
SUDAH susah-susah dibiayai kuliah dan berhasil lulus Sarjana Muda dengan gelar BA di IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) Negeri Jogjakarta, Sr. Theresiana AK boleh dibilang malah telah “melukai” hati ibu kandungnya.
Hanya karena ia tidak mau melanjutkan kuliahnya sampai sarjana lengkap bergelar doktoranda, tapi malah masuk asrama mahasiswa.
Membantu Romo Chauvigny de Blot SJ di Wisma Mahasiswa Realino
Alih-alih mau meneruskan kuliah lagi, Sr. Theresiana AK malah kemudian meninggalkan rumahnya di bilangan wilayah pastoral Paroki Pugeran Yogyakarta dan kemudian hidup di sebuah asrama mahasiswa.
Dilakukannya atas permintaan dosen sekaligus penasihat rohaninya – Romo Chauvigny de Blot SJ.
Karya pelayanan sosial tersebut mengharuskan Sr. Theresiana AK tinggal di sebuah asrama mahasiswa. Di situ ia ikut mengampu karya pendampingan untuk para korban sejarah pergolakan politik di Indonesia pasca tragedi berdarah Peristiwa G30S tahun 1965.
Menjadi “abdi dalem” Tuhan
Kecelakaan “sejarah” ini sampai terjadi menimpa diri Sr. Theresiana AK, lantaran sejak muda dia selalu merasa diri dibuat sangat “nges” setiap kali mendengar istilah “abdi dalem”.
Maklumlah, ia tinggal di sebuah permukiman penduduk di mana kanan-kiri tetangganya banyak yang berkarier mengambil profesi sebagai “abdi dalem”. Mereka ini bekerja di Keraton Yogyakarta.
“Banyak tetangga dekat rumah kami di Pugeran waktu itu selalu merasa begitu bangganya, karena mereka sudah bisa berprofesi menjadi abdi dalem; bekerja mengabbdikan diri kepada Kanjeng Sinuhun,” ungkap Sr. Theresiana AK menjawab Titch TV.
Kisah menarik tentang sejarah pribadi dan panggilan hidup religius Sr. Theresiana AK ini terjadi di dalam Program “Bincang-bincang Panjang” Titch TV.
Berlangsung di salah satu sudut kamar makan Griya Kasepuhan Biara Abdi Kristus “Panjer Enjing” di bilangan Gedanganak, Ungaran, Kabupaten Semarang, 14-15 September 2023.
Gara-gara istilah “abdi dalem” yang membuatnya selalu merasa nges itulah, diam-diam Sr. Theresiana AK mulai memupuk rasa cinta mendalam dan keinginan luhur yang juga sangat membara.
Ia juga ingin bisa menjadi “abdi Dalem”; tapi dengan huruf D kapital. Bukan jadi abdi dalem di Keraton Yogyakarta, tapi menjadi abdi dalem untuk Tuhan.

Ditutuh Romo de Blot: “Kamu mau jadi suster ya?”
Sekali waktu, ia dipanggil oleh Romo Chauvigny de Blot SJ. Terjadi di saat jelang akhir penutupan retret para mahasiswa IKIP Negeri Jogjakarta.
Saat itu, imam misionaris Jesuit Belanda yang berkarya di Asrama Mahasiswa Realino ini menjadi dosen sekaligus penasihat rohaninya.
“Kamu ingin jadi suster biarawati ya?” tanya Romo de Blot SJ tanpa banyak ba-bi-bu. Langsung to the point dan berikutnya sangat “menusuk” ke ulu hatinya.
“Nggak Romo,” jawab Sr. Theresiana AK super kaget.
Karena, ia sungguh tak mengira di akhir retret itu justru malah “dicari-cari” oleh Romo de Blot SJ. Lantaran ia sengaja ingin mengindar diri dengan tidak mau sowan bimbingan di sesi akhir retret.
Karena tidak tahu harus menjawab apa, maka solusi cepat agar “selamat” dari cecaran pertanyaan dosennya, Sr. Theresiana AK dengan gagap langsung menjawab: “Tidak”.
