SEJAK berabad-abad lalu, karya missi (zending), agama apa pun, selalu diartikan penyebaran agama. Rm van Lith, SJ, meskipun pada zamannya ditentang oleh Gereja Katolik, sebetulnya sudah merintis citra yang berbeda.
Misi bukan lagi diartinya ‘mengkatolikkan’, melainkan meningkan pendidikan. Tetapi citra tersebut, sekarang sering kembali dimaknai sebagai penyebaran agama.Mengapa? Sebab menyebarkan agama memang lebih mudah. Lebih mudah diukur, lebih mudah dilakukan. Dan lebih mudah menimbulkan konflik beserta luka-luka fisik maupun batinnya. Pertanyaannya, apa itu yang dimaui Tuhan?
Dengan jelas, tegas dapat dijawab: bukan! Yang dimaui Tuhan adalah agar semua manusia menerima kabar gembira keselamatan, bukan supaya beragama tertentu. Maka tanda-tanda orang yang percaya pun tidak bersifat atau berciri agama tertentu, melainkan berciri universal. Mereka akan mengusir setan, berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru, meski minum racun maut, tidak akan mendapat celaka.
Tanda-tanda universal itu dapat dialami oleh siapa pun yang percaya, apa pun agamanya. Celakanya, tanda-tanda tersebut tidak mudah dikenali. Dan tanda-tanda agamis, lebih mudah dikenal: dibabtis di gereja, dengan upacara megah dan mewah dll.
Mengusir setan pun dimonopoli oleh sekelompok orang, bicara bahasa baru juga direduksi ke dalam bahasa roh, milik orang/kelompok tertentu saja. Walaupun sebetulnya jelas, orang yang berbahasa baru, adalah orang yang mampu berkomunikasi dengan siapa pun, apa pun latar belakang budaya, agama, pendidikannya. Bahasa baru itu seperti yang dimiliki oleh AA Gym, team kreatif yang melahirkan Bajaj Bajuri, Green Peace dll. Mari kita maknai dan hayati pesan misioner yang imani, bukan agami. Artinya pesan itu harus mewujud dalam perbuatan, bukan dalam peribadatan.
Di keluarga: jangan lagi kita sibuk menjadikan semua anggota keluarga beragama satu, tanpa peduli perasaan, dan luka hati yang terjadi. Kalau itu yang jadi orientasi dan yang terjadi, bisa dipastikan buahnya adalah konflik, bukan persatuan apalagi perdamaia. Kasih satu sama lain lebih utama, lebih penting dan lebih utama daripada agama. Agama apa pun yang dianutnya, tesnya mudah, apa setan-setan (bukan gentayangan model TV) dalam hidupnya terusir? Apakah ia mampu berkomunikasi dengan bahasa baru, sehingga semua orang suka dan damai bergaul dengan dirinya?
Di sekolah: pada pendidik dan guru, siswa juga, jangan lagi menggunakan kriteria penilaian, apalagi menilai tingkat intelektualitas berdasarkan kacamata agama. Di sekolah stantar penilaian satu-satunya mestinya adalah kemampuan intelegensinya, bukan agamanya. Semestinya di sekolahjuga tidak perlu ada rumah ibadat agama apa pun, yang perlu adalah rumah studi, perpustakaan, laboratorium.
Di kantor: alangkah indahnya bila kita dapat melepaskan warna dan bau agama dalam recruitment maupun menilaikinerja karyawan. Jangan menolak karyawan yang bermutu hanya karena beda agama dengan managemen, atau menerima seseorang karyawan hanya karena dia seagama. Sebab yang menentukan perilaku bukanlah agama, melainkan keyakinan imannya. Untuk mengecek gampang, lihat saja apa yang telah, sedang dilakukannya terhadap sesamanya yang berkekurangan.
Di masyarakat: sayang bahwa di masyarakat kita agama justru dijadikan alat politis. Akibatnya kesatuan dan kedamaian hidup bermasyarakat justru sering terganggu oleh ‘instruksi’ atau ‘misi’ agama. Konflik Ambon contohnya. Dan hampir di semua instansi negara, jenjang karier diganggu oleh masalah agama. Karena itu sulitlah di negeri kita untuk menjadi public services yang profesional.
Pada diri kita: paling mudah adalah mulai dari diri kita sendiri. Kita dapat mulai dengan membiasakan untuk membuang jauh-jauh embel-embel agama dalam membicarakan seseorang. Dalam memilih pembantu, memilih pacar, atau bahkan menantu. Lihatlah mutu pribadi, perilaku sehari-hari atau apa yang dilakukannya. Jangan terjebak pada omongannya. Tunjukkan iman dengan apa yang kita buat. Jangan tunjukkan ibadat, karena itu dapat menjadi penghambat dalam komunikasi. Semoga.