Pasutri Perang Kata-kata di Rumah

0
343 views
Ilustrasi: Konflik antara suami-isteri dalam keluarga muda. (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Jumat, 25 Februari 2022

Tema: Pasanganku yang terbaik.

Bacaan.

  • Yak. 5: 1-6.
  • Mrk. 10: 1-12.

“ITU semua gara-gara kamu. Mana perhatian? Mana waktumu untuk keluarga?

Kamu yang salah. Semua kesalahan ditimpa ke aku. Tabiatmu jelek. Sudah untung, kamu aku kawinin,” kata orang dengan nada tinggi.

“Eh, asal tahu aja ya. Kamu yang meminta. Aku kan menolak. Kamu memaksa terus. Aku gelap mata, tau?” protes yang lain.

“Aku sudah mengusahakan sebaik mungkin. Kamu selalu meneror, bongkar kesalahan terus. Dasar pendam,” sahutnya.

“Tapi kenyataan benar kan? Ketika pacaran ngak ngaku. Setelah kawin bertingkah. Harusnya bersyukur aku mau kawin sama kamu. Brengsek.”

Aku tahu masa lalumu. Tapi kan aku tidak mau membongkar. Sakit, tau,” jawabnya tengik.

Serangkai kata bombardir dengan emosi tinggi sudah tak terbendung. Terjadi, bila pasangan suami-isteri tengah ribut besar.

Tak akan ada penyelesaian, kalau salah satu tidak diam.

“Mo, saya tidak pernah menyesal menjadi Katolik. Saya lahir sebagai orang Katolik dan akan mati sebagai orang Katolik.

Saya telah menerima Sakramen perkawinan, dianugerahi Tuhan anak-anak. Tapi saya tidak tahu, sampai kapan bertahan.

“Ada apa? Ribut lagi kah.”

“Iya. Pasangan saya akhir-akhir ini agak kelewatan. Begitu saya lengah memperhatikan dia dan kurang waktu untuk anak-anak, diributkan. Akhirnya breng.

Saya mencoba menjelaskan. Dia tidak mau tahu. Kalau saya diam, kesannya dia lebih nantang dan berani. Seakan-akan saya berbuat dosa besar. Dicela. Diumpat dan diusir,” keluhnya.

“Lalu apa yang dilakukan saat itu?”

“Kadang saya hanya bisa diam. Dia ngoceh terus menerus. Pernah saya bentak, malah dia minta cerai. Saya tantang dia. Kapan? Dia tidak menjawaban tegas. Tapi mulai mengalihkan masalah lain. Ya, saya diamkan.

Pernah juga karena saking jengkel, saya bentak kasar. Malah kami bertengkar hebat. Saya lupa anak-anak pun mendengar dan menjadi takut.

Yang teringat, saya emosi. Dia menunjuk-nunjuk jarinya ke saya. Membongkar masa lalu saya diungkit. Anak-anak sengaja disuruh dengar. Saya Tarik ke kamar dan saya tampar.

Dia membalas. Dengan sekuat tenaga saya banting di kasur. Saya tekan dia sampai dia sulit bernafas.

Saya sadar, saya salah. Saya telah menampar. Saya masuk kamar anak-anak dan minta maaf atas keributan,” kisahnya panjang.

“Apa yang terjadi kemudian?”

“Dia memberitahu orangtuanya dan minta dijemput malam itu juga.”

“Mencegah ta?”

“Tidak, Mo. Saya biarkan saja. Mungkin dia butuh ketenangan di keluarganya.

Saya memberitahu mertua, kami ribut besar dan saya menampakkan emosi.”

“Bagaimana sikap mertua?”

“Dia sedikit kurang respek atas tindakan saya. Tapi tidak mau campur. Mereka datang hanya menengok keadaan dan menenangkan anak-anak.

Saat itu, saya hanya diam.”

“Berapa usia perkawinanmu?”

“Baru jalan selama 13 tahun, Mo.”

“Bagaimana kalian bisa saling bertemu dan jadian?”

“Sebenarnya bukan dia yang saya incar. Tapi adiknya. Mereka sangat akrab. Kami sering pergi bersama. Tapi hati kecil, saya lebih cenderung kepada adiknya.

Saya memang tidak tegas pada waktu itu untuk memilih. Memang ayah ibunya pernah menyinggung apakah saya tidak ingin lebih dekat dengan kakaknya. Sudah dewasa. Lebih matang. Sudah punya pekerjaan.

Entah kenapa adiknya melanjutkan pendidikan di luar negeri. Akhirnya, ya jadian, Mo.”

“Kamu mau cerai?”

“Tidak, Romo. Buang kesel aja ke Romo.”

“Wah…. semprul. Romo dijadikan tong sampah. Tapi ya gak apa-apa.”

Belajarlah mengelola emosi. Kebanyakan pasangan ribut, karena kematangan pribadi dan kedewasa emosi tidak berkembang.

Yang satu merasa lebih, ingin mengusai dan serba mengatur.

“Romo usul, pahami dan kenali diri masing-masing lagi. Tidak boleh ada yang merasa lebih.”

Syukuri dan renungkan, “Adakah yang lebih berharga daripada pasangan?

Kata Yesus, “Pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” ay 6-7.

Tuhan, ajari kami makin legowo, saling menerima pasangan yang telah Kau berkati dengan segala kekurangannya. Amin. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here