Minggu. Hari Minggu Palma (M)
- Bacaan Perarakan Mat. 21:1-11
- Yes. 50:4-7
- Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24
- Flp. 2:6-11
- Mat. 26:14-27:66 atau Mat. 27:11-54
Lectio (Mat. 26:14-27:66 atau Mat. 27:11-54)
Meditatio-Exegese
Lihat, Rajamu datang kepadamu
Yesus pergi ke Yerusalem dengan kesadaran penuh akan apa yang akan dialami-Nya: pengkhianatan, penolakan dan penyaliban. Namun, sementara orang akan menyambut-Nya sebagai Raja.
Mereka tidak menyadari dampak yang akan mereka tanggung jika Mesias, sang raja yang mereka rindukan datang untuk menegakkan kerajaan-Nya. Dan, ternyata, ketika Ia memasuki Yerusalem, Ia tidak masuk seperti pahlawan perang, penakluk, hakim agung, imam agung atau pangeran yang gagah perkasa.
Ia memasuki Kota Sion mengendarai seekor keledai, bukan kuda atau kereta. Seolah-olah Ia memperolok-olok apa yang diperebutkan manusia sepanjang sejarah –cupiditas possendi, kerakusan akan harta milik, cupiditas serviendi, kerakusan akan pelayanan, cupiditas imperandi, kerakusan akan kekuasaan (bdk. Mat. 4:1-11; Luk. 4:1-13).
Keledai mejadi tanda, semeion, damai sejahtera. Ia masuk kota suci dengan rendah hati dan lemah lembut. Tanda ini rupanya dilupakan mereka yang menentang Yesus. Kelak, di kayu salib, saat Ia ditinggikan, dan dibangkitkan, Ia mengalahkan seluruh kerakusan kuasa setani dan menganugerahkan damai sejahtera.
Yesus memenuhi nubuat Nabi Zakharia: “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.” (Za. 9:9).
Santo Agustinus, Uskup Hippo, 354-430, menulis, “Guru kerendahan hati adalah Kristus yang merendahkan diriNya sendiri dan menjadi taat, bahkan sampai mati, walau mati di kayu salib. Maka, Ia tidak pernah kehilangan ke-Ilahi-an-Nya ketika Ia mengajar pada kita tentang kerendahan hati …
Betapa agungnya ketika Sang Raja segala masa menjadi Raja atas umat manusia! Kristus bukan raja Israel, maka Ia tak mungkin menarik pajak dan melengkapi pasukan dengan peralatan perang dan mengalahkan musuh di depan mata.
Ia adalah Raja Israel yang menguasai hati nurani, agar Ia mampu menjadi penasihat selamanya. Supaya Ia memandu memasuki Kerajaan Surga bagi mereka yang mempercayai, mengharapkan dan mengasihi-Nya.
Ia mengosongkan diri untuk menjadi Raja Israel, bukan menuntut, karena Ia adalah Anak Allah, sehakikat dengan Bapa, Sang Sabda yang melalui-Nya segalanya diciptakan. Pengosongan diri-Nya menjadi tanda belas kasih, bukan tuntutan atas kekuasaan.” (Tractates on John 51.3-4).
Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya
Dari jam dua belas di tengah hari hingga jam tiga sore, kegelapan menyelimuti bumi. Alam pun bersedih atas kematian Yesus! Tergantung di salib, ratapan yang keluar dari bibirNya, “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 26:46).
Yesus menyerahkan nyawa seraya berdoa. Ia mengungkapkan perasaan hati-Nya yang seolah-olah ditinggalkan Allah, seperti diungkapkan pemazmur, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Mzm. 22:1).
Ia berdoa dalam bahasa ibu, Aram. Beberapa orang dan prajurit Romawi yang di bawah salib berkata, “Ia memanggil Elia”. Mereka adalah prajurit bayaran dan harus mempertaruhkan nyawa untuk Kekaisaran Romawi.
Mereka berasal dari bangsa bukan Yahudi dan tidak tahu bahasa yang digunakan orang Yahudi. Mereka mengira bahwa Eli sama dengan Elia.
Tergantung di kayu salib, Yesus merasa kosong. Santo Paulus menggunakan ungkapan εκενωσεν, ekenosen, dari kata ekenosis, mengosongkan (Flp. 2:7). Ia benar-benar mengalami kehampaan dan ditinggalkan.
