“The King’s Speech”, Tontonan Artistik selama Masa Prapaska

0
1,770 views

the-kings-speech-movie-photo-02FILM The King’s Speech merupakan salah satu film yang tidak bosan saya tonton berkali-kali.

Banyak hal menarik dari film Inggris yang ditulis David Seidler dan dibesut Tom Hooper. Penghargaan internasional yang berhasil diboyong menunjukkan kualitas tinggi film produksi 2010 ini.

Sukses secara artistik – di ajang Golden Globe, British Academy Film dan Oscar – yang juga dibarengi sukses komersil; dengan budget 8 juta poundsterling, film ini mendulang pundi sebesar 250 juta poundsterling.

Scriptor asli gagap

Pujian pertama-tama patut diberikan kepada sang penulis, David Seidler, yang telah berangan menulis naskah tentang Raja George VI sejak tahun 1980. Raja George VI yang berhasil mengatasi gagap yang dideritanya sejak kecil merupakan inspirator besar buat David Seidler, yang rupanya juga seorang penggagap.

Ia mengadakan riset mendalam tentang sang raja dan akhirnya berhasil menjalin kontak dengan anak Lionel Logue yang bersedia memberinya data asal diperkenankan oleh Ibu Suri alias istri Ratu George VI – ibu Ratu Elizabeth yang sekarang bertahta.

kings speech movie posterIbu Suri waktu itu mengatakan agar projek itu ditunda dulu, jangan dibuat semasa hidupnya. Maka ketika Ibu Suri meninggal pada tahun 2002, David Seidler baru bertekun kembali mengembangkan naskah tersebut.

Pujian lain selain kepada sang sutradara, tentunya jatuh kepada pemerannya terutama si pemeran utama, Colin Firth yang begitu luar biasa membawakan peran George VI. Maka tak heran dia diganjar penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik pada ajang Golden Globe, British Academy Film dan juga membawa pulang Oscar. Penonton benar-benar dihanyutkan dengan ekspresi dan postur sang aktor dalam pendalaman karakter sulit tersebut.

Selain Colin Firth, Geoffrey Rush, si aktor Australia juga sangat patut mendapatkan piala Oscar yang diboyongnya untuk peran sebagai Lionel Logue di film tersebut.

Selain dimanjakan dengan artistik film yang melukiskan nuansa kerajaan Inggris menjelang Perang Dunia II, kecermelangan aktor-aktrisnya, film ini juga memberikan beberapa pencerahan bagi penontonnya.

Public phobia

Cerita tentang pangeran kedua yang sama sekali tidak berminat menjadi raja, bahkan sebenarnya takut untuk bicara –  di depan umum maupun di depan corong radio – tapi dengan segala keterpaksaan dan kesadaran mau mengemban salib tersebut, demi rakyat dan negara. Abangnya yang flamboyan, pemberani dan kekasih media, malah memilih mundur sebagai raja gara-gara ngotot ingin menikahi seorang Amerika yang telah menikah dua kali.

Skandal besar dan jelas tabu waktu itu.

Cerita persahabatan antara sang terapis – Lionel Rush dan Raja George VI – itulah benang merah dari film ini. Persahabatan yang bukan timbul begitu saja, tapi lewat komunikasi, usaha keras, niat baik dan integritas tinggi keduanya. Menarik melihat bagaimana metode Lionel Rush dalam mengobati gagap sang pangeran.

Lebih menarik lagi mengikuti perkembangan pertemanan antara sang darah biru dengan orang biasa yang bahkan bukan asli Inggris. Bagaimana sang raja bisa memempercayakan dirinya kepada seorang terapis biasa yang rupanya bukan dokter beneran. Bagaimana mereka berdua satu sama lain mau meminta maaf atas kesalahan yang sebenarnya tidak benar-benar dilakukan masing-masing.

Tontonan yang menyejukkan jiwa dan sarat makna ini patut diputar ulang saat masa Prapaskah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here