Lectio Divina 11.04.2021 – Percaya, Sehati, Sejiwa

0
384 views
Thomas yang tidak percaya, by Caravaggio, c. 1602

Minggu. Pekan Paskah II (P). Minggu Kerahiman Ilahi

  • Kis.4:32-35.
  • Mzm.118:2-4.16ab-18.22-24.
  • 1Yoh.5:1-6.
  • Yoh.20:19-31.

Lectio – Yoh. 20:19-31

Meditatio-Exegese

Sehati dan sejiwa, cor et anima una

Disajikan model kedua dari tiga cara hidup jemaat Gereja Perdana (Kis 2:42-47; 5:12-16). Pada bagian pertama dikisahkan tentang hidup jemaat yang berpusat pada pengajaran para Rasul dan liturgi Ekaristi (Kis. 2:42).

Pada bagian ketiga disajikan penghormatan yang mereka terima dari jemaat lain atas peri hidup yang suci,  kesediaan untuk mengulurkan tangan bagi yang sakit dari segala golongan dan perkembangan jemaat dalam jumlah (Kis. 5:12-16).

Pada model kedua, jemaat mengembangkan tata cara pembagian sumbangan dari anggota yang berpunya untuk memenuhi kebutuhan hidup di antara anggota yang miskin (Kis 2:44; 4:32-37).

Santo Lukas mengisahkan bahwa jemaat hidup dengan cara menghayati pengajaran Yesus akan Sabda Bahagia (Luk 6:20-26).

Yesus mengajar bahwa orang kaya yang gagal membantu kaum miskin melalui kekayaan yang dimilikinya, pasti,  berhadapan dengan pengadilan ilahi. Tidak pernaj dilukiskan jemaat yang takut menghadapi pengadilan itu.

Tetapi penulis Injil dan Kisah menampilkan jemaat yang dengan rela hati dan suka rela mengulurkan bantuan, karena mereka diselamatkan oleh Yesus Kristus.

Contoh yang inspiratif ditunjukkan oleh Yusuf atau Barnabas, anak penghiburan. Ia dengan suka rela menjual ladangnya dan meletakkan hasil penjualan itu di depan kaki para Rasul.

Sedangkan para penipu, pasti, berhadapan dengan pengadilan Tuhan, seperti dialami Ananias dan Safira (Kis 5:1-11).

Santo Lukas menggunakan ungkapan  η καρδια και η ψυχη μια, he kardia kai he psyche mia, cor et anima una, sehati dan sejiwa.

Dalam Perjanjian Lama, ungkapan ψυχη μια, psyche mia, hanya digunakan satu kali dalam terjemahan Septuaginta (1Taw. 12:38), dengan terjemahan Vulgata uno corde, dengan bulat hati (Terjemahan Baru, 1974).

Tetapi, ungkapan hati dan jiwa sering digunakan dalam Perjanjian Lama. Dalam perintah untuk mengasihi Allah atau dikenal dengan Shema, Israel, ‘Dengarlah, hai orang Israel’, tiap orang diminta untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan segenap jiwa, ex toto corde et ex tota anima.

”Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:4-5; lihat juga : Ul. 10:12; 11:13, dst.).

Mengasihi Allah dengan segenap hati dan segenap jiwa harus nyata dalam bentuk yang konkrit.

Santo Yohanes mengingatkan, “Jikalau seorang berkata, “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20) 

Sekali-kali aku tidak akan percaya

Thomas yang kita kenal adalah pribadi pemberani dan mengasihi Yesus. Ia bahkan mengajak teman-temannya mati bersama Yesus. “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia.” (Yoh. 11:16).

Tetapi, cintanya musnah ketika menyaksikan Yesus disiksa dan dibunuh di kayu salib. Setelah kematian-Nya, Thomas lari. Ia memilih kesepian dari pada saling menyatukan hati untuk keluar dari kesedihan.

Ia juga menolak kesaksian para perempuan dan rasul lain yang menyaksikan Yesus yang bangkit. Katanya (Yoh. 20:25), “aku tidak akan percaya.”, Non credam.

Sehari setelah Sabat, dies Domini, Hari Tuhan (Why. 1:10), Yesus mengatasi semua hukum alam dan hadir di rumah yang tertutup dan terkunci rapat.

Setelah menyapa secara khas, “Damai sejahtera bagi kamu.” (Yoh. 20:26), Ia menunjukkan kedua tangan dan lambung-Nya yang bisa diraba bahwa Ia sungguh disalib.

Rincian luka-luka tusukan tombak prajurit Romawi hanya dilaporkan Santo Yohanes. Sedangkan Santo Lukas hanya menyebut luka di tangan dan kaki Yesus (Luk. 24:39).

Dengan menunjukkan luka-luka-Nya, Yesus hendak menyingkapkan bahwa damai sejati selalu berasal dari salib (2Tim. 2:1-13). Dan luka-luka-Nya menjadi tanda pengenal Anak Domba yang telah bangkit (Why. 5:6).

Mengetahui keinginan Thomas, Yesus membantunya dengan mengulang kata-kata Thomas, “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.” (Yoh. 20:27).

Yesus mengenal Thomas dan membantunya merasakan damai sejati yang didapat dari iman. Maka, Yesus menumbuhkan iman padanya.

“Ya Tuhanku dan Allahku!”, Dominus meus et Deus meus! (Yoh 20:28) menjadi pengakuan iman otentik akan Yesus yang bangkit. Pengakuan iman ini menggemakan keilahian-Nya yang diwartakan dalam pembukaan Injil Yohanes (Yoh. 1:1).

Dalam Perjanjian Lama ungkapan ‘Tuhan’ dan ‘Allah’ digunakan bergantian untuk ‘Yahwe’ dan ‘Elohim’.

