Renungan Harian
Kamis, 31 Maret 2022
Bacaan I: Kel. 32: 7-14
Injil: Yoh. 5: 31-47
BEBERAPA waktu yang lalu beredar berita tentang seorang ibu yang menggorok anak-anaknya, di mana salah satu dari anaknya ditemukan sudah meninggal. Tentu berita itu menjadi pembicaraan di banyak kalangan tentang perilaku seorang ibu yang tega membunuh anaknya sendiri.
Ada banyak tanggapan dan komentar tentang hal itu dan mempertanyakan kejiwaan ibu itu. Beberapa ahli menyebut bahwa tekanan ekonomi menjadikan kondisi kejiwaan ibu itu tertekan sehingga di luar kesadarannya melakukan tindakan yang memprihatinkan itu.
Ada pula ahli “spiritual” yang mengatakan bahwa ibu itu dipengaruhi oleh roh halus membisikkan apa yang harus dilakukan.
Hal yang menarik adalah jawaban ibu itu, ketika ditanya mengapa mempunyai niat untuk membunuh anak-anaknya. Ibu itu menjawab bahwa dia berusaha membunuh anak-anaknya, karena dia ingin menyelamatkan anak-anaknya.
Memang tidak jelas benar dan juga tidak ada pembahasan lanjutan mengenai penyelamatan yang dimaksud.
Saya merenung tentang jawaban ibu itu bahwa ia ingin menyelamatkan anak-anaknya. Saya berpikir (tanpa tahu kondisi kejiwaan ibu itu), ibu itu mempunyai niat yang baik; yang kiranya didasari atas cintanya pada anak-anaknya.
Ia ingin bahwa anak-anaknya selamat.
Saat merenung tentang hal itu, saya ingat sebuah peristiwa bertahun-tahun lalu ketika ada sebuah keluarga di Solo, bunuh diri. Dari hasil pemeriksaan suami isteri sepakat untuk bunuh diri. Suami meracuni istri dan anak-anaknya dan kemudian bunuh diri.
Alasan ekonomi yang menghimpit sehingga tidak ingin keluarganya menderita maka bunuh diri diambil sebagai pilihan untuk menyelesaikannya.
Suami-isteri itu berpikir bahwa hutang menumpuk yang harus ditanggung suaminya pasti akan berdampak pada seluruh keluarga.
Kiranya dampak yang dipikirkan amat hebat sehingga pilihan bunuh diri diambil.
Sebuah niat yang baik untuk menyelamatkan anak-anaknya pada kasus ibu itu dan niat menyelamatkan keluarga pada kasus di Solo dengan pertimbangan yang didasari cinta yang besar sampai di sini tidak ada sebuah kejahatan bahkan semua adalah baik dan mulia.
Namun seringkali pilihan-pilihan yang diambil amat pragmatis dengan demikian akibat yang ditimbulkan tidak terpikirkan.
Sebagai akibat pilihan yang pragmatis berujung pada tindakan yang dapat dimasukkan dalam kategori kejahatan.
Selain tindakannya berujung pada kejahatan, dampak yang ditinggalkan juga menimbulkan keprihatinan yang mendalam.
Dalam kehidupan sehari-hari pilihan dan tindakan pragmatis sering terjadi. Bahkan dalam keadaan biasa tanpa ada tekanan dan desakan pun pilihan dan tindakan pragmatis sering diambil.
Hal itu terjadi karena ketidakmampuan untuk mempertimbangkan atau karena sebuah kebiasaan. Oleh karena itu betapa penting pendidikan dan pembiasaan diri untuk berpikir lebih luas dan mendalam sehingga tidak terjebak dengan pilihan-pilihan pragmatis yang merugikan.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Keluaran menggambarkan murka Allah karena sebuah pilihan pragmatis yang diambil oleh Harun atas desakan umat Israel yang ditinggalkan Musa cukup lama. (bdk. Kel. 32:1-4).
“Pergilah, turunlah, sebab bangsamu yang kau pimpin keluar dari tanah Mesir telah rusak perilakunya. Begitu cepat mereka menyimpang dari jalan yang Kuperintahkan kepada mereka.”