Guruku Baik Sekali

0
3,597 views

Suatu pagi sebelum berangkat sekolah anakku berlaku tak biasa. Diambilnya sekotak kue kering dan minta tas plastik untuk membawanya. Aneh, biasanya dia tak mau membawa bekal seperti itu. Lagian, ukurannya juga kelewat besar untuk dianggap sebagai bekal. Ketika ditanyakan kenapa membawa kue, dijawabnya singkat ,”Ini, mau ku kasihkan pada bu guru.” Wah, ini si kecil sudah mulai belajar menyuap. Namun dalam hati diam-diam bersyukur, bahwa anak ini sudah mulai mengerti ada guru yang baik hati dan perlu dihargai.

Peristiwa kecil pagi itu mau tak mau membawa kembali pada kenangan saat sekolah dahulu. Selalu disetiap jenjang pendidikan ada guru favorit, guru yang baik hati dan dicintai muridnya. Lamat-lamat teringat pada sebuah nama, Pak Tahir, itu guru saat SD dulu. Rasanya sulit mencari guru seperti dia saat ini. Betapa tidak, kehidupan murid-muridnya di luar sekolah juga menjadi perhatiannya. Saat liburan panjang, dikunjungi rumah semua muridnya. Dan diam-diam kami semua menangis ketika suatu saat dia harus berpindah tempat tugas.

Guru, konon berarti di “Gugu” dan “ditiRU” yang kurang lebih dipercaya, didengar dan diteladani. Dengan demikian bicara guru bukan sekedar menyangkut pengetahuan dan cara mengajar belaka. Bicara guru juga bicara kemampuan ‘menyentuh’ muridnya secara manusiawi, menumbuhkan nilai-nilai dan kwalitas manusia dalam diri anak didiknya.

Menjadi guru berarti seseorang diberi hak (kuasa) dan dinyatakan berkompeten untuk mengajar (magisterium). Namun dibalik itu semua adalah sebuah panggilan hati, sebuah opsi untuk mengabdi pada pemanusiaan dan pemerdekaan anak-anak didiknya. Oleh karena relasi antara guru dan peserta ajar bukanlah relasi kekuasaan, melainkan relasi yang fasilitatif dan animatif. Diri anak didik bukanlah kertas kosong, setiap anak membawa bibit kwalitas masing-masing yang perlu dikenali untuk ditumbuhkan dengan cara yang khas.

Salah satu yang paling mengesankan dari para guru di sekolah dulu adalah semangat untuk menjaga kesederhanaan. Klop dengan pandangan atau gambaran yang tertanam dalam benak muridnya. Maka jika ada seorang guru yang tampil ‘lebih’ akan segera jadi gunjingan. Saat di SMP ada beberapa guru yang berangkat dan pulang ke sekolah dengan jalan kaki, berbaur bersama murid-muridnya. Ketika di SMA, ada guru yang tetap setia mengendarai sepeda. Ada pula guru yang menggunakan kendaraan umum dan tak pernah terlambat seperti kebanyakan muridnya. Kesederhanaan yang tulus dan dilakoni terus menerus akan selalu memenangkan hati. Meski mata pelajarannya dibenci, tapi sang guru dihormati.

Kesederhanaan adalah sebuah pilihan. Sederhana berarti mampu membedakan mana kebutuhan, mana keinginan dan menghindari keserakahan. Kesederhanaan adalah kawalitas yang mengantar pada kejujuran. Dengan berlaku jujur, seseorang akan memandang orang lain tanpa pretensi. Dan inilah jawaban besar kenapa anakku tergerak untuk membawakan buah tangan bagi gurunya.

Nasi kuning, itulah bekal favorit yang kerap dibawa anakku. Meski tidak selalu dihabiskan tapi saat ditanya apa yang akan dibawa besok lebih sering nasi kuning yang diingininya. Rupanya hal ini diperhatikan oleh gurunya. Hari Sabtu adalah hari dimana murid tidak membawa bekal karena sudah disediakan di sekolah. Dan kalau kebetulan sekolah menyediakan nasi kuning, pada saat pulang sang guru memberi sebungkus pada anakku untuk dibawa pulang.

Sangkaan sang guru bahwa anakku begitu menggemari nasi kuning sesungguhnya tidak benar. Namun perhatian kecilnya mampu menyentuh hati anakku. Maka ketika dirumah dilihat ada sesuatu yang berlebih, mengerakkan dirinya untuk membawa guna diberikan pada gurunya. Dan hari itu tanpa diajari, dia telah belajar tentang balas budi. Terbukti kebaikan hati merupakan pelajaran tanpa kata-kata yang bisa dimengerti oleh siapa saja.

Photo credit: sukabumitoday.com.blogbintang.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here