Renungan Harian 4 November 2020: Plang Pleng

0
540 views
Pergi mancing. (ist)


PW St. Carolus Borromeus, Uskup
Bacaan I: Flp. 2: 12 – 18
Injil: Luk. 14: 25-33

BEBERAPA waktu yang lalu, saya diundang makan malam oleh seorang teman yang merayakan pesta perak perkawinan. Hari itu saya makan malam hanya bersama dengan pasangan suami isterinya, karena ketiga anaknya mempunyai kesibukan masing-masing.

Mereka memang menunda perayaan pesta perak perkawinan mereka nanti pada akhir tahun.
 
Kami menikmati makan malam di rumah mereka sambil ngobrol-ngobrol dan tertawa-tertawa. Setelah selesai makan, kami duduk di teras rumah mereka sambil menikmati teh poci gula batu yang disediakan.

Kemudian saya bertanya: “Om, (kebiasan saya memanggil dia sejak dulu) pengalaman apa yang paling menarik yang masih diingat dan membekas selama 25 tahun perkawinan?”

“Wah, banyak banget mo, namanya orang berumah tangga, pasti banyak hal yang menarik dan membekas,” jawabnya.

“Ya salah satu yang paling lucu atau mengesan,” pintaku lebih lanjut.
 
“Mo, yang paling mengesan, lucu dan berat adalah di awal-awal perkawinan. Aduh, itu menguras energi dan emosi. Perjuangan kami untuk saling mengerti, memahami dan menyesuaikan diri itu sungguh-sungguh luar biasa. Kalau dulu kita selalu mendengar tentang “abnegatio sui” dan “agere contra” (menyangkal diri dan melawan kehendak diri) itu sungguh-sungguh menjadi pergulatan kami setiap hari.
 
Contoh sederhana, waktu itu seingat saya hari Sabtu, dia (istrinya) libur sedangkan saya harus masuk setengah hari. Sebelum berangkat kerja aku tanya ke dia: “Djeng, hari ini ada acara keluar tidak?”

“Nggak mas, aku di rumah. Aku mau masak kesukaan penjenengan. Penjenengan dhahar (makan) di rumah to?” kata dia.

“Iya aku makan di rumah Djeng. Matur nuwun ya.”
 
Tahu nggak mo, aku sampai di rumah, pintu terkunci, dia tidak ada. Tidak ada pesan apa pun yang ditinggalkan, biasanya kami menulis pesan dan kami tempel di pintu kulkas. Di rumah yang katanya mau masak, ternyata tidak ada apa-apa, jangankan sayur nasi pun belum ada. Saya jengkel banget, tetapi saya berusaha tenang biar tidak jadi ribut.
 
Kira-kira pukul tiga sore dia datang senyum-senyum cerita kalau dia tadi dijemput teman-teman kantornya menengok salah seorang teman yang sakit. Saya ngomong ke dia: “Djeng, djeng… penjenengan itu lho kok “ya plang pleng koyo wong legan” (pergi begitu saja seperti orang yang belum bersuami).”

Dia minta maaf dan menceritakan alasannya. Ya sudah aku belajar mengerti.
 
Beberapa hari kemudian waktu itu hari libur, saya dengan teman-teman pergi mancing. Seperti biasa mo, berangkat malam dan pulang sore esok hari. Aku bilang ke dia: “Djeng, besok aku mancing ya, berangkat nanti malam. Mumpung libur.”

“Ya mas, hati-hati ya,” jawabnya.
 
Tahu gak mo, aku pulang dicuekin.  Aku ngomong apa pun jawabnya singkat, padat sekenanya. Aku bingung, salah saya apa, aku melukai dirinya apa. Aku tanya, jawabnya tidak apa-apa.

Aku minta maaf tidak dijawab. Bahkan malam hari, kami biasa doa Rosario bareng, aku ajak doa, dia jawab, besok aja. Aku bingung dan jengkel. Setelah doa aku tidur, dia juga tidur punggung-punggungan. Tak berapa lama dia berdoa sendiri.
 
Setelah dia selesai berdoa aku jengkel sebenarnya, tapi aku memeluk dia dan minta maaf.

Dia jawab: “Gak ada yang harus dimaafkan mungkin aku egois. Aku harus tahu bahwa ada wilayah penjenengan yang tidak boleh aku masuki. Aku membayangkan liburan bisa berdua, tetapi penjenengan punya teman-teman dan hobi jadi ya mau apa?”
 
Waduh pikirku aku salah besar. “Djeng, aku minta maaf, sekarang aku janji, kalau mau pergi kita bicara bareng, aku tidak sekedar memberi tahu dan minta izin. Penjenengan berhak untuk melarang dan mengingatkan.”

Malam itu kami berdua damai.
 
Mo, masih banyak lagi hal-hal yang harus kami tata dan hubungan kami. Sungguh, penyangkalan diri dan mengalahkan diri sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here