuku mengurus rumah, khususnya urusan dapur,” sambungnya.
“Bibi tidak lagi kami anggap orang lain bahkan sebagai karyawan namun seperti orang tua kami,” lanjutnya.
“Anak-anak pun menyayangi bibi seperti sayang mereka dengan omanya sendiri,” tegasnya.
“Bahkan ketika bibi sakit dan perlu transfusi darah, anak-anakku yang memberikan dan kekurangannya mereka yang mencarikan pedonor,” lanjutnya.
“Hubungan kasih dan penuh hormat telah mengubah relasi di antara kami. Relasi tumbuh menjadi baik tidak sekadar relasi karyawan dan majikan melainkan menjadi relasi sehati,” urainya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang, maka ia datang, atau pun kepada hambaku: Kerjakanlah ini, maka ia mengerjakannya.”
Setelah Yesus mendengar hal itu, heranlah Ia dan berkata kepada mereka yang mengikuti-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorang pun di antara orang Israel.”
Apa yang ditunjukkan seorang perwira di Kapernaum menampilkan kerendahan hati dan iman yang teguh. Ia memohon kesembuhan bagi hambanya.
Hamba yang bagi sebagian besar orang pada masa itu, tidaklah terlalu berharga, sehingga kematian seorang hamba tidaklah berarti bagi seorang tuan.
Namun kepedulian dan kecintaannya kepada hambanya membuat ia rela berdesak-desakan dan memohon kepada Yesus untuk menyembuhkan hambanya
Perwira itu menghargai orang-orang kecil seperti hambanya sendiri.
Hambanya sakit dan dia minta tolong kepada Yesus demi kepentingan hambanya ini.
Bukan hanya itu, dia bahkan menempatkan diri sebagai bawahan Tuhan Yesus.
Dia menganggap Tuhan Yesus adalah tuan yang berkuasa atas segala sesuatu, termasuk atas seluruh penyakit dan kemalangan manusia.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah sikapku dengan karyawan dan orang lain, dilandasi sikap penuh kasih dan hormat?