Sr. Elisa Petra OSA, Bidan Keliling Kampung dengan Seragam Tempur di Pedalaman Ketapang

0
653 views
Ilustrasi: Sr. Elisa Petra membopong orok bayi yang baru saja lahir usai proses persalinan. (Dok. OSA)

LOCUS peristiwa ini terjadi di BP-BKIA (Balai Pengobatan-Balai Kesehatan Ibu dan Anak) “Mutiara” di Tanjung. Sekitar 4-5 jam perjalanan dengan mobil dari kota Ketapang, Provinsi Kalbar. Tempat Sr. Elisa Petra OSA selama delapan tahun terakhir ini bekerja mengampu tugas sebagai bidan.

Siang itu, BP-BKIA “Mutiara” Tanjung kedatangan tamu mendadak. Tak ada janji sebelumnya. Sepasang pasutri tiba-tiba saja datang mengetok pintu BP-BKIA Tanjung. Seorang ibu muda bernama S, kira-kira berumur 30 tahunan, telah datang di depan pintu. Ia ditemani suami dan anggota keluarga.

Sr. Elisa Petra OSA, puteri Jawa asal Muntilan yang sengaja bergabung dengan Kongregasi Suster OSA berbasis di Ketapang, Kalbar.

“Minta advis kepada saya selaku bidan di BP-BKIA ‘Mutiara’ Tanjung. Apakah harus melahirkan di Tanjung? Atau masih bisa dibawa ke ‘pusat kota’ Ketapang,” kata Sr. Elisa Petra OSA (40) memulai kisahnya kepada penulis.

Yang pasti, dari hasil pemeriksaan sebelumnya secara pasti telah akurat menunjukkan, tahapan kehamilannya sudah “tua”. Sebentar lagi pasti akan terjadi partus (proses kelahiran).

“Malah bayinya akan kembar lagi,” papar Sr. Elisa Petra OSA mengenang peristiwa menarik yang terjadi tanggal 10 Oktober 2019 lalu di BP-BKIA “Mutiara” di Tanjung, tempatnya bekerja.

Sang suami ngotot dengan pendapatnya. Isterinya pasti akan bisa melahirkan secara normal. Dan mungkin masih kesampaian bisa dibawa ke Ketapang. Namun, kata Sr. Elisa Petra OSA, proses partus pasti akan terjadi dalam sejenak kemudian.

Balai Pengobatan dan BKIA Mutiara di wilayah pedalaman Tanjung, Ketapang. (Dok. Sr. Elisa Petra OSA)
BP-BKIA Mutiara di Tanjung, Kecamatan Jelai Mulu, Kabupaten Ketapang. (Sr. Elisa Petra OSA)

Setelah periksa sana-sini, akhirnya memang “terjadilah” apa yang sudah bisa diprediksi sebelumnya. Menurut akal sehat, tak mungkinlah bisa membawa Ny. S yang sudah hamil tua itu dipaksa harus menempuh perjalanan selama 5-6 jam ke Ketapang. Itu pun perjalanan harus terjadi di jalur “horor” karena akses jalannya sangat amburadul.

“Ibu S itu akhirnya bisa melahirkan dua bayi lelaki dengan lancar melalui proses kelahiran normal. Kondisi kedua bayinya juga baik dan sehat,” papar Sr. Elisa Petra OSA yang tiada berhenti langsung mengucapkan syukur atas peristiwa yang “menantang” keahliannya menolong proses partus di sebuah kawasan pedalaman.

Bayi kembar yang lahir dengan selamat berkat pertolongan Sr. Elisa Petra tahun 2019 lalu. (Dok. Sr. Elisa Petra OSA)

Tanjung memang jelas bukan wilayah perkotaan. Hanyalah sebuah desa kecil. Menjadi sebuah “pusat kota” di sebuah kawasan permukiman udik di wilayah nun jauh di sana dari kota Ketapang. Tanjung masuk wilayah administratif Kecamatan Jelai Mulu.

Jadi tak heran, pasutri itu memang langsung datang menemui BP-BKIA “Mutiara” di Tanjung dan menemui Sr. Elisa Petra OSA untuk minta bantuan proses partus.

