TANGGAL 8 Desember 2011 menjadi hari “bahagia” bagi almarhum Romo Joseph Adi Wardaya SJ. Persis di hari Kamis (8/12) petang pukul 17.35 WIB, Tuhan berkenan memanggilnya menghadap datang kepada Sang Pencipta. Ternyata, hari Kamis tanggal 8 Desember itu pula almarhum Romo J. Adi Wardaya SJ merayakan pesta ulang tahun tahbisan imamatnya yang ke-33.
33 tahun silam di Stadion Olah Raga Kridasana di jantung kota Yogyakarta –tak jauh dari Gereja Paroki Santo Antonius Kotabaru—Romo J. Adi Wardaya SJ ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Semarang waktu itu: Kardinal Justinus Darmojuwono Pr. Almarhum menerima tahbisan imamat secara mirunggan (serempak gembira) bersama sejumlah frater diakonat Yesuit dan sejumlah frater diakonat Keuskupan Agung Semarang (KAS) lainnya.
Tahun 1978 silam menjadi saat menggembirakan bagi Ordo Serikat Yesus (SJ) bersama KAS yang di hari bahagia itu bekerja sama menyelenggarakan acara tahbisan imamat secara bersama. Ini semacam projek percontohan dimana dua “lembaga rohani” berbeda mengadakan upacara tahbisan imamat dalam satu paket bersama. Sebelumnya, baik SJ maupun KAS selalu menyelenggarakan acara tahbisan sendiri-sendiri. Tradisi ini hingga sekarang masih dilakoni sampai tahun ini.
Dipilihnya Stadion Olah Raga Kridasana karena alasan teknis: jumlah frater diakonat yang ditahbiskan kelewat “banyak”. Guna menampung jumlah umat, keluarga tertahbis, dan undangan serta para imam yang jumlahnya ratusan, maka tak ada opsi lain selain memilih Kridasana Yogyakarta.
Serba angka 3
Selain meninggal tepat di hari merayakan ulang tahun tahbisan imamat ke -33, almarhum Romo J. Adi Wardaya ternyata juga dikaruniai usia 63 tahun.
Lahir di Klaten (Jawa Tengah), masa kecil almarhum Romo J. Adi Wardaya SJ lebih dikenal sebagai Bambang Triatmaka—demikian nama kecilnya. Selepas menyelesaikan pendidikan menengah di Seminari Menengah di Mertoyudan, almarhum lalu menjalani masa novisiat sebagai calon Yesuit di Girisonta.
Selama di Mertoyudan, almarhum seangkatan dengan Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo Pr dan kemudian menjadi teman seangkatan dengan Uskup Agung Semarang Mgr. Yohanes Pujasumarta Pr.
Jujur apa adanya
Sebagai pastor mahasiswa dan dosen matakuliah agama di beberapa perguruan tinggi di Solo, sosok almarhum Romo J. Adi Wardaya SJ rupanya membekas kuat di hati Yudho, mantan Yesuit, yang di tahun 1990-an masih berstatus mahasiwa. “Almahum adalah sosok yang terdengar akrab di telinga para mahasiswa katolik di Solo. Tak terkecuali dengan para aktivis PMKRI waktu itu,” kata Yudho kepada Sesawi.Net.
Yang paling istimewa dari Romo Adi, katanya kemudian, tentu saja satu hal yang melekat kuat di benak semua mahasiswa katolik yang pernah almarhum ajar mata kuliah agama. “Kita diajak punya kepedulian terhadap kaum marjinal dan terpinggirkan. Itu kelebihan almarhum sebagai pendidik,” terang Yudho.
Para mahasiswa dilatih sedikit “spartan” (keras) dalam setiap latihan dasar kepemimpinan. Menurut Yudho, dirinya mengalami pencerahan rohani besar ketika bersama para mahasiswa lainnya harus menjalani “pembabtisan ulang” dengan cara disuruh berendam di kolam Sekolah Van Lith Muntilan. “Acara kungkum itu ibarat pembaptisan (baru) dimana kita harus meninggalkan pola hidup lama menjadi orang bersemangatkan baru,” terang praktisi hukum dari “AYP Partners”, sebuah firma hukum.
