Yoh 8:1-11: Kekerasan terhadap Perempuan, Tantangan bagi Keadilan

1
3,029 views
Ilustrasi -KDRT by Indian Express

Abstrak

Kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya berada rentang panjang sejarah umat manusia. Tindakan ini tampak dalam beragam bentuk. Muncul dari ranah sosial, budaya, ekonomi, politik dan bahkan keseharian hidup manusia.

Anggapan sosial dan hukum yang tidak wajar dalam kehidupan sehari-hari pun menjadi alasan atau penyebab timbulnya diskriminasi (pemojokan) terhadap kaum perempuan.

Kekerasan yang bersifat paradoksal ini juga tampak dalam Yoh. 8:1-11.

Perempuan disudutkan dalam kehidupan demi pemuasan nafsu para lelaki yang direpresentasikan oleh “orang-orang Farisi dan orang banyak”.

Upaya rekonstruksi melalui penghormatan terhadap martabat kaum perempuan menjadi suatu keharusan. Demi terwujudnya tatanan yang ‘ideal’ yakni keadilan.

Pengantar

Berbicara tentang keadilan selalu saja diperhadapkan pada situasi yang tidak bertentangan dengan inti dari rasa adil. Keadilan menjadi sebuah gagasan yang dibuat demi terciptanya komunio yang solid dan tidak mengandung pertentangan.

Tetapi sejauh ini, ada masalah-masalah kemanusiaan yang sering muncul dan mengaburkan makna dari etika keadilan dalam kehidupan bermasyarakat sosial. Manusia dengan sifat sosialnya dihalangi oleh rasa egoisme pribadi; penyebab kemerosotan dalam penghayatan nilai-nilai kemanusiaan.

Manusia sendiri menjadi serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus)  dalam tindak kekerasan. 

Kekerasan dalam diskusi tentang perempuan tidak terlepas dari pembicaraan tentang jender, yang mana konsep ini bertalian langsung dengan kaum laki-laki dan perempuan.

Ada distingsi yang dibangun terkait keberbedaan ini dan tidak lain menyangkut ciri-ciri keunikan dari keduanya. Meski lebih mengarah pada perendahan martabat yang merujuk pada praktik ketidakadilan.

Perikop mengenai “Perempuan Yang Berzinah” (Yoh. 8:1-11) setidaknya menjadi satu gambaran sejarah yang menampilkan perendahan martabat perempuan atau praktik diskriminasi.

Latar belakang budaya Yahudi yang menganut sistem patriarkal menggarisbawahi posisi perempuan kala itu. Perempuan disubordinasikan dalam urusan-urusan keagamaan dan Bait Allah atau dalam kehidupan sosial.

Upaya penghakiman “terhadap perempuan yang berzinah” dan pemojokan mewarnai satu bentuk ketidakadilan yang cukup kompleks atau ada pembedaan jender yang riil dalam kultur Yahudi.

Perzinahan harus dkenai hukuman “perajaman dengan batu hingga mati”.

Defenisi kekerasan

Dalam beberapa hal, kekerasan terhadap kaum perempuan adalah masalah yang timbul dalam kehidupan sosial. Latar belakang dan budaya paternalisme yang lebih mengangkat derajat dan martabat laki-laki menimbulkan diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Berikut ini sejumlah definisi terkait tindakan kekerasan, kaum perempuan, dan keadilan.

Pertama, kekerasan merupakan suatu tindakan yang melawan hakikat dari keadilan atau kekerasan bisa menyangkut penindasan atau tindakan amoral yang sifatnya paradoksal. (Violent behavior that is intended to hurt or kill someone crimes/acts/threats of violence against somebody. Bdk. Concise Oxford English Dictionary, 1995).

Kekerasan (violence) menurut definisinya perilaku atau niat hati yang merusak, daya emosi atau daya alami yang bersifat merusak-destruktif yang ditimbulkan akibat dorongan nafsu.

Kedua, kekerasan terhadap perempuan sekaligus menodai kodrat perempuan yang memiliki posisi setara dengan laki-laki. Perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan kaum laki-laki. Kaum perempuan diciptakan untuk saling melengkapi.

Ketiga, keadilan menyangkut sifat perbuatan, perlakuan, yang adil. Keadilan selalu berpresuposisi pada ketidaksewenang-wenangan atau keberpihakan yang tidak merugikan sepihak saja, tidak ada diskriminasi atau segregasi dalam praktik kehidupan sosial.

Bentuk kekerasan terhadap perempuan

Kekerasan menyandang dua bentuk yang meliputi Kekerasan fisik dan kekerasan psikologis.

Kekerasan fisik selalu berhubungan dengan tindakan fisik, dengan akibat langsung yakni orang lain  menderita.

Contohnya: pemerkosaan, pembunuhan, dan pemukulan.

Sedangkan, kekerasan psikologis merupakan tindakan secara tidak langsung melalui strukrur yang sifatnya menindas (bdk. Herman P. Panda, Pr & Dr. Oktovianus Naif dkk, 2008).

Selain itu juga, ada kekerasan berbasis jender disebut juga dengan gender related-violence yang meliput tindakan pemerkosaan, kekerasan rumah tangga (domestic violence), pornografi, prostitusi, molestasi (menyentuh tubuh perempuan tanpa diketahui), dan pelecehan sesksual.

Kekerasan dalam Yoh 8: 1-11

Latar belakang kekerasan terhadap kaum perempuan berangkat dari sejarah atau tradisi Yahudi yang melegalkan hukuman mati. Adanya praktik diskriminasi tampak melalui praktik hukuman mati yang dalam konteks Yahudi akan dirajam dengan batu oleh seluruh masyarakat hingga mati.

