“No Cross No Crown”

0
18,199 views

PERIBAHASA Inggris, “no pain, no gain” dan “no cross no crown” memiliki makna yang mendalam bagi kehidupan kita.

Untuk mendapatkan kesuksesan memang orang tidak boleh berpangku tangan, melainkan harus bekerja dan berjuang bahkan harus disertai dengan penderitaan.

Di Yunani kuno, istilah untuk pertandingan adalah agoon. Dan untuk memenangkan sebuah pertandingan perlu latihan dan kerja berat. Dari situlah maka muncul kata agony  yang dalam bahasa Inggris berarti penderitaan.
Dengan demikian, peribahasa yang berbunyi, “berakit-rakit dulu, berenang ke tepian” mendapatkan artinya di sana.

William Shakespeare ( 1564  – 1616) dalam Julius Caesar menerangkan makna mahkota. Ketika Julius Caesar (100 – 44 SM) dinobatkan menjadi kaisar seumur hidup, dia melemparkan mahkotanya kepada rakyat. Markus Antonius  (82 – 30 SM), orang kepercayaannya menjunjung tinggi di depan Julius Caesar yang sudah menjadi mayat itu dengan pidatonya yang masyur.

Katanya, “Kalian semua melihat bagaimana aku di Lupercal sampai tiga kali menawarkan mahkota kepadanya dan tiga kali pula ia tolak. Apa ini gila kekuasaan?” Rupanya Julius Caesar hendak membuktikan bahwa kekaisaran Roma yang saat itu  maju itu dibutuhkan kerja keras.

Tragedi Machbath
Tetapi banyak kejadian dan peristiwa yang ingin mendapatkan mahkota tanpa penderitaan akan berakhir dengan penderitaan. Drama tragedi karangan  William Shakespeare yang berjudul, Machbath melukiskan bagaimana si Machbath atas bujukan istrinya, membunuh Sang Raja, hanya karena menginginkan mahkota dan supaya cepat dilantik menjadi raja.

Tetapi selama hidupnya, Machbath dihantui dengan pembunuhan keji yang telah dia lakukan. Memang yang namanya perebutan mahkota itu selalu saja menghasilkan suatu korban.

Sede vacante, tahta lowong, bagi suatu kerajaan memang merupakan malapetaka. Ketika Rama dan Sinta dalam Anak Bajang Menggiring Angin tulisan Sindhunata, diusir oleh Dewi Kaikeyi, maka terjadilah tahta lowong, putra mahkota yang menjadi idaman seluruh rakyat Ayodya harus mengembara di hutan Dandaka selama 14 tahun.

Maka terciptalah puisi indah, Tanpa raja, sebuah negara pasti musnah/ Tanpa raja, panenan tak akan dituai/tanpa raja anak akan melawan orang tua/ tanpa raja, kejahatan akan merajalela// Dalam hal ini, maka kedudukan seorang pemimpin sangat mutlak.

Tapi yang namanya manusia itu dalam mencapai kemuliaan tidak jarang menggunakan mental instan (sekali jadi). Dalam dunia perpolitikan kita kenal  money politic  atau politisi busuk. Dalam dunia bisnis ada ungkapan uang pelicin  dan nepotisme  ketika hendak mencari pekerjaan. Dunia pendidikan sempat dihebohkan karena adanya kebiasaan menyontek atau plagiat skripsi maupun tesis.

Dalam mencari kedudukan, seseorang tidak mau menempuh jalan yang panjang dan berliku-liku, seperti yang pernah dinyanyikan oleh Iwan Fals dengan judul, “Jalan Panjang yang berliku”.

Liriknya: Jalan panjang yang berliku / jalan lusuh dan berbatu / Namun kuharus mampu menempuh / bersama beban di batinku //.

Mudah didapat tapi tak memuaskan
Saya sendiri meyakini bahwa apa yang kita dapatkan dengan mudah hasilnyapun tidak akan memuaskan. Maka dalam membangun hidup berkeluarga pun ada masa untuk pacaran yakni masa saling mengenal dan menjajagi satu dengan yang lain. Kalau satu hari kenalan dan langsung mau dihadapkan pada Sang Penghulu untuk dinikahkan, tentu saja akan mengalami kesulitan di kemudian hari.

Seorang mahasiswa yang hanya belajar satu malam saja menjelang ujian tentu saja berbeda dengan seorang mahasiswa yang dengan setia belajar dari hari ke hari untuk menghadapi ujian. Dalam arti ini, persiapan batin sangat diperlukan untuk menghadapi dunia yang penuh dengan pergolakan. Bukankah untuk mendapatkan mahkota, seseorang harus bersih hatinya supaya tidak tercemar dengan pengaruh-pengaruh yang tidak baik.

Perlu berproses
Untuk mencapai mahkota kemuliaan, seseorang perlu berproses yakni mengundurkan diri dan mengolah batinnya. Ketika Musa mendapatkan tugas dari Allah, maka Musa sengaja menyendiri, retret di padang gurun (Kel 2: 15 – 20).

Tatkala Paulus mendapatkan penampakan Yesus di Damaskus, maka Paulus pergi ke tanah Arab untuk menyepi, retret  (Gal 1: 17). Sewaktu Yesus hendak memulai karya-Nya, Ia menyendiri, retret di padang gurun selama 40 hari lamanya (Mrk 1: 12).  Karen Armstrong dalam Muhammad sang Nabi  menulis bahwa Muhammad  tinggal di gunung Hira di lembah Mekkah untuk melakukan semacam retret (menyepi).

Ini merupakan kebiasaan umum di jazirah Arab pada saat itu. Muhammad mengisi waktu sebulan itu pada bulan Ramadhan dengan ibadah dan memberi sedekah  kepada kaum miskin.

Ternyata untuk mendapatkan sesuatu yang berharga kita perlu mengundurkan diri untuk menimba kekuatan dari dalam diri, karena buah-buah karya yang baik itu tidak datang dari langit.

Olimpiade pertama (776  SM) yang diselenggarakan untuk menghormati para pahlawan itu, para pemenangnya diberi mahkota daun salam yang disebut dengan laurel.  Seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara, apabila ia bertanding menurut peraturan-peraturan olahraga (2 Tim 2: 5).

Ini berarti usahanya selama berlatih itu tidak sia-sia. Memang, segala sesuatu yang kita kerjakan itu tentu akan menghasilkan buah. Dan untuk menghasilkan sesuatu yang optimal itu perlu waktu.  Seperti ungkapan dalam bahasa Inggris menyebutkan, “Rome was not built in one day” yang artinya, kota Roma tidak selesai dibangun dalam satu hari.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here