Kondisi jalan amburadul di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang. Jalan menjadi penuh kubangan lumpur sangat pekat dan licin di kala musim hujan. Menjadi jalan penuh lautan debu di kala musim kemarau. Mengukur jalan dengan kondisi macam inilah yang menjadi hari-hari pelayanan Sr. Elisa Petra di Tanjung, Ketapang. (Dok. pribadi Sr. Elisa Petra OSA)

Pertama-tama sebagai bidan dan baru kemudian sebagai suster biarawati OSA, saat itu –usai partus berjalan lancar- saya merasa bersyukur pada Tuhan, karena telah boleh mengalami pengalaman istimewa ini,” ungkap Sr. Elisa Petra akhir Oktober 2020 kepada Sesawi.Net.

Hanya karena poster

Menjadi bidan dan apalagi kemudian berstatus seorang suster biarawati awalnya tidak pernah “menclok” dalam pikiran Novi Narmasari, nama kecil asli Sr. Elisa Petra OSA sebelum masuk biara. Ide mulia itu baru mengisi hatinya, ketika sekali waktu mata hatinya terpaku pada sebuah poster.

Di situ ada suster tengah berdiri nangkring dengan gagahnya di sebuah “perut” kapal motor yang tersaji di sebuah kalender Katolik.

Sr. Agneta OSA, seorang perawat, tengah berdiri bersama tiga suster lainnya sesaat sebelum meninggalkan dermaga Biara OSA di Menyumbung untuk menyisir aliran Sungai Krio dalam rangka pelayanan medis ke wilayah pedalaman Menyumbung. (Sr. Anne Marie Kras OSA)

“Foto bagus itu telah mengusik hati saya. Itu adalah sosok Sr. Agneta Tan Nai Loy OSA –kini berumur 75 tahun—puteri kandung Tan A Hak, misionaris awam Katolik dari Tiongkok. Dalam perjalanannya melakukan layanan medis di kawasan pedalaman di Paroki Menyumbung. Sekitar 6-7 jam perjalanan dari kota Ketapang,” ungkapnya tandas.

“Pemandangan dalam foto itulah yang kemudian memotivasi saya untuk bisa membuat kisah petualangan iman saya sendiri dalam Tuhan. Dan mungkin itulah yang nantinya akan bisa saya lakukan ketika sudah bergabung masuk Kongregasi Suster OSA,” terang puteri Jawa kelahiran Muntilan, Jateng.

Sr. Elisa Petra dan teman suster angkatannya di tahun 2011. (Dok. Sr. Elisa Petra OSA)

Usai menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya di Muntilan dan Magelang, maka Novi Narmasari lalu melanjutkan studi kebidanan Program Diploma D-3 di Semarang. Lulus 2001 dan baru di awal Oktober 2020 ini, program kebidanan D-4 akhirnya berhasil dia raih di Pontianak. Bisa terjadi demikian, berkat bantuan program beasiswa dari seorang donatur di Jakarta bernama Anton.

Senin sampai Jumat tetap harus “ngantor” seperti biasa. Jumat malam sampai Minggu malam kuliah di Pontianak. Menjadi seorang commuter rute trayek Tanjung-Pontianak selama 10 jam perjalanan setiap dua pekan sekali.

Memilih Kalbar daripada Jawa

Aneh juga. Ini ada puteri Jawa malah dengan sengaja memilih tarekat religius berbasis di luar Jawa daripada di wilayahnya sendiri. Itulah sebabnya Novi Narmasari lalu melamar masuk Kongregasi Suster OSA berbasis di Ketapang, Kalbar. Bukan masuk Ursulin (OSU), OSF Semarang, atau CB yang punya banyak karya kesehatan.

Paparan foto itu yang menjadi pemicunya.

“Saya masuk OSA sudah sedikit berumur: 21 tahun. Sudah kerja tiga tahun dulu, barulah kemudian memberanikan masuk biara. Tidak dengan tarekat suster di Jawa, tapi justru memilih tarekat suster sebagaimana tersaji di foto bersejarah di dalam kalender itu,” terang si sulung anak pasutri orangtua bernama Yulius Waluya dan Ny. Maria Gorethi Winarsih (alm.)

“Usai mengucapkan profesi pertama tahun 2005, Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) langsung menugasi saya berkiprah sebagai bidan,” ungkap suster biarawati yang kini dikenal sebagai Bidan Keliling Kampung. Selama delapan tahun terakhir ini, ia “ngepos” bertugas di Tanjung, Kecamatan Jelai Mulu, Ketapang.

