INDONESIA, tanpa kita ketahui, sebenarnya menyimpan potensi pangsa pasar terbesar di wilayah Asia Tenggara. Kawasan Asia Tenggara ini, dengan segala keterbatasannya, merupakan alternatif mesin potensial untuk memompa pertumbuhan ekonomi dunia yang saat ini sedang dilanda badai.
Sebut saja Amerika yang mengaku sebagai negara adidaya dengan Gross Domestic Product GD) sebesar 15,094.2 US$B ternyata cuma menorehkan GDP Growth sebesar 1, 7% per tahunnya. Juga Zona Eropa. Dengan GDP terbesar kedua sebanyak 13,115.13 US$B, Eropa memiliki GDP Growth sedikit lebih rendah dari Amerika, yaitu sebesar 1,44 persen per tahunnya.
Runtuhlah kejayaan AS
China yang dikabarkan sebagai negara saingan Amerika, rupanya memang memiliki pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan dengan GDP Growth 9,24 % per tahunnya. Dengan posisi China yang sekarang gagah memegang GDP 7,298.15 US$B, maka kalau Amerika masih mengalami kondisi yang sama dan tidak melakukan usaha berarti demi mengubah keadaannya, saya boleh yakin dan percaya bahwa dalam 20 atau 30 tahun mendatang posisi Amerika sebagai negara adidaya akan benar-benar tergantikan.
Dibalik lambatnya pertumbuhan ekonomi yang dihadapi Amerika dan negara-negara Eropa saat ini, Asia Tenggara secara grafik perkembangannya melaju lebih cepat, dan Indonesia adalah satu negara dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi tercepat disusul oleh Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam (Sumber: Asian Development Outlook Update, Juli, 2012).
Potensial tapi mengapa tetap terpuruk?
Jujur, ini merupakan hal yang mencengangkan bagi saya, dan setitik kelegaaan.Posisi Indonesia yang termasuk dalam jajaran G20 (20 negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat di dunia) merupakan hal yang tak pernah saya sangka sebelumnya. Menjadi suatu negara sorotan dunia dalam hal pesatnya perkembangan ekonominya.
Namun lalu timbul satu pertanyaan dalam diri saya, mengapa rakyatnya masih sangat menderita?
Sungguh, pertanyaan yang saya bawa pulang dari Round Table Bhumiksara beberapa waktu lalu itu sampai benar-benar mengganggu kesadaran social saya.
Jam masuk kantor pukul 09.00, tapi hari ini saya sempatkan datang lebih awal karena charger laptop yang tertinggal, tak sabar saya ingin mencoba memahami ada apa di balik nilai GDP dan pertumbuhannya yang tertangkap oleh survei dunia? Mengapa kenyataannya berkebalikan di lapangan.
Membuka beberapa web yang berkenaan dengan itu semua, serta memaksa beberapa teman yang pakar ekonomi untuk membantu saya mengerti, sedikit diskusi kacau sana-sini (tentunya sambil membunuh waktu di sela pekerjaan yang kadang menjemukan), ada beberapa gambaran yang semakin jelas tertangkap benak saya.
Sebuah opini pun siap saya tularkan.
Mengapung di permukaan
Indonesia negara kaya jika dilihat dari pertumbuhan GDPnya, tapi dari mana data itu didapat? Apakah pihak penyelenggara survei sudah benar-benar melihat apa yang benar-benar terjadi di lapangan? Dari manakah komponen-komponen untuk menghasilkan suatu kesimpulan akhir itu didapatkan?
Menurut saya, GDP yang tinggi itu didapatkan karena survei cuma melihat nominal kasar barang yang dieskpor ke luar saja? Dari GDP itu memang bisa ditangkap berapa usaha baru yang berkembang di Indonesia, berapa modal yang ditanamkan untuk usaha-usaha baru, namun sayangnya, semua ini hanyalah menjadi sebuah tolak ukur yang mengapung di permukaan saja.
Hanya kalangan menengah kebawah yang tertangkap oleh analisa GDP. Kalangan itu adalah mereka yang cukup memiliki modal dan mulai membangun usaha. Sementara golongan kecil yang tidak bekerja, kesehariannya mengandalkan penghasilan mengemis ataupun mengais sampah tentu saja tidak terambah.
GDP juga menganalisa nilai kemiskinan, sementara apakah definisi miskin di Indonesia? Definisi miskin (berangkat dari mbah Google tentu saja) dari pemerintah adalah mereka ya berpenghasilan kurang dari 211 ribu rupiah per bulan. Wah! Itu berarti 7000 rupiah per hari. Bukankah ini sudah menunjukkan nominal yang mengenaskan.
Apa sih yang bisa didapatkan dari 7000 rupiah. Sementara saya, seorang karyawan swasta di Jakarta yang masih single ini saja paling tidak menghabiskan 15 ribu rupiah untuk makan per hari (dalam kondisi yang sudah sangat menghemat, makan sayur dan tempe tahu saja).
Hal inilah yang sangat tidak tertangkap oleh GDP.
Manakah yang lebih valid jika begitu? GDP atau katakanlah, rata-rata pendapatan per kapita?
Pendapatan per kapita pun tidak akan pernah sangat valid, jika tidak terjun sendiri ke lapangan dan menemukan setiap harinya ada bayi yang dibuang di jalan karena orang tua tak lagi mampu membiayai, pengamen yang berserakan dimana-mana – nyaris di tiap perempatan dan bus kota, juga jumlah penjambret, perampok, serta maling yang terus saja bertambah?
Jangan dulu berbangga. Buka mata.
Tautan: http://albhum2005.com/?p=685
Photo credit: Royani Lim
Artikel terkait: