BEGITU pintu Katedral Santa Maria delle Grazie yang terbuat dari kayu tebal saya buka, terdengarlah alunan merdu lagu Salve Regina. Lagu itu dinyanyikan para suster rubiah.
Salve, Regina, mater misericordiae: Vita, dulcedo, et spes nostra, salve. Ad te clamamus, exsules, filii Hevae. Ad te suspiramus, gementes et flentes In hac lacrimarum valle.
(Salam ya ratu,bunda yang berbelas kasih,
hidup, hiburan, dan harapan kami,
dengarkan kami, anak Hawa yang terbuang
Bunda,perhatikan keluh kesah kami dalam lembah duka ini).
“Lagu itu kami nyanyikan khusus untuk menyambut bapak,” kata seorang rubiah, Sr. Anastasia.
Kemarin, kami ke Orte, mengunjungi para rubiah dari Ordo Benediktin. Selain bersilaturahim dengan mereka yang mayoritas berasal dari Indonesia, juga untuk membuka “Warung Konsuler.”
Lewat “Warung Konsuler”, kami memberikan pelayanan kekonsuleran, seperti pemutakhiran data WNI, urusan paspor termasuk perpanjangan paspor, penggantian paspor hilang dan rusak.
Mereka tinggal di Monestero Santa Maria delle Grazie yang artinya Biara Santa Maria Pembawa Berkat.
Ordo Benediktin–Ordo Sancti Benedicti atau Ordo Santo Benediktus (OSB)–didirikan sekitar tahun 529 oleh Santo Benekdiktus.
Mereka menjalani cara hidup monastik. Banyak agama, selain Kristen, yang memiliki unsur-unsur monastisisme. Misalnya, agama Buddha, agama Hindu, dan agama Jaina. Meskipun wujudnya berbeda-beda.
Monastisisme adalah fenomena di seluruh dunia: kita menemukan rahib dan rubiah,
biksu dan biksuni, pertapa Hindu, pertapa Tao Cina, dan persaudaraan Sufi.
Monastisisme Kristiani merupakan suatu jalan hidup rohani (yang juga disebut “jalan penyempurnaan”) yang disambut sebagai sebuah panggilan Allah dari keinginan untuk beroleh kehidupan kekal dalam hadirat-Nya.
Ke Monestero Santa Maria delle Grazie di Orte, kami menemui mereka. Di biara itu ada 15 rubiah asal Indonesia: dari Flores, Timor, dan Ende.
Hujan deras disertai angin turun dan sekali gelegar guntur terdengar ketika kami memasuki Orte kota tua namun indah, sekitar 65 km utara Roma.
Biara itu–dibangun pada sekitar tahun 1300–berdiri kokoh di atas Bukit Mikhael. Orte adalah kota yang sudah melintasi zaman berbeda-beda. Bahkan, zaman sebelum Masehi. Karena kota yang berada di wilayah perbukitan ini sudah didiami orang sejak abad ke-6 SM berada.
Orte kota tua yang indah. Gereja-gereja tua menghiasi kota. Bangunan-bangunan gereja tua yang megah itu, tidak hanya berdiri gagah di puncak-puncak bukit tetapi juga tepi Sungai Tiber yang mengalir tenang di sisi timur kota.
Kota cantik yang menyimpan banyak sejarah peradaban manusia ini, berdiri di atas tebing seperti memperhatikan Sungai Tiber yang mengalir di bawahnya.
Kata sejarah, dulu kala kota yang sekarang masuk wilayah Lazio Utara, Propinsi Viterbo ini, bernama Hurta atau Hotanum.
Di kota ini, dahulu kala, hidup orang-orang Etruria yang mengembangkan peradaban Etruscan. Kini jejak peradaban itu tertinggal di Orte. Juga peradaban Romawi (Barat), Bizantium (Romawi Timur), Lombardia, bahkan Arab pada masa Renaisans.
Orang-orang Yunani kuno menyebut mereka orang-orang Tyrrhenia. Karena mereka pelaut-pelaut ulung, maka kemudian ada laut yang disebut Laut Tyrrhenia.
Laut Tyrrhenian yang dalam bahasa Itali disebut Mare Tirreno adalah bagian dari Laut Mediterania, yang membentang antara pantai barat Italia dan Pulau Corsica, Sardinia dan Sicilia.
Kata Carmen Leitch (2021), sejarawan Roma, Herodotus dan Hellanicus dari Lesbos, berpendapat bahwa orang-orang Etruria itu berasal dari Anatolia atau Asia Kecil dan wilayah Aegea. Sebagian besar wilayah itu kini masuk Turki.
Tapi, teori lain mengatakan, mereka adalah penduduk asli Italia tengah. Bahkan, laporan dalam The Science Advances (Vol.7, Issue 39, 2021), mengungkapkan, mereka memiliki profil genetik yang sama dengan orang Latin yang hidup di Roma.
Setelah bertemu dengan para rubiah, saya ingat akan kata-kata bijak lama: Audi, vede, e tace, si vis vivere in pace. Yang artinya: dengar, lihat dan diam, jika ingin hidup damai.
Begitulah para rubiah Benediktin. Mereka memegang teguh motto Konfederasi Benediktin yakni pax (perdamaian), dan ora et labora (berdoa dan berkarya).
Mereka menghayati hidup seperti itu dengan sepenuh hati, sepenuh pikiran, dan penuh kegembiraan.
Sebab bagi mereka, kehidupan membiara adalah “hidup bhakti.” Para rubiah memelihara hidup yang tidak terbagi kepada Kristus dalam pelayanan kepada sesama lewat doa dan karya, ora et labora, demi perdamaian, demi membangun hidup damai dengan sesama, dengan lingkungan.
Mereka menghidupi keheningan dalam hidup harian.
Dalam tradisi Benediktin, kehidupan religius secara mendasar adalah bersifat sosial. Oleh karena itu, dalam komunitas, mereka bekerja dan berdoa bersama, memiliki segala sesuatunya secara bersama.
Baca juga: Sparyacus Capua