Gereja dan Pancasila

0
2,364 views
Pancasila.

SAAT masih menjadi pelajar di sekolah dasar penulis teringat adanya sebuah lagu nasional yang sering diwajibkan oleh guru untuk dilantunkan bersama dengan judul Garuda Pancasila, yang lirik dan lagunya diciptakan P. Sudharnoto, sebagai berikut :

Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakya adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju , Ayo maju

Meskipun judul lirik lagu itu hanya terdiri dua suku kata , tetapi apabila direnungkan secara cermat dapat memiliki makna yang “dalam dan luas sekali” karena kata-kata ini mengandung filosofi kenegaraan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun demikian dalam sekelumit tulisan ini hanya akan membicarakan salah satu aspek dari filosofi kenegaraan dimaksud yang pokok bahasannya hanya berkenaan dengan kebhinekaan. Pembahasan dari aspek kebhinekaan ini sangat diperlukan pemahaman maupun kesadaran bagi mereka yang dewasa ini secara kontekstual sedang berperan sebagai pelaku dalam pesta demokrasi baik bagi anggota masyarakat di wilayah NKRI pada umumnya, maupun bagi umat gereja Katolik khususnya.

Pesta demokrasi dalam era kebebasan berpendapat maupun mengekspresikan keinginannya oleh kelompok-kelompok di dalam masyarakat tadi akan ditujukan guna menentukan anggota legislatif dan eksekutif di pemerintahan Indonesia melalui pemilihan umum pada tahun mendatang.

Dalam menjalani pesta demokrasi nantinya dibutuhkan suatu kondisi kedamaian sebagai wujud dari kerukunan dan persatuan yang kokoh serta saling menghormati di antara para anggota masyarakat yang banyak aneka ragamnya baik segi asal muasal ras, suku , agama dan kepercayaan maupun adat istiadatnya, agar dalam proses membangun negara yang demokratis dapat berlangsung dengan baik tanpa adanya gejolak yang bisa merugikan bagi kehidupan bersama.

Kesatuan dan Kebhinekaan

Visualisasi Garuda Pancasila sebagai lambang NKRI dalam wujud gambar Burung Garuda memuat dua hal utama yakni lima gambar / lambang dari unsur butir-butir Pancasila dan kebhinekaan yang dirumuskan dalam kalimat Bhineka Tunggal Ika, yang mengandung makna berbagai macam keragamannya tetapi menjadi satu kesatuan.

Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika keduanya merupakan kesatuan yang yang tak terpisahkan dan saling melengkapi. Secara geografis NKRI merupakan sebuah negara yang terdiri dari kesatuan wilayah yang sangat luas dari pulau besar maupun kecil yang jumlahnya lebih dari 17.000 buah pulau.

Administrasi pemerintahan membagi wilayah pulau pulau menjadi 35 provinsi. Wilayah sebuah provinsi bisa berada di sebuah pulau atau bisa terdiri dari beberapa wilayah pulau. Jumlah provinsi di Pulau Sumatera adalah paling besar sebanyak 10 buah provinsi, di pulau Jawa 8 buah, di Kalimantan 5 buah, di Sulawesi 6 buah, di pulau Bali dan Nusa Tenggara 3 serta di Maluku dan Papua 5 buah. Dengan mencermati sebaran wilayah administrasi pemerintahan ini memang pantas jika disebutkan bahwa Indonesia adalah suatu negara kesatuan.

Namun demikian predikat kesatuan itu tidak hanya terletak dalam wujud fisik wilayah geografisnya yang terdiri kesatuan dari banyak pulau saja,yang mana seluruh wilayah pulau pulau tersebut seluruhnya merupakan satu tanah air yakni Indonesia.

Demikian juga kesatuan dalam ragam penduduk penghuninya yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar diam di setiap bagian wilayah negara kesatuan semuanya mengakui sebagai satu bangsa yakni bangsa Indonesia. Selain itu, juga dalam segi penggunaan bahasa yang terdiri dari berbagai bahasa daerah yang dimiliki oleh satu wilayah tertentu seluruhnya mengakui secara nasional hanya ada satu bahasa saja yakni Bahasa Indonesia.

Untuk lebih mempertegas seperti apa wujud keragaman dari kebhinekaan Indonesia tersebut diperlukan data tentang hal hal yang berhubungan dengan komponen keberagaman seperti yang sudah diuraikan dalam alinea di atas.Bangsa Indonesia sesungguhnya terdiri dari 1.340 suku bangsa yang tersebar di wilayah NKRI serta terdiri dari 300 kelompok etnis.

