Selasa. Minggu Biasa VIII, Hari Biasa (H)
- Yak. 4:1-10
- Mzm. 55:7-8.9-10a.10b-11a.10b-11a.23
- Mrk. 9:30-37
Lectio
30 Yesus dan murid-murid-Nya berangkat dari situ dan melewati Galilea, dan Yesus tidak mau hal itu diketahui orang; 31 sebab Ia sedang mengajar murid-murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.”
32 Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepada-Nya. 33 Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?”
34 Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka. 35 Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
36 Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: 37 “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”
Meditatio-Exegese
Tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis
Tiap pribadi terlibat dalam peperangan yang tidak pernah berhenti dan terjadi di dalam diri sendiri. Perang selalu melibatkan bagaimana cara mengendalikan hawa nafsu atau konkupisensi atau kecenderungan untuk melakukan yang jahat (bdk. Yak. 3:3; Luk. 8:14; Tit. 3:3; 2Ptr. 2:13).
Santo Yakobus menunjukkan jika seseorang gagal memenangkan perang, ia akan hidup dalam kekacauan dan dosa. Kemenangan atas nafsu untuk menyenangkan diri sendiri selalu bermakna kebebasan batin dan menjadi syarat untuk menerima keselamatan (bd. Rm. 7:14-25; 1Ptr. 2:11).
Maka, Uskup Yerusalem mendesak tiap pribadi untuk tundak pada Allah dan melawan iblis. Iblis dapat dikalahkan dengan dua cara.
Nasihat pertama Uskup Yerusalem dan sepupu Yesus Kristus senada dengan perintah ke sepuluh, Jangan mengingini milik sesamu secara tidak adil. Ketidakmampuan untuk mengendalikan hawa nafsu dan hasrat untuk memiliki membuat seorang pribadi menenggelamkan diri dalam cinta akan dunia.
Dunia dimaknai sebagai ‘musuh’ Allah, yang menentang Kristus dan para pengikut-Nya. Murid-Nya tidak bisa mengabdi pada Allah dan mammon (bdk. Mat. 6:24).
Para kudus telah mengigatkan melalui teladan hidup dan ajaran mereka bahwa tunduk pada cinta akan dunia tidak sesuai dengan kasih pada Allah. Santo Augustinus menulis, “Orang-orang dari dunia telah mengembangkan cinta pada diri sendiri sehingga berani merendahkan Allah; sedangkan himpunan para kudus berakar pada kasih akan Allah sehingga ia selalu siap untuk mengurbankan nyawa.” (The City of God, 14, 28).
Mengutip amsal, tiap pribadi didorong untuk selalu rendah hati. Nasihatnya (Yak. 4:6; bdk. Ams. 3:34), “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” Deus superbis resistit, humilibus autem dat gratiam.
Pribadi yang sombong selalu penuh dengan cinta diri. Ia tidak pernah membutuhkan rahmat, sehingga tidak pernah memohonnya pada Allah. Ia tidak pernah membutuhkan uluran tangan Allah.
Sebaliknya, saat menjelaskan Kitab Suci, Santo Augustinus juga mendesak tiap pribadi perlu rendah hati. Ia menulis, “Jarang sekali, bahkan tidak ada bagian dalam halaman-halaman Kitab Suci yang tidak menggemakan kebenaran bahwa ‘Allah menentang orang yang congkak dan berbelas kasih pada yang rendah hati,’”(De Doctrina Christiana, 3, 23).
Anak Manusia
Sepertinya Yesus meninggalkan daerah Kaisarea Filipi dan Gunung Hermon, atau wilayah tertentu lainnya. Detail letak geografis tidak diperhatikan, karena yang diperhatikan: perjalanan hidup Yesus sebagai Mesias.
Pelayanan Yesus di daerah Galilea berakhir dengan perjalanan ini. Di sepanjang perjalanan melintasi wilayah Galilea, Yesus menghindari perjumpaan dengan banyak orang (Mrk. 9:30).
Ia menggunakan kesempatan sendirian bersama para murid untuk membina mereka sebagai komunitas. Dan, Yesus mulai mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem (bdk. Mrk. 10:32; Luk. 9:51).
Mengherankan bahwa para rasul, terutama tiga orang sahabat dekat Yesus – Petrus, Yakobus dan Yohanes – tidak mengerti apa yang diajarkan Yesus. Yesus meyakini kalau isi pengakuan iman Petrus dan para rasul yang diungkapkan dalam Mrk. 8:29, belum sepenuhnya benar.
Mereka masih dijangkiti ‘ragi kaum Farisi dan ragi Herodes Antipas’ (Mrk. 8:14-18). Ragi yang membuat mentalitas mereka busuk. Mentalitas itu mencakup, antara lain: mentalitas kaum terpilih, mentalitas mengagungkan diri/kelompok sendiri, mentalitas kompetisi dan prestise, dan mentalitas meminggirkan dan menyingkirkan.
Mentalitas yang merusak ini dipromosikan justru melalui praktik hidup keagamaan dan berkongsi dengan sistem sosio-politik-budaya-ekonomi-pertahanan-keamanan. Dengan demikian inti pengakuan iman bahwa Yesus adalah Mesias dimaknai sebagai seorang raja dari keturunan Daud yang diurapi dan muncul untuk membebaskan Israel dan mendirikan kerajaan semesta (bdk. Mzm. 110:1; Dan. 9:25-26).
Yesus menolak keinginan orang banyak yang hendak menjadikan, bahkan memaksa-Nya sebagai raja. Ia memilih untuk menyingkir dan berdoa kepada Bapa-Nya (Yoh. 6:15).