Saat mengucapkan kaul kekalnya sebagai suster biarawati Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah atau OSA di Biara Pusat OSA Ketapang di hadapan Bapak Uskup Keuskupa Ketapang waktu itu: Mgr. Blasius Pujaraharja. (Dok. OSA)

Yang terbaik untuk Tuhan dan sesama

Sebagai bidan yang harus mengampu tugas menjaga “kantor” di Tanjung dan juga sekali waktu harus berkeliling kampung di wilayah pedalaman, Sr. Elisa Petra OSA mengakui awalnya juga merasa bimbang.

Ragu-ragu sendiri apakah dirinya akan mampu menjalani profesi ini. Apalagi tanggungjawab moralnya besar sekali. “Soalnya, ini sudah menyangkut nyawa manusia,” tutur biarawati OSA yang sudah berkaul kekal sejak tahun 2011 lalu.

Kondisi jalan utama di pedalaman Ketapang. (Dok. Sr. Elisa Petra OSA)

Awalnya memang hanya menjalani tugas pastoralnya sebagai suster biarawati OSA. Diputuskan sesuai latar belakang pendidikan. Namun, setelah ia benar-benar bisa mencecapi seluk-beluk ilmunya, dia justru semakin mencintai jenis karya pelayanan ini.

“Dengan segala keterbatasan pribadi dan ilmu, saya ingin tetap berusaha bisa memberikan pelayanan yang terbaik,” papar Sr. Elisa Petra OSA yang mengusung visi pelayanan: “Melakukan yang terbaik untuk Tuhan dan demi sesama.”

Sr. Elisa Petra OSA (kanan) ketika tanpa sengaja menjadi perhatian penulis saat berlangsung pesta kebun usai tahbisan imamat di Gereja Maria Ratu Pencinta Damai Paroki Air Upas –sekitar 7-8 jam perjalanan dari pusat kota Ketapang. Air Upas sudah masuk ke wilayah perbatasan Provinsi Kalteng. Peristiwa terjadi di bulan Juni 2018 di Air Upas. (Mathias Hariyadi)

Berseragam tempur lapangan

Hawa panas di siang hari itu luar biasa. Terik matahari terasa kian menyengat di kulit usai terjadi sedikit gerimis di ujung hari. Rasa lelah telah menyergap penulis, setelah semalam tidak bisa tidur nyenyak.

Usai misa tahbisan imam di Gereja MRPD Paroki Air Upas di bulan Juni 2018 silam, kerumunan manusia langsung menyerbu pekarangan gereja paroki-tempat dilangsungkannya pesta kebun.

Di situlah penulis untuk pertama kalinya mendengar dan kemudian mengenal nama Sr. Elisa Petra OSA. Hanya karena sebagai suster biarawati, baju busananya tampak berbeda dari kebanyakan suster.

Waktu itu, ia tampak memakai celana panjang hitam. Masih tetap memakai habit (jubah suster), lengkap dengan kerudung kepalanya.

Sr. Petra OSA asal Muntilan dikenal tangguh melintasi jalanan sepi di kawasan pedalaman untuk melakukan karya kesehatan membantu persalinan di kampung-kampung. (Dok OSA)

Beberapa hari kemudian, barulah kisah Sang Bidan Keliling Kampung dengan “seragam tempur” lapangan itu masuk terunyah di dalam benak penulis.

Setelah Sr. Sesilia OSA menerangkan, di Ketapang dengan medan pastoral sangat menantang ini, tak mungkinlah seorang suster biarawati hanya berbusana model rok.

Apalagi ketika harus naik motor sendiri seperti yang biasa dilakoni Sr. Elisa Petra OSA dari Tanjung.

Meninggalkan habit harian dan berganti busana dengan model seragam lapangan menjadi keharusan bagi para Suster OSA.

“Manakala tengah mengemban tugas di pedalaman atau dalam perjalanan naik motor,” tutur Sr. Sesilia OSA.

