Sabtu, 10 Mei 2025
Kis. 9:31-42;
Mzm. 116:12-13,14-15,16-17.
Yoh. 6:60-69
HIDUP tidak selalu mudah. Setiap orang pasti menghadapi tantangan, entah dalam bentuk penderitaan, kehilangan, kekecewaan, atau jalan hidup yang tak sesuai harapan.
Sebagai orang beriman, kita percaya bahwa tidak ada satu pun pergumulan yang sia-sia.
Dalam terang iman, tantangan hidup justru menjadi alat uji yang membentuk dan meneguhkan kita menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih sabar, dan lebih percaya kepada Tuhan.
Seperti emas yang dimurnikan dalam api, demikian pula iman kita dimurnikan melalui ujian-ujian hidup.
Di sinilah kita belajar mengandalkan Tuhan sepenuhnya, bukan kekuatan kita sendiri. Kita belajar berpengharapan meski situasi tampak gelap.
Kita belajar percaya bahwa tangan Tuhan tetap bekerja, bahkan saat kita tidak mengerti jalannya.
Iman yang tangguh lahir dari keberanian untuk tetap berjalan bersama Yesus, meskipun hidup tidak selalu berjalan mulus.
Dan justru dalam kesetiaan itulah, kita mengalami bahwa mengikuti Yesus bukan beban, melainkan jalan menuju kebahagiaan dan kedamaian sejati.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?”
Yesus dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, maka berkatalah Ia kepada mereka, “Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?
Sabda Tuhan memang tidak selalu lembut dan mudah. Kadang, sabda itu menegur, menantang, dan menggugah zona nyaman kita.
Sabda Tuhan membongkar cara hidup yang salah, memanggil kita untuk bertobat, dan mengajak kita mengambil salib.
Dalam saat-saat seperti itu, iman kita diuji: apakah kita tetap tinggal bersama Yesus atau mulai menjauh?
Yesus tidak mundur atau melembutkan sabda-Nya agar diterima semua orang. Ia tetap menyampaikan kebenaran dengan kasih. Ia tahu bahwa iman sejati lahir dari hati yang mau dibentuk, meski sakit, meski berat.
Banyak dari para murid akhirnya mundur dan tidak lagi mengikuti-Nya. Tapi ada juga yang bertahan, seperti Petrus yang berkata: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.”
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku rela dibentuk oleh sabda yang keras, demi hidup yang kekal?