Karna di Sudut Makam Kota (2)

0
169 views
Ilustrasi: Mengajak para mama yang tengah hamil tua melakukan senam kesehatan kadang perlu dilakukan agar mengurangi risiko proses persalinan. Inilah yang dilakukan oleh suster biarawati KFS di Atsji, kawasan pedalaman Keuskupaan Agats di Papua. (Sr. Priska KFS)

REVA selalu merasa terusik bila mendengar kisah tentang korban KDRT dan penelantaran dalam keluarga. Ia selalu bersimpati dan tergerak untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk empati. Ia mendekati dan memeluk pundak temannya yang terhenti ceritanya karena ngondhok-ondhok, ada haru yang mengganjal di tenggorokan sehingga tak mampu berucap.

***

Larasati mengekor di belakang gadis belia itu dengan tangan yang mulai mendingin dan gemetar. Pintu lift pun terbuka, mereka berdua memasukinya dan menuju ke lantai delapan. Larasati berusaha menguatkan hati untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi beberapa saat lagi.

Sesampai di lantai delapan dan memasuki kantor itu, Bu Herna sudah menyambut Larasati di depan pintu.

”Laras, apa kabar, kok pucet? Ayo duduk dulu dan tak buatkan jasmine tea kesukaanmu,” sambutnya dan menuntun Larasati duduk di kursi panjang di ruang tamu kantor yang tertata apik.

Larasati melirik pintu ruang pimpinan yang tertutup rapat dan gelap yang menandakan beliau tidak ada di ruangannya.

”Laras,” sapa Bu Herna sambil menggenggam erat tangannya.

”Maaf, Bapak sedang keluar kota, tetapi info yang kamu butuhkan tentang suamimu, aku sudah diberi wewenang untuk menyampaikannya. Barusan aku akan meminta tolong front office untuk menghubungimu agar besok kamu datang ke sini, ternyata kamu sudah datang.  Kebetulan yang sudah diatur oleh alam semesta kelihatannya ya,” jelasnya dengan tetap menggenggam kedua tangan Larasati dengan erat.

”Minum dulu,” katanya sambil menyodorkan cangkir yang menguarkan aroma wangi melati.

”Boleh kumulai memberitahukan informasi tentang suamimu?,”  tanyanya.

Larasati meletakkan cangkir setelah diminum lima teguk yang hangatnya memenuhi mulut dan tenggorokannya. Ia hanya bisa mengangguk.

“Dua pekan lalu suamimu ketahuan berbuat mesum dengan Tina pada saat istirahat siang oleh bapak pimpinan,” jelasnya hati-hati.

“Beberapa teman sudah beberapa kali memergokinya, termasuk aku, tetapi mereka berdua malah mengancam dan menantang kami untuk melaporkan kepada atasan,” tambahnya sambil mengamati reaksi Larasati. L

arasati mendengarkannya dengan penuh perhatian dan berusaha untuk menahan reaksi atas informasi tersebut.

“Puncaknya dua pekan lalu, saat Bapak mendatangi ruang suamimu untuk meminta laporan bulanan,  mereka sedang berbuat mesum. Bapak sangat marah dan mengultimatum mereka berdua untuk meninggalkan kantor  dan memecatnya. Menurut informasi mereka berdua sekarang di Samarinda membuka usaha sejenis ini.”

Apakah dia meninggalkanmu tanpa berita?,” tanyanya pelan.

”Sepekan lalu, dia pergi dari rumah membawa mobil dan sebagian dokumen dan pakaian miliknya. Nomerku diblokir. Nina juga memblokirku,”  jelas Larasati.

“Apakah selama ini kamu tidak melihat gelagat yang mencurigakan antara suamimu dan Nina?” desaknya.

”Ada sih, tetapi aku positive thinking saja. Toh mereka memang kerja satu tim,” jawab Larasati sambil mengingat-ingat kedekatan suaminya dengan Nina yang memang agak genit dan hidupnya rumit.

Tetapi menyadari bahwa hubungan mereka sampai sejauh itu dan melanggar norma agama dan susila tidak terpikirkan olehnya.

***

Sebelum pulang Larasati mampir ke tempat praktik dr. Enggarjito, Sp.OG untuk mendaftar. Nanti sore ia akan memeriksakan dirinya. Begitu masuk rumah, matanya gelap, pusing, dan mual tak tertahankan.