Hukum rajam dikenakan kepada setiap subjek yang kedapatan melakukan perzinahan atau hubungan seksual antara laki-laki yang sudah atau belum bersistri dengan perempuan yang sudah bersuami.

Tindakan ini dalam Tradisi Yahudi dianggap memperkosa hak milik suami terhadap istrinya (bdk. Xavier Leon-Dufour, 1990).

Tetapi nota bene-nya tindakan perajaman ini lebih diarahkan kepada kaum perempuan yang tentu merupakan satu bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan.

Teks Yohanes 8:1-11 secara umum menggarisbawahi suatu tuduhan palsu atas wanita yang dianggap berzinah. Fungsi teks ini menegaskan sikap orang kristen terhadap dosa, terutama perzinahan.

Secara ringkas teks ini mengandung usaha untuk mecobai Yesus oleh orang-orang Farisi yang dengan harapan bahwa Yesus akan menolak Taurat Musa tentang hukuman rajam terhadap kasus perzinahan.

Yesus menghindari jebakan, dengan mengajukan satu tuntutan: “Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa hendaklah ia yang pertama kali melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh.8:7).

Yesus membangkitkan kesadaran mereka dan pada akhirnya mereka menghilang, dan meninggalkan Ia sendirian bersama wanita itu.

Yesus menggambarkan pentingnya pengampunan di atas semua masalah, apalagi menyangkut kehidupan dan mengingatkan peringatan terhadap hukum yang mendiskriminasikan wanita (bdk. A. S. Hadiwiyata, 2008).

Sikap resolutif pengendali kekerasan menuju keadilan

Kekerasan dalam kehidupan bersosial tidak akan terjadi bila masyarakat menghayati dengan sungguh nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Penghayatan akan nilai-nilai tersebut tentu tidak bergerak di luar dari nilai yang sudah benar mengakar dan belum terlalu disadari.

Berikut ini akan dibahas secara khusus nilai-nilai yang dapat dihayati untuk mencegah tindak kekerasan terhadap kaum perempuan dengan menekankan nilai cinta kasih.

  • Mengasihi adalah perbuatan ramah dan berwawasan di mana cinta memiliki efek yang tidak kasar, sopan, dan tidak kejam.
  • Mengasihi identik dengan perbuatan-perbuatan, kata-kata, dan sikap-sikap yang menyenangkan dan tidak saling menyudutkan (bdk. Amoris Laetitia Paus Fransiskus, 2016).

Bahwasanya cinta memiliki konsekuensi mutual antar kaum laki-laki dan kaum perempuan, lantas harus dihindari aksi-aksi yang bertentangan dengan nilai cinta.

Yesus dalam Yoh.8:11 menegaskan: “Aku pun tidak akan menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Ia mengarisbawahi pentingnya pengampunan sebagai ungkapan cinta yang paling sempurna terhadap sesama.

Penutup

Perempuan pada dasarnya memiliki kodrat yang unik dan memiliki martabat pribadi sebagai manusia yang setara dengan kaum laki-laki. Perlakuan yang tidak mempertimbangkan kebaikan bagi sesama yang lain merupakan tindakan yang kurang manusiawi.

Kekerasan terhadap kaum perempuan dengan berbagai bentuk subordinasi adalah tindakan penindasan. Penindasan yang didasarkan pada egoisme sepihak dari kaum laki-laki terhadap kaum perempuan adalah jahat dan kejam.

Perempuan sesungguhnya juga tidak menghadirkan kekacauan dalam kehidupan bersama atau menjadi biang ketidakadilan. Penghormatan terhadap martabat atau saling menjunjung tinggi penghargaan terhadap martabat menjadi aset terpenting terciptanya keadilan.

Yesus dalam perikop Yoh. 8: 1-11 menggarisbawahi pentingnya bersikap adil terhadap kaum perempuan. Cinta kasih menjadi satu-satunya jalan yang perlu dipraktikan melalui tindakan pengampunan dan tidak mendiskriminasikan mereka.

Kekerasan terhadap kaum perempuan haruslah ditiadakan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereduksi tindakan-tindakan yang berakibat fatal bagi kaum perempuan adalah pencegahan terjadinya praktik penindasan dan ketidakadilan yang sifatnya amoral.

Menindas kaum perempuan berarti melanggar hak dan martabat mereka sebagai insan yang bermartabat.

Demikian nilai-nilai keadilan harus ditanamkan dalam setiap pribadi sebagai aktor penindas.

Daftar pustaka

  • Oxford Dictionaries, Concise Oxford English Dictionary, USA: Published Oxford University Press. 1995.
  • P. Panda, Herman, Pr & Naif, Oktovianus dkk, Membedah Kekerasan Dalam Keluarga Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Amara Books, 2008.
  • Dufour, Xavier Leon, Ensiklopedia Perjanjian Baru.Yogyakarta: Kanisius, 1990.
  • Hadiwiyata, A. S., Tafsir Injil Yohanes, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
  • Ajakan Apostolik Pasca Sinodal. Amoris Laetitia Sri Paus Fransiskus, 2016.

1 COMMENT

  1. Kekerasan terhadap perempuan pada hakikatnya melanggar HAM dan termasuk dalam tindakan yang bersifat malum in se (jahat dalam dirinya sendiri). Lantas hal demikian bertentangan dengan prinsip moral “benefience”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here