Kita sebut saja “Saputro”. Nama lengkap dan panggilannya sengaja disamarkan. Nanti akan ketahuan mengapa mesti disembunyikan.
Sebetulnya saya pun terlambat mengetahui kisah ini. Baru tahu setelah keadaan mereda.
Saputro adalah pensiunan petugas satpam di sebuah lembaga pendidikan di Tangsel.
Sekian tahun setelah pensiun, hidupnya goncang. Ada konflik keluarga yang tak terselesaikan. Saputro keluar dari rumahnya. Uang pesangonnya pun menipis.
Dia berkeliaran tak punya tempat tinggal. Kadang meneduh di pos satpam tempat dulu bertugas, tak jarang menumpang di pos hansip, atau leyehan di bedeng bekas bangunan.
Kisah mulai hangat sekira 2-3 tahun lalu.
Saputro berjalan agak pincang. Ada luka menganga di kedua kakinya, di bagian betis ke bawah.
Makin lama, luka serupa menjangkit pula ke tangannya. Perambatan ini menambah penderitaannya. Semakin banyak orang menjauhi dirinya. Orang menyangka Saputro kena penyakit gula. Bahkan kenalan dokter pun menduga demikian.
Sayang, Saputro enggan berobat.
Yang tak sengaja melihat, dengan cepat memalingkan pandangannya.
Saputro mengasingkan diri dari keramaian. Luka di kakinya mengganggu gerak dan pergaulannya. Dia lebih banyak berbaring di bedeng yang tak layak huni.
Sampai awal bulan Januari lalu.
Suatu panitia Natal Lingkungan, memberi bingkisan bagi lansia. Sekedar membagi sejumput kebahagian kepada mereka yang kesepian. Saputro salah satunya.
Secara tak sengaja, fotonya sampai ke ponsel salah satu pimpinan sebuah RS swasta yang berlokasi di Salemba.
Mereka langsung mencari di mana lokasi Saputro. Tak sampai tiga jam sebuah ambulan lengkap dengan peralatan dan paramedis tiba di bedeng Saputro.
Saputro diangkut ke Salemba. Ketika ditanya biayanyanya, Sang Suster menjawab yang melegakan banyak orang: “Tak usah dipikirkan.”
Saputro langsung mendapat perawatan yang intensif. Satu langkah luhur patut dicatat dalam proses penyembuhannya.
Cek darah lengkap dan pemeriksaan organ-organ tubuhnya dilakukan dengan seksama. Gula darahnya normal. Hasil lainnya juga oke. Saputro tergolong bugar, hanya penglihatannya mulai pudar.
Lantas apa penyebab luka yang merambah kaki dan tangannya?
Hari ketiga, dokter spesialis kulit berhasil mendiagnosa penyakitnya. Penyakit yang sudah jarang ditemukan dan perlu waktu lama untuk menularkannya. Saputro menderita kusta.
Penyakit yang dianggap menyeramkan, tapi sejatinya tak lagi menakutkan.
Dahulu kala, penderita kusta memang diasingkan di hutan-hutan, goa-goa atau gunung-gunung. Mereka tak boleh bertemu orang sehat. Kalau pun terpaksa bertemu, mereka harus meneriakkan kata-kata: “Saya najis, najis”.
Harapannya, agar orang sehat segera menjauh. (Im. 13:45)
Hari keempat, Saputro tak perlu lagi dirawat inap. Namun, beberapa catatan penting harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Hidup di tempat yang higienis, dengan sirkulasi udara dan sinar matahari yang cukup, mendapat asupan makanan yang sehat dan minum obat teratur selama satu sampai satu setengah tahun.
Syarat yang kelihatannya sederhana, tidak begitu bagi Saputro. Itu berat bagi yang hidup lontang-lantung sendirian.
Dari sinilah drama keteladanan terpuji berikutnya layak disaksikan.
Lima warga sekitar bedeng Saputro mulai bergerak sebagai relawan. Bermula dari pembuatan grup Whatsapp yang dinamakan “Atensi untuk Saputro”.
Ada yang melakukan pengumpulan dana. Yang lain mencari rumah kontrakan. Sebagian lagi melacak katering untuk makan sehari-hari. Ada pula yang belanja kebutuhan rumah untuk mengisi kontrakan.
Tentunya ada yang mengurus suplai obat-obat yang tak boleh alpa diminum.
Semua sadar bahwa ini adalah lomba lari jarak jauh. Perlu stamina yang tangguh dan tak kenal menyerah.
Ajaib Tuhan, ajaib Tuhan.
Ketukan tangan para relawan di pintu surga, dibukakan-Nya.
Dalam waktu kurang dari 48 jam terkumpul dana sekira tiga puluh lima juta. Beberapa hari berikutnya, jumlah patungan bertambah lagi dan lagi. Sekarang, sekira 40 hari sejak dibentuk, tercatat 35 donatur dengan jumlah dana limapuluh dua juta tersimpan di kas.
Catatan uang keluar-masuk dibuat sedemikian rapi. Terima kasih tak terhingga.
Kabar terkini, luka di kaki Saputro sudah mengering. Dia nyaman tinggal di rumah kontrakan yang layak dengan menu harian yang sehat. Obat-obatan disuplai gratis dari Puskesmas dengan kunjungan teratur dari paramedis.
Tim relawan bernafas lega. Proses penyembuhan sudah pada jalur yang benar. Meski harus tetap diingat. Ini maraton, perlu daya tahan tinggi untuk mengarungi masa satu setengah tahun.
Kita hanya perlu memulai langkah pertama untuk mengukir kebajikan. Langkah kedua, ketiga, keempat dan kesejuta, diteruskan oleh Tuhan sendiri.
Tapi bila kita tidak melangkah yang pertama, langkah kedua dan selanjutnya tak akan terwujud pula.
Orang-orang biasa mungkin tak bisa melakukan sesuatu yang besar. Tetapi mereka bisa melakukan sesuatu yang kecil, dengan rasa cinta yang besar.
Itulah yang dilakukan grup “Atensi untuk Saputro”.
“Not all of us can do great things. But we can do small things with great love.” (Bunda Teresa)
@pmsusbandono
26 Februari 2023
pak Susbandoni, tk sharing in.
ada respons dari teman yg alm kakaknya dr kulit n mengkhususkan pada penyakit kusta. “Kusta menular dari air tergenang yg terkontaminasi penderita kusta aktif lainnya, terutama jika ada Luka terbuka maka lebih cepat. Perlu ditanya dimana saja Saputro pernah tinggal n menginap krn bisa jadi penularan terjadi disana”
jadi, teman saya minta telusuri dimana pak Saputro pernah tinggal dan menginap ….