Dengan dituntun Mbok Rah ia tertatih menuju sofa ruang tengah. Setelah meneguk jahe hangat setengah gelas, matanya mulai terang dan mualnya berkurang. Larasati berusaha merebahkan diri dan memutar ulang peristiwa yang dilaluinya sepanjang hari ini dan mundur sampai sepekan lalu. Dengan berusaha bernapas dengan pelan dan mata terpejam, akhirnya Larasati terlelap.

Naga dalam perutnya bergolak, membangunkan tidur nyenyaknya. Ternyata sudah pukul 16.00.  Larasati membuka tudung saji di meja makan. Sup dan perkedel kentang kesukaannya melambai-lambai minta pindah ke perutnya.

Perutnya pun menyambut dengan sorak gempita. Akhirnya ia mengambil piring, menyendok nasi hangat, mengguyurnya dua sendok sayur sup. Dengan segigit demi segigit perkedel kentang dan kornet, mereka berpindah ke dalam mulutnya. Kemudian entah berapa sendok telah berpindah, Ia pun kenyang.

Menuju kamar, Larasati mempersiapkan diri ke dokter. HP, dompet, agenda, kartu periksa sudah masuk ke dalam tasnya.

”Mau ke mana lagi Mbak?,” tanya Mbok Rah.

”Ke dokter,” jawab Larasati singkat.

“Dokter Sesti?,” lanjutnya.

”Bukan. Dokter kandungan.”

”Mbak hamil. Memang harus secepatnya periksa,” binar ceria mewarnai roman muka Mbok Rah.

”Omong apa sih Mbok?,” sanggahnya.

”Saya yakin. Mbak hamil. Periksalah. Hati-hati,” jawab Mbok Rah penuh keyakinan.

Selama perjalanan Larasati merenungkan keyakinan Mbok Rah atas kehamilannya. Dan mual mulai mengaduk perutnya. Larasati menghirup freshcare dan mengulum permen jahe. Mual pun mereda.

Namanya dipanggil. Larasati memasuki ruang praktik dokter.

Setelah memeriksa dengan sangat cermat, dengan wajah cerah dokter mengulurkan tangan memberi ucapan selamat, ”Selamat Sati, kau hamil.”

Larasati terdiam.  Ia jadi ingat peristiwa dua bulan lalu yang sangat menyakitkan. Suaminya memperkosanya. Larasati sock dan trauma. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri dan suaminya.

Sejak itu ia tidak mau lagi melayani suaminya dan  pindah kamar. Kekerasan seksual berupa perkosaan biasanya terjadi di ranah publik oleh pelaku yang tidak ada ikatan perkawinan. Tetapi secara tragis Larasati mengalaminya.

Sebagai relawan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, ternyata ia pun mengalami kekejian ini. Larasati diperlakukan sebagai objek yang bisa diperlakukan sekehendak hati suaminya tanpa peri kemanusiaan.

Dia adalah suaminya, mengapa melakukan perbuatan terkutuk seperti ini. Mengapa hal yang sangat menyakitkan itu membuahkan janin dalam perutnya. Apalagi sekarang dia raib, minggat entah ke mana. Larasati masih duduk terpaku di depan dokter.

Larasati tidak bisa menilai perasaannya. Tawar. Seperti robot bisu ia pulang ke rumah. Larasati merasa jijik dengan dia. Dirabanya perutnya yang mulai membuncit. Ah, anak ini tidak bersalah. Ia harus mengalah dengan rasa sakit ini. ”Jadilah anak yang kuat dan tabah ya Nak”, batinnya sambil mengelus perutnya yang mulai terasa ada denyut kehidupan.

***

Selesai Misa Jumat Pertama, Larasati melangkahkan kaki membuka pintu rumah. Terasa sepi.  Mbok Rah sudah dua tahun menghadap Tuhan. Clara Mentari Braviria telah mulai mengelola apotek setelah bulan lalu dikukuhkan sebagai apoteker, selain bekerja di sebuah rumah sakit swasta yang bereputasi di kota ini. Clara Mentari Braviria, S.Farm. Apt.

