Home KITAB SUCI & RENUNGAN HARIAN Refleksi Rohani dari Seni Perang: Mengapa Tidak?

Refleksi Rohani dari Seni Perang: Mengapa Tidak?

0

Refleksi tentang kehidupan batin ternyata tidak hanya bisa diperoleh dari buku-buku suci, macam kitab suci atau buku lain tentang ajaran agama. Kita bahkan bisa belajar sesuatu dari perang. Lho? Kita lihat misalnya apa yang dilakukan dan ditulis oleh Sun Tzu, seorang panglima perang di Cina.

 

Sun Tzu adalah Jenderal Militer Cina kuno, seorang ahli strategi, dan filsuf, yang dipercaya mengarang buku “Seni Perang” (The Art of War), sebuah buku Cina kuno tentang strategi militer. Dia diperkirakan hidup antara tahun 544 – 496 SM dan pernah menjadi panglima perang di masa kejayaan Raja Ho – lu dari Wu. Ia mempunyai pengaruh signifikan dalam sejarah dan budaya Cina serta Asia, baik sebagai pengarang buku “Seni Perang” maupun dari legenda hidupnya. Pada abad 19 dan 20, Seni Perangnya popular di kalangan masyarakat barat.

 

Buku “Seni Perang” mengetengahkan filsafat perang untuk mengelola konfik dan memenangkan pertempuran.   Menurut  http://en.wikipedia.org , buku ini direkomendasikan sebagai bacaan bagi seluruh personal intelejen militer Amerika dan pegawai CIA. Isi buku tidak hanya menggariskan teori tentang peperangan, tetapi juga tentang diplomasi dan bagaimana menjaga hubungan dengan Negara lain sebagai unsur penting bagi sebuah Negara.

 

Buku ini tidak hanya populer di antara mereka yang berkecimpung dalam teori militer, tetapi juga di kalangan pemimpin politik dan bisnis. Kendati buku ini berjudul “Seni Perang”, strategi yang tercantum di dalamnya mencakup hal-hal yang lebih luas. Kumpulan strategi perang itu bisa di lihat, misalnya dalam www.suntzusaid.com. Salah satu kumpulan taktik perang yang diadaptasi untuk “tuntunan” dalam menjalani hidup misalnya “108 taktik menjalani hidup ala Sun Tzu”, 2009, Wahana Totalita Publisher, yang disusun oleh Richard Pratama.

 

Refleksi Rohani

Jika Sun Tzu berbicara dalam konteks perang sungguhan dengan senjata, kita bisa mengambil ajarannya dalam konteks perang melawan godaan yang menghambat perkembangan jiwa kita. Coba kita ambil salah satu kutipan buku Sun Tzu yang disusun oleh Richard Pratama tersebut. “Mengelola yang banyak sama dengan mengelola yang sedikit. Ini adalah urusan pemisahan jumlah dan fungsi.”

 

Kutipan Sun Tzu di atas bisa memberikan inspirasi bagaimana kita menjaga hidup rohani sehari-hari. Kadang orang “berjanji” akan lebih banyak berdoa, beramal, dan melakukan kebaikan saat sudah pensiun ataupun beranjak tua. Saat ini tidak penting banyak melakukan hal-hal “rohani” dan “sosial”. Yang penting adalah mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan materi. Sikap ini sepertinya benar, karena kita sangat realistis atas hidup kita. Mencukupi materi juga merupakan salah satu ungkapan iman, yakni sebagai bentuk cinta kasih terhadap keluarga.

 

Namun demikian, jika kita tidak pernah memberi perhatian pada doa, beramal, dan melakukan kebaikan saat ini juga, jangan harap ketika pensiun dan tua kita bisa “tiba-tiba” mampu melakukannya. Justru saat ini, kita harus membiasakan untuk melakukan hal-hal yang “kecil” dan “sedikit” dalam berdoa (misalnya konsisten berdiam diri selama 5 menit sebelum tidur), beramal, dan membantu orang lain (misalnya menyisihkan sekian persen untuk anak cacat atau anak panti asuhan). Jika kita sudah terbiasa akan hal yang kecil dan sedikit, kita sudah akan menjadi terbiasa saat kita sudah pensiun atau beranjak tua. Nah, inspirasi dari Sun Tzu ini juga sekaligus menegaskan apa yang tertulis dalam Lukas 16:10, Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar   Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.

 

Photo credit: www.cultural-china.com

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version