Padahal, di lubuk terdalam hatinya, ia mesti harus mengatakan: “Ya, itu betul, Romo.”
Hidup di Asrama Mahasiswa bantu karya sosial Romo de Blot SJ
Tragedi berdarah Peristiwa G30S tahun 1965 sungguh menjadi luka sejarah yang menyayat hati untuk bangsa Indonesia. Terutama mereka yang kemudian harus menjadi korban gerakan politik, ketika mulai muncul gerakan besar-besaran untuk memberangus para anggota atau simpatisan PKI.
Terjadi seperti ini, sejak pemberangusan massal itu dilancarkan oleh Pemerintahan Orde Baru pimpinan Jenderal Suharto yang di tahun 1967 naik ke tampuk puncak kekuasaan politik dengan menjadi presiden kedua RI.
Entah bagaimana ceritanya, Romo Chauvigny de Blot SJ waktu itu aktif mengampu karya pelayanan sosial berupa pendampingan bagi para korban sejarah politik pasca G30S tersebut.
Untuk program pendampingan itulah dan juga karena berpendidikannya sebagai calon guru lulusan IKIP Negeri Jogjakarta, maka Sr. Theresiana AK kemudian diajak Romo Chauvigny de Blot SJ agar bersedia membantunya.
“Saya membantu Romo de Blot SJ selama tiga tahun lamanya,” papar Sr. Theresiana AK.

95% matanya buta
Selama tahun-tahun terakhir ini, Sr. Theresiana AK praktis sudah mengalami penderitaan fisik dalam wujud “buta penglihatan”. Terjadi demikian, karena kornea hasil proses cangkokan di kelopak matanya kini sudah rusak.
“Saya tidak bisa melihat wajah Titch TV,” ungkapnya jujur namun tegas, saat penulis ingin melakukan interpiu di sebuah sudut kamar makan Griya Kasepuhan Biara Abdi Kristus “Panjer Enjing” Ungaran.
Terjadi di hari Kamis siang yang begitu panas; pertengahan bulan September 2023.
Bagaikan disambar petir di siang bolong
Justru karena sudah tidak mau meneruskan kuliahnya lanjutan -sesuai harapan keluarga- agar nantinya bisa meraih gelar doktoranda di IKIP Negeri Jogjakarta inilah, ibu kandung Sr. Theresiana AK kemudian merasa kaget sekali. Bak seperti disambar geledek dengan bunyi menggelegar di siang bolong.
Kaget sekali dan tentu saja ibunya juga merasa sangat kecewa. Sudah susah-susah dibiayai kuliah sampai gelar Sarjana Muda (BA), kini Sr. Theresiana AK malah mau “melarikan diri” dari rumah untuk bisa berkarya sosial membantu Romo de Blot SJ.
Ternyata di balik kisah sedih di awal sejarah panggilannya ingin menjadi suster “Abdi Dalem Sang Kristus” (ADSK) -nama Kongregasi Suster Abdi Kristus (AK) zaman dulu, Sr. Theresiana AK justru merintis jalan lapang menuju Biara AK di Ungaran.
Meski untuk tujuan hidup masa depan sebagai calon biarawati AK ini, ia mesti merasakan derita batin karena malah membuat ibu kandungnya kecewa sangat berat.
“Ibu saya baru luluh bisa menerima saya menjadi seorang suster biarawati AK, ketika saya mengucapkan kaul kekal. Terjadi beberapa tahun kemudian, setelah saya masuk Postulan, Novis, dan kemudian beberapa tahun mulai mengampu karya sebagai suster yunior,” papar Sr. Theresiana AK sedikit berkaca-kaca.
Meski 95% sudah mengalami kebutaan karena kornea hasil cangkokannya telah rusak, kelopak mata Sr. Theresiana AK mulai sedikit basah. Gejolak emosi masa silam ketika masih “bersitegang” dengan ibu kandungnya membuat kelopak matanya dalam sekejap bisa berkaca-kaca. (Berlanjut)