Namun bukan soal perkara jubah khusus ini yang kemudian menjadi perhatian penulis. Melainkan, dampak perjalanan panjang yang biasa ditempuh oleh Sr. Elisa Petra OSA, setiap kali harus pergi meninggalkan biara untuk  mengunjungi pasien perempuan hamil tua di kawasan terpencil di luar “kota” Tanjung.

Selalu sendirian

Ia biasa naik sepeda motor sendirian. Ke mana pun. Tak peduli apakah itu siang atau malam. Jauh pun dia tempuh dengan rasa percaya diri.

Melewati jalan sepi di tengah hutan. Melewati jalan setapak. Mengisi waktu selama 4-5 jam dari Tanjung ke Ketapang dan selama kurun waktu yang sama pula dari Ketapang menuju Tanjung.

“Setiap dua pekan sekali, Sr. Elisa Petra OSA muncul di Ketapang. Datang ambil obat dan kemudian membawanya kembali ke Tanjung. Dengan sepeda motor bebeknya yang sudah lusuh oleh cipratan lumpur pekat yang telah mengering di bodi motor,” ungkap Sr. Sesilia OSA, suster senior yang menjadi mentor formatio untuk para suster yunior.

Jalanan sepi dengan pemandangan ilalang sangat tinggi di kanan-kiri jalan di wilayah pedalaman. (Dok. Sr. Elisa Petra OSA)

“Wajahnya pun sering ikut dipenuhi lumpur. Mukanya menjadi layu, karena kelelahan di jalan. Namun dia tetap tangguh dan tegar dengan tugas misi pelayanan tarekat,” tambah Sr. Sesilia OSA yang ibu kandungnya dulu pernah menjadi anak asuh para Suster OSA misionaris di Asrama Ketapang tahun 1953.

Penghematan dan tak membebani orang

Wilayah pastoral Keuskupan Ketapang ini lebih luas dibanding satu wilayah Provinsi Jateng atau Jatim.

Dengan demikian, bisa dibayangkan betapa maha luasnya medan pelayanan Sr. Elisa Petra OSA, sekalipun hanya mencakup wilayah satu kecamatan Jelai Hulu dengan Tanjung sebagai basisnya.

Menjawab pertanyaan kenapa, misalnya, tidak naik travel saja dari Tanjung ke Ketapang pp dengan kisaran waktu perjalanan selama 4-5 jam, Sr. Elisa Petra OSA dengan mantapnya mengatakan demikian.

“Saya tidak ingin membebani orang lain dan siapa pun. Saya tidak mau selalu bergantung pada orang lain. Saya diajari oleh orangtua untuk berusaha mandiri. Selama masih mampu, saya naik sepeda motor sendiri saja.”

Inilah sepeda motor yang menjadi andalan dan “nyawa” Sr. Elisa Petra OSA setiap kali berkeliling memberi layanan kesehatan di wilayah pedalaman di Tanjung, Ketapang. (Dok. Sr. Elisa Petra OSA)

Juga, katanya lebih lanjut, “Ini demi penghematan pengeluaran. Karena naik travel rute dari Tanjung-Ketapang pp setiap dua pekan sekali butuh biaya sangat mahal.”

Ia merasa nyaman saja membawa diri dan tugasnya di atas sadel sepeda motor bebeknya setiap kali harus “keluar rumah”. Lengkap dengan semacam “kerombong” untuk mengangkut semua perkakas alat kerjanya dan obat-obatan.

Tetap jalan

Apakah di masa pandemi covid-19 ini, pelayanannya berhenti atau terpaksa dihentikan?

“Oh tidak,” jawabnya tegas.

“Tetap jalan seperti biasa. Hanya protokol kesehatan yang lebih ketat,” tambahnya.

Yang pasti, sepanjang masih ada perempuan hamil tua dan butuh pertolongan proses partus-nya, maka karyanya sebagai bidan di wilayah pedalaman Keuskupan Ketapang masih akan tetap berlangsung.

Covid-19 tak mampu “menghalangi” perempuan hamil untuk melahirkan bayinya dengan selamat. Dan ketika di wilayah pedalaman Kabupaten Ketapang yang maha luas itu hanya ada bidan, maka tangan-tangan kasih seperti Sr. Elisa Petra OSA ini menjadi penting dan tetap selalu dibutuhkan.

Ref: Augustinian nuns on bikes and boats to help youth and infants in W Kalimantan (video-photos)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here