Kompetisi Internal atau Eksternal

0
839 views
Ilustrasi - Bekerja secara profesional. (Ist)

INI kisah tentang suka-duka SDM di dunia bisnis, perusahaan, atau organisasi. Biasa terjadi di kalangan organisasi profit, meski kadang muncul juga di lingkungan non-profit.

Dimulai dari munculnya fenomena disruption dan revolusi digital. Kemudian lahirnya generasi millenial yang mengejutkan peradaban mereka yang sudah mapan.

Belakangan, tambah hiruk-pikuk, karena pandemi datang tiba-tiba.

Loncat sana, loncat sini

Persaingan antar individu semakin tajam, baik di dalam perusahaan maupun di pasar luar.

Pengalaman seorang eksekutif muda, yang belum genap berusia 35 tahun, layak menjadi contoh soal. 

Saya memanggilnya Bintang.

Setahun lalu, ia loncat ke suatu perusahaan startup yang lain. Prosesnya bisa dikatakan sederhana. 

Ini perusahaan ke-4 yang dia arungi, sejak lulus S1, 10 tahun lalu. Jadi rata-rata ia bekerja hanya selama 2,5 tahun di sebuah perusahaan.

Alasan kepindahannya mudah ditebak.

Pertama, apalagi kalau bukan mengejar penghasilan dan fasilitas yang lebih yahud.

Kedua, tantangan di perusahaan lama dirasa semakin membosankan. Menghadapi masalah baru, dengan industri dan jenis pekerjaan yang berbeda, akan memacu adrenalin keluar lebih deras, hingga membakar semangatnya lebih gegap-gempita.

Nampaknya, proses seleksi relatif cepat.  Bintang dianggap mampu mengisi lowongan di jajaran manajemen atas. Nyaris tanpa saingan.

Alih-alih menengok kader-kader di dalam (internal talent) untuk disandingkan dengan Bintang sebelum pilihan dijatuhkan.

Tak hanya Bintang, saat ini, kompetisi eksternal relatif longgar. Dengan (hanya) berbekal pengalaman kurang dari lima tahun di perusahaan yang lama plus sekian tahun di dua perusahaan sebelumnya, Bintang langsung dianggap mampu mengembangkan posisi baru yang sedang lowong.

Mungkin pepatah lama bisa dirujuk: “Sapu baru bisa menyapu lebih bersih.”

Hampir setahun Bintang berkiprah di tempatnya yang baru. Tugasnya beralih ke rutinitas. Kompetisi internal semakin nyata.

Bintang sudah menjadi “orang dalam” dan harus bersaing dengan teman-temannya sekapal. Masa keemasan sebagai “orang luar” lewat sudah.

Kompetisi internal cenderung lebih berat dibanding eksternal. “Tamu” mendapatkan kemudahan dibanding “tuan rumah”.

Bintang beruntung, karena sempat “nyuri start” di awal debutnya di perusahaan yang baru.

Tapi kini, kiprahnya diuji secara nyata. Tak ada lagi kemudahan yang diperolehnya. Di situlah, kemudian prestasi bisa dinilai. Apakah Bintang akan menang atau masuk kotak. Meritokrasi menjadi kunci jawaban.

Skala lebih luas dan kompleks

Kisah senada, dengan skala yang lebih kompleks, terjadi di sebuah perusahaan raksasa nasional. 

Mereka sedang getol melakukan akuisisi.  Beberapa perusahaan dan unit usaha baru ditarik masuk ke kapalnya yang semakin menggurita.

Ada industri yang sama dengan core-nya, ada pula yang berbeda. Singkatnya, mereka sedang ekspansi besar-besaran.

Dari sisi operasi dan finansial, tak terjadi  sesuatu yang merisaukan. Semua indikator dilaporkan baik-baik saja. 

Beberapa malah mencorong.

Share holder dan direksi tersenyum puas di awal tahun ini. Padahal krisis energi, krisis pangan dan pandemi membayangi-bayangi perjalanan tahun-tahun lampau, mungkin masih menghadang di masa depan.

Tapi tak demikian dengan kisah tentang SDM. Organisasi menggemuk karena pengurangan SDM tidak menjadi alternatif. 

Jumlah manpower membengkak. Duplikasi bahkan triplikasi, plus efek bystander terlihat di mana-mana. Kebutuhan akan sumber daya penunjang naik berlipat ganda.

Ini memicu potensi inefisiensi dan pemborosan.

Dalam situasi seperti itu, fenomena Bintang muncul di banyak tempat. “Tamu baru” diistimewakan, “tuan rumah” turun ke pilihan kedua atau ketiga.

Biasanya, “pendatang“ mengungguli “penghuni lama”. Kompetensi “orang baru” dianggap lebih piawai, sementara “orang lama” sudah terlalu dalam terperosok dalam area nyaman.

Tiga hal

Ada tiga hal yang saya usulkan menjadi rujukan.

Pertama, restrukturisasi organisasi.

Penggabungan dan pelangsingan dua atau lebih organisasi yang berfungsi sama adalah hal yang wajar. Streamlining tak dapat dihindarkan, sementara kebutuhan SDM yang optimal harus dikaji masak-masak.

Penggunaan sumber daya lebih dari level minimalnya bisa menjadi waste. Sekali lagi, meritokrasi menjadi prinsip utama yang harus dipegang erat.

Kedua, penyatuan budaya organisasi.

Beberapa budaya yang berbaur menjadi satu, dengan minimal pengelolaan, berpotensi chaos. Visi, misi dan tata-nilai mutlak dirumuskan untuk dijadikan panduan bersama.

Ketiga, susun model bisnis dan proses bisnis yang baru.

Dunia berubah drastis, lingkungan bisnis terus berganti rupa. The new normal muncul di mana-mana.

Jangan harapkan hasil yang sama atau lebih bagus, bila cara lama tetap dipakai.

The new normal is constant transformation.” (The Little Black Book of Innovation, Scott D. Anthony)

Kisah Bintang dan cerita panjang tentang perusahaan raksasa di atas mudah menimbulkan gesekan, kebingungan dan kemerosotan kinerja.

Mungkin belum sekarang. Tapi apa pun atau kapan pun terjadi, tugas pemimpin untuk membereskannya.

Only three things happen in organizations: friction, confusion and underperperformance. Everything else requires leadership”. (Peter Drucker – Management Guru)

@pmsusbandono

12 Juni 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here