Grafir nama dalam kenangan pengukuhan apoteker milik puterinya, membuat hidup Larasati penuh kebanggakan dan layak membusungkan dada. Ia telah mengantarkan puterinya sampai akhir studi dan berencana menikah Desember nanti dengan pemuda yang pantas untuknya. Seperti doanya yang selalu dipintanya agar Bravi mendapatkan jodoh seiman dan sepadan.

Begitu membalikkan badan setelah mengunci pintu, ada suara mobil berhenti di depan rumah. Kembali diputarnya kunci dan dibukanya pintu. Ternyata ada ambulans. Siapa ini?

Seorang perawat turun dan menghampiri Larasati.

”Apakah betul ini rumah Ibu Maria Larasati, istri Bapak Yunus Karna  Sudirja?,” tanya petugas kesehatan yang tampak dari seragam yang dipakainya sambil membaca berkas yang dibawanya.

Larasati belum bisa menjawab. Apakah seorang lelaki yang meninggalkan isteri  selama lebih dari 25 tahun masih bisa dianggap sebagai suami? Secara de yure mereka memang masih suami istri, status dalam KTP-nya juga masih tertulis ”menikah”.

Dengan sabar petugas itu masih menunggu jawaban Larasati. Sirine ambulans itu pun sudah lama dimatikan.

”Maaf Ibu, kami mengantar jenazah Bapak Yunus Karna  Sudirja yang kami temukan tadi pagi di bandara dalam keadaan meninggal saat pulang dari Wuhan bersama seorang perempuan bernama Ibu Nina Nilawati. Keduanya terjangkit Covid-19. Ibu Nina sudah kami kirim ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso dalam keadaan tidak sadarkan diri.”

”Kena virus corona?,” tanya Larasati ketakutan.

“Betul, Bu,” jawab petugas itu.

“Bagaimana kalau dia menularkan kepada kami?,” tanya Larasati semakin ketakutan.

“Maaf Ibu, jenazah Bapak sudah kami rawat sesuai prosedur dan saat ini juga sudah disiapkan proses pemakamannya di makam kota. Kami hanya minta Ibu berkenan menandatangai surat ini saja,” jawab petugas itu sambil menyodorkan formulir yang tak terbaca dengan jelas.

Larasati masih ragu. Untung ada Ketua RT yang kemudian mendekatinya dan juga membubuhkan tanda tangannya sebagai saksi.  Hanya Pak RT yang ikut bersama petugas itu ke makam. Apalagi malam sudah menunjukkan pukul 21.00 dan hujan mulai menderas.

***

Pagi ini, Larasati bersama Bravi dengan diantar Pak RT meluncur ke makam Kota. Bulu kuduk Larasati berdiri. Ada takut karena suasana kuburan yang memang membekukan darah bagi para penakut, juga cara kematian bapaknya Bravi.

Bolehkah dikatakan bapaknya Bravi? Dia memang bapaknya Bravi. Nama itu tercantum dalam akte kelahiran dan ijazah milik Bravi. Secara yuridis formal mereka masih terikat hubungan suami isteri dan Bravi adalah anak mereka berdua. 

Dengan batin yang bergolak secara beriringan mereka mengikuti Pak RT. Gerbang utama dimasukinya, semakin ke dalam tangan Bravi menggenggam erat lengannya.

Ketakutan Bravi mengimbas kepadanya. Ternyata di sudut timur  bagian selatan yang agak jauh, tempat para orang tak dikenal dan korban kecelakaan atau pembunuhan yang tak ditemukan keluarganya dimakamkan. Lebih jauh lagi dari makam orang tak dikenal itu terlihat kuburan baru tanpa bunga.

Setelah lebih dekat mereka melihat  nisan dari batu dengan tertulis nama “Yunus Karna  Sudirja” meninggal 7 Maret 2020, tak tercantum tanggal lahirnya.

Larasati menatap wajah Bravi tanpa ekspresi. Bravi tidak pernah melihat dan tidak akan pernah dapat melihat wajah bapaknya, bahkan sekali pun semalam dia sudah pulang, tentu tidak akan peti dibuka demi anak ini bisa melihat wajah bapaknya untuk yang pertama dan terakhir.

Menyedihkan juga meninggal tanpa iringan doa, taburan bunga, dan kehadiran para pelayat dan kerabat. Semoga ia beristirahat dengan tenang. Larasati mencoba untuk memaafkannya, agar damailah kepulangannya ke hadapan Allah. (Selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here