Yudas Iskariot mengkhianatiNya. Petrus menyangkal-Nya. Para murid melarikan diri. Para perempuan yang mengikuti-Nya dari Galilea hanya berdiri dan menyaksikan dari jauh (Mat. 26:55). Para penguasa mencibir-Nya. Orang yang lewat mengolok-olok-Nya. Terlebih, Allah sendiri seolah meninggalkan-Nya.
Kata-kata-Nya hanya ditelan angin siang itu. Nubuat Nabi Yesaya merangkum derita Yesus, “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yes. 50:6).
Kematian-Nya menjadi satu-satunya cara yang Ia pilih untuk mencurahkan belas kasih kepada para saudara-saudari-Nya dan menebus mereka dari kuasa dosa dan maut. Sabda-Nya, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat. 20:28).
Ia berseru dengan suara nyaring dan menyerahkan nyawa-Nya. Ia mati dan melepaskan jeritan kaum miskin, karena Ia tahu bahwa Allah memperhatikan jeritan kaum miskin (Kel. 2:24; 3:7; 22:22.26, dst.). Penuh keyakinan karena Allah memperhatikan jeritan kaum miskin, Ia memasuki gerbang kematian.
Surat kepada Jemaat Ibrani menulis, “Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.” (Ibr. 5:7). Allah mendengarkan seruan dan “meninggikan Dia” (Flp. 2:9).
Kebangkitan-Nya merupakan jawaban Allah atas doa dan persembahan Yesus. Melalui kebangkitan Yesus, Anak-Nya yang tunggal, Bapa mewartakan kepada dunia Kabar Suka Cita ini.
Mereka yang hidup, melayani saudara dan saudari mereka, seperti Yesus, selalu menang atas kuasa dosa dan maut dan akan dianugerahi hidup abadi, bahkan jika mereka mati atau dibunuh sekalipun. Kabar Gembira ini lahir dari salib.
Golgota: Tempat Tengkorak
Di Golgota, tiap murid dihadapkan pada Anak Manusia, yang disiksa, disingkirkan dari komunitas, dihukum sebagai penghujat dan pemberontak oleh penguasa negara, militer dan agama.
Di kaki salib, mereka menghina dan merendahkan Yesus, “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan. Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya.
Ia menaruh harapan-Nya pada Allah: baiklah Allah menyelamatkan Dia, jikalau Allah berkenan kepada-Nya! Karena Ia telah berkata: Aku adalah Anak Allah.” (Mat. 27:41-43).
Tetapi, ketika saat kematian-Nya datang, terjadilah perputaran roda sejarah keselamatan. Dunia yang nyaris kalah oleh dosa dan maut diubah.
Identitas Yesus yang sejati disingkapkan justru oleh seorang prajurit bayaran dari bangsa asing, bukan Yahudi, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!” (Mat. 27:54).
Maka, jika tiap murid-Nya mau berjumpa dengan dengan Anak Allah, janganlah mencari-Nya jauh di langit, atau di Bait Allah yang tirainya telah dikoyakkan. Tetapi carilah Dia, karena Ia dekat dengan pribadi masing-masing, pada diri mereka yang disingkirkan, dianiaya, terpuruk dan yang membela bumi dari kehancuran (bdk. Mat. 25:40).
Carilah Dia di antara mereka, yang seperti Yesus, menyerahkan hidup untuk para saudara dan saudari. Di antara merekalah Citra Allah ditemukan. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13).
Saat menemukan melayani Yesus di antara yang disingkirkan, dianiaya, terpuruk dan yang membela bumi dari kehancuran, para murid-Nya pantas bersaksi (Mat. 27:54), “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”, Vere Dei Filius erat iste.
Katekese
Mengikuti Kristus. Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430 :
“Datang dan ikutlah Aku,” firman Tuhan. Apakah kamu mengasihi? Ia telah bergegas, bahkan Ia telah terbang mendahului. Lihat dan dan temukan di mana. Hai orang Kristiani, tidakkah kalian tahu ke mana Tuhanmu pergi?
Aku bertanya pada kalian: Tidakkah kalian inging mengikuti-Nya ke sana? Melalui pengadilan, penghinaan, salib dan kematian. Mengapa kalian tidak bergegas? Lihat, jalan itu telah ditunjukan kepada kalian.” (Sermon 64,5)
Oratio-Missio
Tuhan, jadilah Raja dan Penguasa hati, budi dan hidupku. Semoga hidupku mencerminkan Hati-Mu yang lembut dan rendah hati, agar Engkau dihormati sebagai Raja yang mulia. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk mengenali, menemukan dan melayani-Nya di antara para korban bencana atau kebiadaban?
Vere Dei Filius erat iste! – Matthaeum 27:54