Setiap suku bangsa memiliki budaya maupun memiliki karya budaya yang jumlahnya mencapai 7.241 buah. Setiap suku bangsa juga memiliki jenis bahasa daerah masing masing yang digunakan untuk berkomunikasi secara lokal di wilayah domisili mereka yang mana berbagai jenis bahasa daerah mencapai 742 jenis bahasa.

Jenis-jenis agama yang dipeluk oleh suku suku bangsa di NKRI meliputi 7 agama yang sudah diakui oleh negara yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu dan Aliran Kepercayaan. Seperti inilah wujud nyata keberagaman sebagai Bhineka Tunggal Ika tersebut.

Konsep Sosial

Meskipun secara antropologis manusia dikategorikan sebagai makhluk sosial, dalam menjalani kehidupan sosial bersama di tengah masyarakat yang memiliki kebhinekaan memerlukan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya yang beragam tersebut.

Tuntunan moral yang diwariskan secara tradisi sosial dari kehidupan masyarakatnya perlu diperkaya lagi dengan tuntunan lain berdasarkan penjabaran dari butir-butir Pancasila sebagai perekatnya, guna menjaga keseimbangan dan dinamika hubungan sosialnya yang lebih baik. Seperti sudah diuraikan dalam alinea sebelumnya bahwasanya penjabaran pancasila dan kebhinekaan merupakan kesatuan dan saling melengkapi.

Tetapi mengingat adanya kendala ruang dan waktu pembahasan keterkaitan pancasila dan kebhinekaan dalam pembahasan ini hanya akan dibatasi kepada hal hal yang relevan sesuai dengan konteksnya. Di samping itu juga guna lebih mudah untuk pemahaman konsepsinya diperlukan penyederhanaan (simplifikasi) dari terminologi yang yang akan dikaitkan tanpa mengurangi keaslian maknanya.

Butir pertama sebagai yang utama pancasila yakni tentang Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan butir yang sangat penting dan relevan digunakan sebagai landasan untuk membangun dengan baik dalam kehidupan kebhinekaan masyarakat yang harmonis, rukun dan damai serta saling menghormati.

Bertolak butir sila pertama ini maka keseluruhan terminologi butir-butir Pancasila perlu disimplifikasi dari sudut pandang ajaran gereja Katolik dengan menggunakan rujukan konsep ajaran sosial gereja tertentu yang juga sejalan dengan ajaran alkitab maupun ajaran gereja lain yang direkomendasikan oleh lembaga gereja Katolik, baik yang bersifat lokal maupun yang universal.

Kronologis keseluruhan butir Pancasila yang disimplikasi yakni pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, disimplifikasi menjadikan menjadi Allah Tritunggal atau Allah saja, kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjadi kepribadian manusia atau pribadi manusia, ketiga Persatuan Indonesia, menjadi persatuan, keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, menjadi demokratis/demokrasi, dan kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi keadilan atau adil.

Dengan demikian bagi umat Katolik untuk berperilaku yang sejalan dengan asas Pancasila cukup berpedoman kepada konsepsi ajaran gereja yang memuat simplifikasi terminologi dari butir-butir Pancasila tersebut. Meski sesungguhnya penerapan ajaran sosial gereja di masyarakat tidak memandang jenis dan sifat dari kehidupan masyarakat karena bisa diimplementasikan ke dalam kehidupan masyarakat secara universal tanpa memandang batasan negara ataupun sifat dari kemasyarakatan itu sendiri.

Ajaran Sosial Gereja

Dalam kehidupan sosial gereja, manusia dipandang sebagai sebuah pribadi yang hidup yang menggambarkan dari Allah itu sendiri (Imago Dei) sehingga sesungguhnya manusia diciptakan menurut gambar atau citra Allah (Kej 1:27),di dalam hidup bersama pribadi-pribadi manusia ini memiliki martabat yang merupakan subyek sentral dari kehidupan bermasyarakat dan menjadi fondasi mencapai tujuan bersama.

Di dalam Ensiklik Dignitatis Humanae menjelaskan bahwa martabat pribadi ini yang mendasari kebebasan manusia untuk menentukan pemilihan iman kepercayaan kepada Allah serta hal lain yang terkait yang dianutnya. Banyak hal yang bisa menjadi tujuan bersama untuk dicapai pada berbagai bidang kehidupan, baik untuk kehidupan pribadi dan keluarganya, maupun kelompok atau komunitasnya, serta kehidupan berbangsa maupun kehidupan bernegara.

Pencapaian tujuan untuk kehidupan yang bersifat kebendaan mengikuti prinsip universal bahwasanya harta benda itu diperuntukkan bagi semua orang, sebab Allah menganugerahkan bumi kepada manusia supaya dengan jerih payahnya setiap manusia bisa menikmati hasilnya (Bdk Kej 1 : 28-29) karenanya setiap pribadi harus diberikan kesempatan memperolah akses kemanfaatan untuk dikembangankan agar setiap pribadi bisa memperolehnya.

