Luk 12:1-7
“TURUNKAN Nabi Isa”.Demikian salah satu slogan ekspresi demonstrasi pekan lalu terhadap penolakkan “uu cipta kerja”.
Slogan itu, nongol di salah satu dinding halte Trans Jakarta. Oktavianus DB Hana memuat kembali slogan ini di Spektrum. Dengan secuil pertanyaan dan refleksi teologis pun muncul di tulisan itu.
Secara umum, pendemo mengamati dan sepakat bahwa ada praktik kemunafikan dan ketidakadilan di dalam pemerintahan kita saat ini. Oleh karena itu, melalui demo tersebut mereka merasa diri sebagai “nabi” yang menyuarakan kebenaran di tengah negara yang sedang melakukan praktek ketidakadilan.
Jualan revolusi moral para oposisi pun bergema di situ. Namun, yang membuat orang waras jengah, “Mengapa para pendemo ini mengekspresikan demonstransi itu dengan membakar gedung, melempari batu sana-sini dan menyebarkan hoaks? Apakah bentuk ekspresi yang menyalurkan hasrat demonstrasi dengan cara membakar fasilitas publik dan semacam itu, bisa disebut sebagai orang sehat atau waras secara moralitas?
Slogan teologi “Turunkan Nabi Isa” ke tengah pemerintah dengan demonstrasi yang mengedepankan kekerasan tidak bisa dibenarkan secara teologis.
Mengapa?
Tuhan Yesus tidak pernah memboncengi kekerasan dalam menyuarakan keadilan. Dia anti dengan kekerasan, anti membakar fasilitas publik, anti melempari orang dengan batu dan anti menyebarkan fitnah dan berita bohong.
Tak kala ketika Petrus mempedangi telinga seorang serdadu yang mau menangkap Yesus di kebun Getsmani dan Petrus merasa tindakannya adalah bagian dari perlawanan terhadap ketidakadilan.
Namun, oleh Tuhan Yesus malah melihat tindakan mempedangi musuh adalah pembunuhan.
Kata-Nya kepada Petrus, “Sarungkan pedangmu”. Artinya, jangan mainkan pedang untuk membunuh lawan” (bdk. Yoh 18:11).
Dalam soal urusan dengan kemunafikan dan ketidakadilan yang bercokol di tubuh orang Farisi, Tuhan Yesus cuma meminta para murid dan pengikut-Nya perlu membentengi diri dengan -Nya.
Sebab cuma Dia satu-satu orang yang bisa dipercayai omongan-Nya. Dia adalah orang benar dan apa adanya. Dia tidak punya motivasi terhadap jabatan dan kekuasaan duniawi. Dia tidak pernah menebarkan slogan teologi demi memanipulasi diri kedunia kekuasaan manusiawi.
Tuhan Yesus atau mereka yang menyebut dia Nabi Isa, betul Dia hidup dikelilingi banyak massa, tetapi massa yang bersama Dia, tidak Dia gunakan untuk buat “parpol dan gerakan politik”.
Dia tidak seperti kita yang ada di sini, dikit-dikit jualannya “parpol”, gerakan moral”, “sara”, komunis, aseng, kapitalis, liberalis, ayat suci, agamis, halal vs haram, dan fatalnya lagi, merasa diri moralis dan paling suci. Padahal kalau mau jujur dan bila telusuri di bagian dalamnya, isinya kebanyakan nafsu kekuasaan, jabatan dan kekayaan duniawi.
Sangat mungkin slogan “Nabi Isa diturunkan”, lebih tepat ke kita yang rentan lemah terhadap godaan duniawi.
Saat kekuatan duniawi menarik kita lebih kencang, maka Nabi Isa kita minta turun supaya Dia datang menolong kita supaya ditarik kembali dari godaan duniawi kehidupan yang awali.
Untuk orang yg menyebut diri beragama, motivasi terselubung manusiawi yang dibalut “baju teologilah” yang perlu ditakuti dan perlu diwaspadai.
Dalam bahasa Tuhan Yesus, waspadalah terhadap kemunafikan. Sebab kemunafikan bisa hadir dalam bentuk slogan dan demonstrasi berbau agamis.
Takutilah Tuhan, sebab Dia tidak pernah bohong.
Renungan: Berpikir dan merenunglah sebelum bertindak
Tuhan memberkati.
Apau Kayan, 16..10.2020