Yesus tidak menggunakan gelar Mesias ketika bernubuat Ia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh-Nya. Tetapi, tiga hari kemudian Ia akan bangkit dari kematian (Mrk. 9:31).
Gelar yang dikenakan pada-Nya adalah Anak Manusia, ben adam, ανθρωπου, anthropou (Yeh. 2:1; 2:3; 4:9; 5:1 dst, LXX). Gelar ini sering dipakai Allah untuk menyapa Nabi Yehezkiel, yang banyak menanggung penderitaan dan penyiksaan selama pembuangan ke Babel. Namun juga, gelar ini juga dikenakan kepada Anak Manusia yang mulia dan diberi kuasa dalam penglihatan Nabi Daniel (Dan. 7:13-14).
Gelar Anak Manusia memadukan antara penderitaan yang dialami Yesus (Mrk. 8:31; 9:31; 10:45; 14:21.41) dan kekuasaan serta kemuliaan-Nya (Mrk. 2:10.28; 8:38; 13:26; 14:62). Dan Anak Manusia berkenan menyingkapkan diri-Nya pada Santo Stefanus.
Dalam Kisah Para Rasul, Santo Lukas mengisahkan, “Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kis. 7:55-56).
Hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya
Ketika sampai di rumah di Kapernaum, Yesus bertanya tentang apa yang mereka percakapkan di jalan. Berperan sebagai pendidik ulung, Ia membiarkan para murid-Nya berbincang hingga tuntas, tanpa menyela.
Di akhir percakapan, Ia bertanya, “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” (Mrk. 9:33). Ternyata, di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka (Mrk. 9:34).
Pertengkaran itu membuktikan mereka dijangkit cara pikir dan bertindak kaum Farisi dan Herodes. Mereka berbicara tentang persaingan, bukan kerja sama; kesombongan, bukan kerendahan hati.
Maka, Yesus mengajak mereka menukik ke hakikat menjadi murid-Nya, yaitu mengikuti jalan-Nya, sebagai Hamba Yahwe (Yes. 52:13-53:12). Sebagai Hamba, Yesus tidak mengandalkan diri-Nya sendiri. Ia membuka diri untuk dibimbing Roh Kudus (Mrk. 1:12), agar mampu melaksanakan kehendak Bapa-Nya.
Ketika mengajar tentang makna pelayanan Yesus duduk, sebagai Rabbi yang berwibawa (Mrk. 9:35). Yesus meminta para murid-Nya untuk menjadi pelayan semua orang, παντων διακονος, panton diakonos.
Kata diakonos menggambarkan seseorang yang melayani orang lain karena kehendak bebas. Ini berbeda dengan pelayanan para budak, doulos, yang diperoleh melalui perampasan atau pembelian. Maka pelayanan selalu mengutamakan kesejahteraan sesama dari pada pemenuhan kepentingan diri sendiri.
Dalam masyarakatan Yahudi dan Greko-Romawi, anak, παιδιων, paidion, tidak pernah memiliki peran penting. Yesus memangku anak selalu bermakna bahwa pelayanan terutama dan pertama-tama selalu ditujukan kepada mereka yang dipandang kecil, lemah, miskin, tersisihkan dan difabel.
Maka, pelayanan selalu memiliki pilihan untuk lebih mengutamakan dan bersama dengan mereka yang miskin, preferential option for and with the poor. Dan Yesus sendiri mengidentifikasi keberadaan-Nya di dalam diri anak-anak dan mereka yang kecil.
Merekalah orang yang menggantungkan dan mempercayakan diri kepada Allah. Maka, jalan untuk mengikuti Dia adalah jalan pelayanan kepada siapa Yesus mengidentifikasikan diri-Nya.
Ia bersabda (Mrk. 9:37; bdk. Mat. 25:40), “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”, Quisquis unum ex huiusmodi pueris receperit in nomine meo, me recipit; et, quicumque me susceperit, non me suscipit, sed eum qui me misit.
Katekese
Akar yang tumbuh menunjang ke bawah menopang tumbuh ke atas. Santo Augustinus dari Hippo, 354-430:
“Amatilah pohon itu, bagaimana ia pertama-tama cenderung tumbuh ke bawah, sehingga memungkinnya tumbuh menjulang ke atas. Pohon itu menancapkan akarnya dalam-dalam di dalam tanah, sehingga ia mampu menumbuhkan pucuknya menjulang tinggi ke langit.
Bukankah ia berasal dari kerendahan hati yang memungkinkannya tumbuh? Tetapi, tanpa kerendahan hati tak mungkinlah segala sesuatu tumbuh dan berkembang (Ams. 18:12). Kamu menghendaki tumbuh tinggi di angkasa tanpa sepotong pun akar? Tak akan tumbuh, tetapi tumbang.” (The Gospel Of John, Sermon 38.2)
Oratio-Missio
Tuhan, semoga aku tidak gagal memandang kemuliaan dan kemenangan-Mu di puncak salib. Bantulah aku untuk mengalahkan diri dan melakukan kehendak-Mu serta mengikuti jalan-Mu menuju kesucian. Amin.
- Apa yang perlu kulakukan untuk merendahkan diriku serta melayani kaum miskin dan merawat alam seperti Dia?
Quisquis unum ex huiusmodi pueris receperit in nomine meo, me recipit; et, quicumque me susceperit, non me suscipit, sed eum qui me misit – Marcum 9:37