Pasrah

0
375 views
Ilustrasi -(Ist)

Renungan Harian
Selasa, 1 Maret 2022
Bacaan I: 1Ptr. 1: 10-16
Injil: Mrk. 10: 28-31
 
ROMO, kalau orang memandang hidup perkawinan kami, seolah-olah kehidupan keluarga kami ini ayem tentrem, damai dan sejahtera; padahal apa yang sesungguhnya terjadi tidak seperti yang dilihat orang.

Kehidupan perkawinan kami sungguh-sungguh diwarnai dengan pergulatan luar biasa. Ada begitu banyak “pertengkaran” dan tindakan yang saling melukai atau sebetulnya lebih tepat saya melukai isteri saya “hanya” untuk bisa mengerti dan menerima.
 
Romo bisa membayangkan, saya orang Jawa tulen maksudnya saya lahir dari keluarga Jawa dan dididik dengan tradisi Jawa sedangkan isteri adalah keturunan Tionghoa dan dididik dengan tradisi Tionghoa.

Dari sisi itu sudah banyak perbedaan yang menghasilkan gesekan dan benturan. Gesekan dan benturan menjadi lebih hebat karena saya mengalami pendidikan Seminari dan pendidikan sebagai frater Jesuit.

Maaf saya tidak mengatakan bahwa pendidikan seminari dan frater Jesuit salah akan tetapi pendidikan itu membentuk kepribadian saya menjadi amat rasional, mandiri cenderung egois dan seringkali menjadi kurang peka.
 
Gesekan dan benturan dengan latar belakang seperti di atas sesungguhnya hanyalah latar yang membentuk kepribadian saya. Namun sumber gesekan dan beturan yang sesungguhnya adalah adanya gambaran ideal tentang hidup berkeluarga yang ada dalam diri saya entah saya sadari atau tidak memunculkan tuntutan-tuntutan terhadap isteri saya.

Entah dengan sadar atau tidak, saya menuntut dan memaksa isteri saya masuk dalam “frame” saya. Akibatnya saya menderita karena tidak bisa memasukkan isteri saya ke dalam “frame” saya dan isteri saya jauh lebih menderita karena dipaksa masuk dalam “frame” saya.

Saya amat sadar dan saya akui bahwa dalam hal ini saya punya banyak dosa terhadap isteri.
 
Seiring dengan perjalanan waktu dan dengan bertambahnya usia, saya menyadari bahwa apa yang terjadi ini salah dan tidak bisa seperti ini.

Saya belajar dan berjuang menanggalkan gambaran-gambaran ideal saya, saya menanggalkan frame saya, saya berjuang mengalahkan diri saya.

Perjuangan yang tidak mudah untuk mengalahkan diri sendiri. Betapa sulit menanggalkan semua itu dan mengosongkan diri. Semua ini sungguh saya rasakan sebagai peziarahan di jalan salib.

Bukan hanya salibnya saja yang berat tetapi jalan salibnya juga amat sulit.
 
Romo, divsaat saya mulai bisa membongkar “frame” saya, mulai bisa mengalahkan diri sendiri, (pokoke ngalah) dan mulai mengosongkan diri ternyata saya mengalami hal yang luar biasa.

Divsaat seperti itu, saya justru menemukan dan mengalami cinta isteri saya luar biasa; sesuatu yang lebih mendalam daripada apa yang pernah saya bayangkan. Artinya Romo, di saat saya mengosongkan diri saya justru mendapatkan kepenuhan.

Namun demikian tidak berarti semua sudah selesai dan beres, kami saya dan isteri tetap terus berproses dan berjuang untuk mengalahkan kemanusiaan kami,” seorang bapak sesepuh dalam komunitas kami berkisah.
 
Dengan mengosongkan diri, memberikan segala-galanya justru mendapatkan kepenuhan dalam kelimpahan itulah hal yang digaris bawahi oleh bapak itu.

Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Markus: “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, barang siapa meninggalkan rumah, saudara-saudari, ibu atau bapa, anak-anak atau ladangnya pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat.”
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here