Drama Keluarga, Menegur untuk Mendidik Anak dan Membina Karakternya

0
937 views
Ilustrasi - Kenakalan anak-anak remaja. (Medium)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Rabu, 11 Agustus 2021.

Tema: Gerak menjadi umat.

  • Bacaan Ul. 34: 1-2.
  • Mat. 18: 15-20.

SALAH satu ciri khas manusia adalah perjalanan hidup dan perkembangannya.

Perjalanan berarti bahwa setiap orang mengetahui dari mana ia berasal dan kemana ia akan pergi. Sadar akan ke-fana-an hidup. Lalu menyadari kediriannya saat ini terarah pada kehidupan setelah di dunia ini, yakni hidup abadi.

Rahmat itu sudah diberikan kepada kita lewat Sakramen Baptis.

Perkembangan berarti tiap orang  melipat-gandakan karunia yang ia terima demi pertumbuhan dirinya sendiri dan kebersamaan dengan sesama. Persaudaraan dalam berziarah bersama itulah identitas kita, seorang Kristiani. Ia adalah bagian dari Gereja yang sedang berziarah pula.

Dan dalam perjalanan dan perkembangan itu, manusia selalu berada dalam titik ketegangan. Antara hidup dalam tuntutan Injil dan memiliki relasi pribadi dengan Tuhannya. Artinya, beriman tidak dapat dilepaskan dari tuntutan keadilan.

Injil hari ini memberi kita semangat dan efektivitas dalam perjalanan dan perkembangan bersama sebagai Gereja-Nya.

Yesus berkata, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, disitu Aku ada di tengah-tengah mereka.” ay 20.

Kalau bisa, jangan menegur

Kendati di dalam Injil Yesus bicara soal “menegur”, tapi judul yang tertulis tentang “menasihati”.

Menaseihati tidak selalu dengan menegur.

Menegur bermakna seseorang merasa benar menurut versinya. Ia memberi penilaian. Kalau tidak hati-hati, orang bisa menjadi hakim. Bukan penyalur rahmat bagi sesama. Kebiasaan menegur bisa membahayakan kesatuan iman dan ikatan persaudaraan dalam Gereja.

Kalau tindakan menegur harus dilakukan, dengan motivasi baik sekalipun, orang mesti menyadari bahwa tidak ada yang sempurna. Setiap pribadi kemungkinan mempunyai motivasi-motivasi tersembunyi.

Ia tidak  bebas kepentingan. Kenetralan bisa dipertanyakan.

Kembali pada keluarga

Saya ingat pada sebuah keluarga.

Keluarga ini terlihat baik, rukun. Mereka selalu datang ke gereja bersama. Suami-isteri ini selalu bergandengan; sementara dua anaknya digandeng sebelah kiri dan kanan masing-masing seorang.

Mereka pun duduk di bangku yang sama.

Kebetulan mereka aktivis paroki. Tugas pelayan dikerjakan dengan tekun. Hadir dalam pertemuan bahkan terlibat dalam lingkungan. Anak-anak pun diajak ikut.

Mendengar dan menyadarkan

“Pi, tadi koko nakal. Dedek pinjam penghapus, koko lama minjamin. Terus lempar ke dede. Kena muka dede.”

“Betulkah ko?”

Ia diam saja.

“Duduk sini, dekat mami. Ada romo lo. Nggak  boleh bohong. Koko tadi ngelempar penghapus stip ke dede?”

“Abis dedenya ribut terus. Koko kan sedang pakai. Dedek teriak, nggak sabaran. Ya, koko jengkel jadinya. Koko kan lagi pake, terus koko lempar ke dede.”

“Apakah itu alasan yang dibenarkan?” kata papinya

Dia diam. Maminya nyahut, “Tuh Papi tanya. Kenapa nggak dijawab?”

“Abisnya dede duluan yang buat jengkel.”

Lagi, papinya berkata, “Apakah itu alasan yang bisa dibenarkan?”

“Dede kemana penghapusmu? Kok pinjam punya koko?”

“Enggak tahu mi. Ngak ada di kotak pensil. Kemarin, tinggal separuh. Yang separuh dede kasihkan ke teman. Dia minta. Kasihan mi.”

“Tapi apakah itu alasan untuk teriak?”

Mereka semua diam. Saya pun diam; mencoba menebak ke mana arah nasihat mereka mendidik anak-anak.

“Apakah mami papi pernah berteriak? Apakah mami papi mengajari kalian demikian?”

Tiba-tiba mereka menangis.

“Cukupkah dengan menangis?”

Si dede menghampiri kokonya, mengajak salaman. Si koko agak menyeringatkan  hidungnya, tapi menerima tangan dedenya.

“Tuh mi, pi, si koko, nyebelin.”

Tanpa sadar, saya tepuk tangan. Suasana pun cair.

Keluarga yang bahagia rukun dan damai sungkan membuat masalah, keonaran, keributan apa pun. Dan itu bisa dimulai dengan mendidik anak-anak berkarakter anak Tuhan.

Kiranya Bina Iman Anak dan Bina Iman Remaja bisa membantu orangtua dalam hal ini.

Tuhan, merajalah di dalam hati keluarga kami. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here