Bagi setiap pribadi hendaknya bisa memberikan kontribusi untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang semakin manusiawi, bahwa hak milik yang dikuasai secara orang per orang tidak bersifat mutlak tetapi hak milik itu harus bisa memberikan manfaat bersama meskipun telah menjadi hak bagi setiap orang. Penggunaan harta benda hendaknya menganut prinsip keadilan memberikan perhatian kepada kaum miskin serta kaum yang terpinggirkan. Dalam hal menaruh perhatian kepada kaum miskin untuk memberikan bantuan harta benda maka harus diberikan yang menjadi hak mereka dan bukanlah hak si pemberi.

Karena sesungguhnya karya belas kasih ini adalah hutang keadilan antarpribadi manusia. Dengan demikian apa yang telah diserahkan bagi kaum miskin atau kaum yang terpinggirkan itu berdasarkan atas keadilan bukan sebagai hadiah cinta kasih. Dalam konteks pandangan kepada kaum miskin di dalam Injil telah ditegaskan bahwasanya kaum miskin ini selalu ada pada setiap pribadi manusia sehingga menjadi keharusan sebagai bagian tugas pelayanan kepada sesama ( Bdk Mat 26 :11).

Seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang pembahasan dalam tulisan ini ditujukan guna membuka pemahaman dan kesadaran umat agar bisa berperan serta aktif melaksanakan program pemerintah dalam berdemokrasi.

Karenanya untuk pencapaian tujuan baik yang hendak dilakukan secara pribadi perorangan ataupun kelompok sebagai komunitas dalam masyarakat guna menanggapi kegiatan politik untuk melaksanakan pesta demokrasi mendatang, perlu juga memakai prinsip dan panduan dari ajaran gereja yang bisa menjadi pedoman agar kegiatan politik tersebut dapat dilakukan dengan tertib, damai, rasionali dan demokratis. Pedoman dasar yang dipakai adalah Yesus sendiri sebagai Mesias yang datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani (Bdk Mrk 9 :33-35).

Pemilihan umum adalah program pemerintah yang harus dilaksanakan oleh warga negaranya dengan patuh. Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah(Rm 13 : 1) Karena barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas dirinya (Rm 13 :2).

Dengan demikian jelaslah bahwa sebagai warga negara maupun selaku warga gereja Katolik tidak ada alasan untuk tidak turut serta melaksanakan dan mensukseskan program pemerintah tersebut. Berkaitan dengan hal ini St. Petrus mengingatkan bahwa orang Kristen harus tunduk kepada hukum manusia sebagai wujud dari kehendak illahi (Bdk 1 Petrus 2 :13).

Di sisi yang lain sebagai warga negara memiliki kewajiban–kewajiban yang harus dipenuhi baik kepada pemerintah maupun sesama manusia, yaitu selain membayar pajak/cukai kepada pemerintah (Rm 13 :7) juga boleh membantu kepada orang kristen lainnya untuk berperilaku dan berfikir baik dengan memberi bantuan kepada semua manusia(Bdk Rm 12:17).

Oleh karena itu selaku warga gereja senantiasa harus menampakkan diri sebagai garam dan terang bagi yang lain. Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga ( Bdk Mat 5 : 13-14).Oleh sebab itu setiap warga gereja di dalam masyarakat harus secara aktif membantu kelancaran pelaksanaan pesta politik tersebut dalam masyarakat domisilinya.

Pemahaman tentang kehidupan dalam perhimpunan politik untuk berdemokrasi harus didasarkan atas persahabatan dan persaudaraan. Dasar demokrasi itu sendiri adalah menggunakan teori bahwa manusia merupakan makhluk otonom yang rasional, sebagaimana ditegaskan dalam ensiklik Centisimus Annus, bahwasanya warga negara diberikan wewenang yang luas untuk berperan serta dalam kebijakan politik dan wewenang untuk memilih pemimpinnya.

Gereja sendiri mengakui adanya prinsip adanya pembagian dalam negara yang mana dalam sistem demokrasi kepada otoritas politik mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada warga negaranya.

Sebagai akhir dari pembahasan tulisan ini ada secercah harapan bahwa pemahaman dan kesadaran oleh umat gereja katolik pembaca tulisan ini tergerak untuk bisa diimplementasikan bagi kegiatan Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu di dalam pesta demokrasi sebagai bagian membangun dan membina umatnya demi kemuliaan Allah Bapa surgawi.

G. Waryono Adisaputro
Lingkungan St. Yakobus Alfeus
Wilayah III, Santa Maria Magdalena II,

Paroki Keluarga Keluarga Kudus Pasar Minggu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here