Sang pemazmur bermadah, “… ya Allahku dan Tuhanku … ya Allahku dan Tuhanku.” (Mzm. 35:23-24; Why. 4:11). 

Ungkapanini bukan merupakan koreksi atas tuduhan orang Yahudi bahwa Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah (Yoh. 5:18).

Ungkapan iman alkitabiah ini merupakan rumusan otentik Gereja Perdana akan keilahian Yesus.  

Santo Gregorius Agung, 540-604, mengajarkan tentang sikap Tomas, “Bukanlah suatu kebetulan bahwa seorang murid tidak hadir di rumah itu.

Belas kasih ilahi mengarahkan murid yang tidak percaya, dengan menyentuh luka-luka Sang Guru, menyembuhkan luka-luka karena ketidakpercayaannya.

Ketidak percayaan Thomas sangat bermanfaat bagi iman kita dari pada iman para murid lain. Karena melalui sentuhan yang mengantarkannya untuk percaya, budi kita dituntun untuk percara, jauh melampaui semua tanya.” (dikutip dari Forty Gospel Homilies 26 ).

Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni

Allah mengungkapkan kasih dan belas kasih-Nya secara paling murni melalui  Sakramen Pengampunan. Yesus mengungkapkan perasaan Allah yang paling halus melalui perumpamaan tentang anak yang hilang (lihat Luk. 15:11-32).

Tuhan selalu menanti-nantikan manusia, dengan tangan terbuka selebar-lebarnya, menanti-nantikan manusia untuk bertobat. Kemudian Ia mengampuni dan memulihkan martabat manusia untuk kembali menjadi anak-anak-Nya.

Para paus selalu mengajak umat beriman untuk secara suka rela menerima Sakramen Rekonsiliasi.

Paus Pius XII mengajarkan, “Agar kita terus menerus maju dalam penghayatan nilai Injili, kami sangat menganjurkan praktik suci, yakni: sesering mungkin menerima Sakramen Tobat, yang diselenggarakan Gereja dengan bimbingan Roh Kudus.

Melalui cara ini kita tumbuh dalam pengenalan akan diri sendiri dan menjadi pribadi Kristiani yang rendah hati. Kebiasaan buruk dicabut. Sikap abai dan lalai akan hidup rohani dihindarkan.

Suara batin dimurnikan dan kehendak bebas dikuatkan; bimbingan rohani yang benar didapatkan; dan rahmat dicurahkan melalui penerimaan Sakramen itu sendiri” (dikutip dari Mystici Corporis).

Pertobatan juga mencakup pertobatan ekologis. Setiap anggota umat Allah ambil bagian dalam penyelamatan dan pemulihan ekologi. Bapa Suci Fransiskus mendesak, “Padang gurun eksternal di dunia sedang meluas, karena gurun-gurun internal telah menjadi begitu luas. Karena itu, krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam.

Tetapi kita juga harus mengakui bahwa beberapa orang Kristen, yang berkomitmen dan berdoa, cenderung meremehkan ungkapan kepedulian terhadap lingkungan, dengan alasan realisme dan pragmatisme. Orang lain tinggal pasif. Mereka memilih untuk tidak mengubah kebiasaan mereka dan dengan demikian menjadi tidak konsisten.

Jadi, apa yang mereka semua butuhkan adalah pertobatan ekologis, yang berarti membiarkan seluruh buah dari pertemuan mereka dengan Yesus Kristus berkembang dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka.

Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh. Dan bukan sebuah opsi atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani.” (dikutip dari Ensiklik Laudato Si, 217).

Maka, setiap anggota Gereja mau tidak mau harus ambil bagian dalam menyelamatkan ekologi yang dirusaknya sendiri, mulai dari kegiatan pribadi hingga terlibat  dalam gerakan berjejering global. Mulai saja dengan 3 R dalam mengelola sampah (recycle-mendaur ulang, reuse-menggunakan kembali dan reduce-mengurangi). 

Katekese

Pendidikan Untuk Perjanjian Antara Manusia Dan Lingkungan. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936 – sekarang

“Sangatlah mulia bila kewajiban untuk memelihara ciptaan dilakukan melalui tindakan kecil sehari-hari, dan sangat indah bila pendidikan lingkungan mampu mendorong orang untuk menjadikannya suatu gaya hidup.

Pendidikan dalam tanggung jawab ekologis dapat mendorong berbagai perilaku yang memiliki dampak langsung dan signifikan untuk pelestarian lingkungan.

Kita sebut beberapa contoh: menghindari penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air, pemilahan sampah, memasak secukupnya saja untuk kita makan, memperlakukan makhluk hidup lain dengan baik, menggunakan transportasi umum atau satu kendaraan bersama dengan beberapa orang lain, menanam pohon, mematikan lampu yang tidak perlu.

Semuanya itu adalah bagian dari suatu kreativitas yang layak dan murah hati, yang mengungkapkan hal terbaik dari manusia. Menggunakan kembali sesuatu daripada segera membuangnya, karena terdorong oleh motivasi mendalam, dapat menjadi tindakan kasih yang mengungkapkan martabat kita” (dikutip dari Ensiklik Laudato Si, 211)

Oratio-Missio

  • Tuhan, melalu kemenanganMu atas dosa dan maut, Engkau menghancurkan seluruh kuasa dosa dan kegelapan. Bantulah aku untuk selalu dekat padaMu dan percaya pada sabdaMu. Amin.
  • Apa yang kulakukan untuk mewujud-nyatakan imanku?

Respondit Thomas et dixit ei, “Dominus meus et Deus meus!” – Ioannem  20:28   

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here