Saat itu, kata Yudho, dia bersama puluhan mahasiswa-mahasiswi yang mengikuti gemblengan itu sampai menangis tersedu-sedu mengalami proses pertobatan sangat istimewa itu.
Ditegur umat saat homili
Tak kalah menarik justru pengalaman dahsyat kiriman Hari Hardjanta, praktisi pendidikan di Surabaya. Sekali waktu, kata dia, almarhum diminta memimpin perayaan ekaristi di Gereja Paroki Santo Antonius Purbayan di Solo.
Tahun itu adalah 1988, kata Hari, ketika secara tiba-tiba ada umat yang duduk di bangku tengah yang tanpa ba-bi-bu langsung memrotes omongan Romo Adi Wardaya yang tengah berkotbah. “Apa yang diprotes umat tak lain karena saking tajamnya isi homili almarhum. Protes itu tidak membuat almarhum marah atau lalu menghentikan kotbahnya,” kata Hari.
Protes umat tidak serta merta menghentikan gaya bicara blak-blakan almarhum Romo Adi Wardaya. “Justru itu karakter pribadi almarhum yang menawan: selalu lugas gaya bicaranya dan cenderung bicara apa adanya,” kata Hari.
Mendedamkan para mantan anak-didik almarhum? Ternyata tidak.
Justru saking blak-blakan gaya ngomongnya karena keinginan mendidik mahasiswa menjadi militan dalam pengertian baik, seorang mantan seminaris bernama Budiman Wahyu justru mengucapkan banyak terima kasih atas didikan almahum.
“Saya pribadi mengakui harus bersyukur dan berterima kasih karena di saat-saat penting dalam hidup almahum, saya masih diperkenankan boleh mengusap punggung Romo Adi sembari menyanyikan lagu rohani Dherek Dewi Marijah di Ruang Xaverius RS Carolus beberapa saat sebelum dipanggil Tuhan,” tulisnya.
“Saya salut menyaksikan semangat hidup Romo Adi Wardaya yang menurut saya sangat luar biasa,” tandasnya singkat.
Pandangan tajam
Lain lagi cerita F. Wiyono tentang seniornya di Yesuit. “Gaya bicaranya pelan dan sangat tertata, namun cara tatap pandangnya sangat tajam sekaligus disertai pembawaan serba tenang. Yang paling menyejukkan tentu saja semangat hidupnya yang selalu membesarkan hati orang lain. Itulah yang membuat istriku sampai menyediakan diri mengenal Tuhan dan minta dibabtis,” tutur praktisi asuransi ini.
“Sugeng tindak Romo Adi, Romo-lah yang telah berperan memberi meterai iman pada pasangan hidupku ini,” tulisnya kemudian.
“Memanglah almarhum dikenal sebagai sosok yang tidak pernah banyak bicara, namun sangat hangat dalam bergaul, ” kenang Eugenius Lalur, mantanYesuit asal Tanimbar, Maluku Tenggara.
Jennie Lalur pernah hidup berdampingan dalam satu “rumah residensi Yesuit” bersama dengan almarhum Romo J. Adi Wardaya saat belajar bahasa Inggris di Sanata Dharm. Bersama almarhum Romo J. Adi Wardaya SJ, Jennie tinggal menetap di Asrama Realino kurun waktu tahun 1980-1981.
Angka 3 rasanya memang istimewa kalau dikaitkan dengan romo Adi Wardaya. Seingat saya, ada 3 Imam Jesuit yang ditahbiskan pada 8 Desember 1978 yaitu romo Daniel Edi Winarto SJ, Ignatius Kuntoro Wiryamartana SJ dan Joseph Adi Wardaya SJ. Kebetulan juga saya ikut menghadiri tahbisan itu.
RIP Romo V. Sugondo SJ
Selamat jalan Mo …
Terima-kasih “aku menjadi aku” seperti sekarang ini berkat bimbingan, dorongan, gemblengan Romo, … jadi ingat waktu awal membangun Paroki Aimas, Do School , pelayanan pastoral ke pulau-pulau, daerah transmigrasi dibawah panas terik dan hujan (makan seadanya) sampai berhari-hari/bulan jalan kaki, naik “long boat” … baru bisa kembali ke “base camp” … Selamat bahagia di surga. Salam Karsoba.